Semasa kecil di pedesaan, setiap kali pulang sekolah atau bermain, hal pertama yang kulakukan adalah langsung berlari ke dapur, membuka pintu lemari untuk melihat apakah kakek-nenek atau orang tuaku menyisakan sesuatu untukku, terkadang semangkuk kentang rebus, terkadang sepotong kue singkong, atau kemudian semangkuk mi instan. Lemari, bagi kami anak-anak, adalah "harta karun" masa kecil, tempat menyimpan kebahagiaan sederhana dan kebahagiaan manis dari tangan orang dewasa. Aku masih ingat anak-anak anjing atau kucing belang yang nakal dengan riang menyambut pemiliknya dari pagar bambu di ujung jalan ketika melihat pemiliknya pulang sekolah. Mereka berlari mengejarku, lalu buru-buru membawaku ke dapur, mengeong dan mengibaskan ekor seolah mendesakku: "Tuan, tolong buka lemari, ada makanan lezat!" Ketika kubuka pintu, aroma hangat kentang dan kue singkong tercium. Aku berbagi sedikit dengan mereka.
![]() |
| Penulis dengan lemari di Hanoi lama. |
Selama tahun-tahun sulit itu, lemari makan kami kebanyakan hanya berisi beberapa pot tanah liat, pot besi cor kasar, keranjang, beberapa toples kecil kecap ikan, acar, satu toples garam, atau sebotol kecap ikan. Kompartemen penyimpanan makanan sangat buruk: hanya ada semangkuk garam, terkadang satu toples udang asin. Hanya selama Tet kami punya satu toples iga babi cincang dengan tulang yang digoreng dengan garam—hidangan paling "mewah" sepanjang tahun. Keluarga-keluarga paling kaya punya satu toples kecil MSG, atau semangkuk lemak babi.
Makanan pada masa itu sederhana: sayur rebus, sup, terkadang dengan kepiting, kerang, atau ikan hasil tangkapan di ladang. Tumisan jarang ditemukan, karena tidak ada minyak seperti sekarang. Karena itu, lemari tidak banyak menyimpan makanan tersisa untuk makan berikutnya, sesuai fungsinya. Lemari merupakan tempat menyimpan berbagai barang di masa kemiskinan sekaligus simbol penghematan dan kerja keras. Secara kiasan, ia seperti seorang ibu miskin di sudut dapur yang menjaga kehangatan atap. Di kota, loteng terbuat dari kayu kokoh, dengan sekat, kelambu, dan mangkuk air untuk mencegah semut, sementara lemari di pedesaan terbuat dari bambu sederhana. Selama bertahun-tahun, lemari itu menjadi bengkok dan lusuh, tetapi tak seorang pun sanggup meninggalkannya. Di sudut dapur yang tertutup asap hitam, lemari itu menjadi sahabat karib para wanita pekerja keras yang bekerja siang dan malam.
Bagi anak-anak seperti saya, ruang di bawah lemari adalah dunia yang misterius: tempat kucing-kucing belang berbaring untuk menghangatkan diri di musim dingin, tempat kucing-kucing emas mengistirahatkan moncongnya menunggu makanan, dan juga tempat saya berjinjit untuk membuka pintu bambu yang berderit untuk mencari sesuatu untuk dimakan. Saya selalu ingat saat keluarga saya pindah ke lingkungan kelas pekerja yang miskin. Siang hari, sepulang sekolah, perut semua orang keroncongan karena lapar, tas sekolah mereka terseret di jalan. Sebelum saya bisa meletakkannya, saya bergegas ke dapur, membuka lemari untuk menemukan makanan yang disimpan orang dewasa. Biasanya, itu adalah mangkuk kecil berisi segumpal adonan rebus seukuran kepalan tangan - "pangsit orang miskin" yang tebal dan tidak terisi dengan aroma tepung tapioka yang kuat. Namun kami tetap memakannya dengan nikmat, dicelupkan ke dalam air garam, merasakan betapa hangatnya hidup di tengah kesulitan!
Seiring berjalannya waktu, ketika kulkas dan lemari dapur modern hadir di setiap keluarga, lemari tua itu perlahan memudar menjadi masa lalu. Namun dalam ingatan banyak orang, lemari itu masih menjadi sudut nostalgia, saksi bisu masa-masa sulit namun hangat dan penuh kasih. Di banyak daerah pegunungan, di mana kehidupan masih terasa kurang, lemari bambu masih hadir sebagai teman setia, melestarikan kebiasaan lama.
Setiap kali aku memikirkan lemari itu, hatiku dipenuhi rasa gembira - emosi murni dari masa kanak-kanakku, saat hanya dengan membuka pintu bambu yang berderit membawa kembali kenangan indah, bau asap dapur, dan panggilan ibuku...
DUONG MY ANH
Sumber: https://baokhanhhoa.vn/van-hoa/sang-tac/202511/cham-vao-ky-uc-thoi-gian-67f14e2/







Komentar (0)