Sebuah studi baru yang diterbitkan dalam jurnal Science Advances telah mengungkap satu serabut saraf di otak yang mungkin menjadi kunci untuk menjelaskan perbedaan dalam cara orang yang trauma menanggapi rasa sakit: beberapa orang mengarahkan kemarahan mereka ke luar, sementara yang lain mengarahkannya ke dalam.
Studi ini memetakan secara rinci bagaimana trauma masa kanak-kanak dapat merombak sirkuit talamus-hipokampus, jalur utama yang menghubungkan nukleus reuniens (RE) dan hipokampus ventral (vCA1).
Sirkuit ini telah diidentifikasi sebagai pusat bagaimana otak menafsirkan rasa sakit dan emosi.

Biologi di Balik Vandalisme
Para peneliti telah menemukan bahwa ketika trauma dini terjadi, neuron di sirkuit talamus-hipokampus menjadi hipersensitif melalui perubahan pada saluran kalsium tipe L.
Ini adalah gerbang molekuler yang mengatur respons sel-sel otak terhadap rangsangan. Peningkatan aktivitas di kanal-kanal inilah yang memicu perilaku destruktif di kemudian hari.
Dalam percobaan pada tikus, aktivasi saluran kalsium ini menimbulkan respons yang berbeda-beda, tergantung pada dosisnya : Dosis rendah: Tikus menjadi lebih agresif, menyerang teman satu kandangnya dengan lebih cepat dan lebih lama; Dosis tinggi: Tikus menunjukkan perilaku melukai diri sendiri, menggigit kaki dan bahunya dengan cara yang jelas.
Kedua respons tersebut disertai tanda-tanda gangguan yang jelas, termasuk meringis dan mengeluarkan suara-suara yang menyakitkan. "Temuan kami menunjukkan bahwa agresi dan melukai diri sendiri mungkin tampak seperti perilaku yang sangat berbeda, tetapi sebenarnya keduanya mungkin memiliki dasar saraf yang sama," kata penulis utama Dr. Sora Shin. "Keduanya mungkin berada dalam suatu kontinum yang berakar pada cara otak memproses sinyal rasa sakit."

Tanda-tanda fisik cedera otak
Untuk memeriksa hubungan antara trauma dan sirkuit saraf ini dari waktu ke waktu, tim menggunakan model stres masa kanak-kanak pada tikus.
Anak tikus yang dipisahkan dari induknya menjadi lebih agresif dan suka melukai diri sendiri saat dewasa. Pemindaian otak menunjukkan aktivitas yang sangat tinggi di nukleus retikuler (RE), dan neuron mereka menghasilkan kadar gen saluran kalsium Cacna1c yang sangat tinggi. Patut dicatat, tanda molekuler ini juga telah dikaitkan dengan gangguan kecemasan dan suasana hati pada manusia.
Intinya, trauma meninggalkan jejak fisik pada sirkuit otak, menciptakan lingkaran umpan balik unik yang menggabungkan rasa sakit, ketakutan, dan dorongan untuk bertindak.
Para peneliti menyamakan nukleus akumbens dengan pusat pengambilan keputusan yang mengirimkan sinyal rasa sakit ke dua arah berbeda: satu kelompok neuron terhubung ke hipotalamus, yang merangsang agresi; kelompok lainnya terhubung ke amigdala, yang mendorong perilaku menyakiti diri sendiri. Keduanya berasal dari jaringan saluran hipereksitabel yang sama.
Selama bertahun-tahun, hubungan antara trauma masa kecil, agresi, dan perilaku melukai diri sendiri dianggap murni emosional dan psikologis. Penelitian Shin menunjukkan bahwa hubungan ini memiliki alamat fisik di otak.
Harapan baru untuk pengobatan
Identifikasi saluran kalsium sebagai pengungkit potensial membuka jalan baru untuk pengobatan. Ketika para peneliti memblokir saluran ini dengan obat nikardipin, perilaku kekerasan dan merusak diri sendiri berkurang.
Hal ini menunjukkan bahwa obat baru dapat dikembangkan untuk mengurangi hiperaktivitas dalam sirkuit saraf ini tanpa melumpuhkan seluruh sistem saraf.
Saat ini, percobaan tersebut masih dalam tahap praklinis pada tikus. Namun, dengan memberikan wawasan yang mendalam dan proaktif tentang sirkuit saraf yang mendasari gangguan ini, penelitian Shin menawarkan harapan besar untuk mengembangkan terapi yang lebih efektif guna mendukung penyintas trauma yang berjuang melawan respons destruktif terhadap rasa sakit.
Sumber: https://dantri.com.vn/khoa-hoc/chan-thuong-thoi-tho-au-tai-cau-truc-nao-bo-dinh-hinh-phan-ung-voi-noi-dau-20251114004640544.htm






Komentar (0)