Vietnam.vn - Nền tảng quảng bá Việt Nam

Warisan cinta

Begitu Long memasukkan kunci ke lubangnya, aroma asing memenuhi hidungnya. Aroma barang-barang tua, kayu lapuk, dan kenangan yang terpendam.

Báo Sài Gòn Giải phóngBáo Sài Gòn Giải phóng02/11/2025

Bukan aroma kayu dan kopi baru yang familiar di apartemen modernnya, yang semuanya tertata rapi. Rumah ini, bagi Long, hanyalah aset yang perlu dijual.

Ia melangkah masuk ke ruang tamu, yang persis seperti saat ia masih hidup. Sofanya usang, meja kopinya pudar, dan foto-foto tua tergantung di dinding. Hatinya mencelos.

"Long, jangan jual rumahku. Aku tahu rumah ini tua, tapi ini bagian dari dirimu..." Kata-katanya terus terngiang di kepalanya, tapi ia menepisnya sebagai nostalgia yang tak berarti.

Long melirik barang-barang lama yang dianggapnya tak berharga. Lalu teleponnya berdering. Sebuah pesan dari pedagang barang antik muncul: "Tuan Long, saya di sini untuk membeli kotak itu."

Cerita CN4 MH 2-11.jpg

Long mengerutkan kening, frustrasi. Ia hanya ingin mengakhiri semuanya, terbebas dari beban ini. Ia membuka kotak kayu itu. Di dalamnya terdapat foto yang menguning, sepucuk surat dengan tulisan tangan yang elegan, dan sebuah kotak musik kecil. Ia memutar kotak musik itu dan bergumam:

- Bisakah kenangan dijual untuk mendapatkan uang?

Sebuah melodi mulai mengalun, tak seperti suara apa pun yang pernah didengar Long. Melodi itu merasuk ke dalam pikirannya, dan ruangan itu pun menghilang.

***

Dalam alunan musik merdu dari kotak itu, ruang di sekitar Long hancur berkeping-keping. Angin dingin berhembus masuk. Aroma bunga susu yang kuat dan manis merasuk ke setiap sel. Long menarik napas dalam-dalam, merasakan dadanya dipenuhi emosi yang aneh.

Dari kejauhan, suara "clang" yang familiar namun menggugah terdengar. Suara kereta itu tidak mendesak, melainkan seperti bisikan, membawanya ke dunia lain.

Long mendapati dirinya berdiri di sebuah jalan, beratap genteng berlumut dan deretan pohon-pohon tua. Waktu telah kembali setengah abad. Ia melihat neneknya di masa mudanya, dengan ao dai yang anggun, rambutnya dikepang, dengan malu-malu mengendarai sepeda Ba Dinh. Kemudian, bayangan kakeknya yang tampan, tersenyum cerah.

Ia merasakan kegugupan ayahnya, merasakan tangan ibunya yang gemetar saat menyentuh tangannya. "Dentang" kereta menjadi soundtrack cinta pertama. Long merasakan jantungnya bergetar, seolah ia telah melewatkan sesuatu yang sakral.

***

Mata Long berkedip sedikit. Musik dari kotak musik berubah nadanya, lebih mendesak dan bernostalgia. Ruangan itu tiba-tiba menjadi gelap. Long merasakan udara dingin dan lembap menyerbu masuk, membawa aroma lumpur dan hujan. Ia "melangkah ke" kenangan lain tentangnya: pasar Hang Be di suatu sore yang hujan.

Hujan turun deras, suara hujan yang menghantam atap seng tua bagaikan lagu yang dahsyat, menenggelamkan semua suara lainnya. Long mendapati dirinya berdiri di bawah beranda yang lusuh, bersama sekelompok orang yang berteduh dari hujan. Ruangan itu sempit, tetapi dipenuhi kehangatan tubuh manusia.

"Dengan hujan seperti ini, tak seorang pun akan membeli sayur seharian," keluh seorang gadis muda, suaranya bercampur dengan suara hujan. Rambutnya basah kuyup, air menetes ke bajunya yang sudah basah kuyup.

Penjual sayur, seorang wanita dengan rambut keperakan bagaikan embun beku, tersenyum lembut sambil membelai rambut gadis itu:

- Kalau begitu, mari kita duduk bersama. Layak dicoba!

Ia perlahan membuka nasi ketannya yang terbungkus daun teratai, masih panas mengepul. Aroma nasi ketan yang bercampur dengan aroma daun teratai merasuki setiap sel indra penciuman Long. Ia mematahkan sepotong nasi ketan dan memberikannya kepada gadis itu:

- Hei, makanlah untuk menghangatkan perutmu!

Gadis itu ragu-ragu, tetapi si penjual sayur bersikeras. Kemudian seorang tukang daging, masih memegang pisau, juga mengeluarkan sebungkus kue dari sakunya dan menawarkannya kepada semua orang. Mereka duduk bersama, berbagi setiap bungkus nasi ketan dan setiap potong kue. Suara tawa, pertanyaan, dan kekhawatiran untuk orang-orang terkasih… semuanya berpadu dengan suara hujan. Cinta orang-orang di pasar hari itu begitu sederhana, hanya hujan yang cukup untuk menyatukan mereka.

Long berdiri di sana, merasakan hangatnya kasih sayang manusia. Ia tiba-tiba menyadari bahwa hal-hal yang tampak tak berharga sebenarnya adalah hal-hal yang paling berharga.

***

Saat alunan kotak musik semakin merdu dan pelan, Long merasakan kehangatan aneh menyelimutinya. Ia tak lagi berdiri di ruangan lama, melainkan di tengah halaman yang dipenuhi tawa.

Di depan matanya, terbentang sebuah pernikahan sederhana, tanpa tenda mewah, tanpa mobil mewah. Hanya sebuah sepeda Ba Dinh dengan tulisan merah menyala "Kebahagiaan Ganda" yang menanti. Sepeda itu rapuh, tetapi Long merasakan kekokohannya, seperti janji untuk masa depan yang sederhana namun pasti.

Pesta pernikahan itu hanya terdiri dari teh hijau, permen kacang, dan beberapa kue kacang hijau. Namun, suasananya dipenuhi tawa dan sorak-sorai. Kasih sayang manusia lebih hangat daripada kelezatan apa pun.

Long menatap kakek-neneknya hari itu, berseri-seri bahagia. Ia mengenakan kemeja putih yang dikancingkan rapi. Neneknya mengenakan ao dai berwarna krem, rambutnya dikepang rapi. Neneknya berdiri di sampingnya, malu-malu, tetapi matanya berbinar-binar gembira.

Di samping mereka terdapat hadiah pernikahan sederhana: termos dan selimut katun. Long menyadari bahwa semua itu bukanlah hadiah mahal, melainkan simbol cinta, berbagi, dan berkat yang tulus.

***

Kotak musik itu tiba-tiba berhenti. Long terbangun dan kembali ke kamarnya. Kamar itu tak lagi kosong. Aroma kenangan masih ada, menyelimutinya. Ia memandang barang-barang neneknya dengan tatapan berbeda, penuh rasa hormat dan syukur.

Saat itu, terdengar ketukan di pintu. Si pedagang barang antik berkata dengan penuh semangat:

- Tuan Long, saya datang ke sini untuk membeli kotak itu.

"Kau salah. Kotak ini bukan barang antik. Ini warisanku. Ini Hanoi -ku!" jawab Long tanpa berpikir. Si pedagang barang antik tampak bingung, lalu berbalik dan pergi.

Tatapan Long tak lagi tergesa-gesa. Ia duduk diam di ambang jendela, tempat ia sering melihat wanita itu duduk. Rasa dingin dan asing di ruangan itu kini telah lenyap, tergantikan kehangatan yang familiar.

Ia memandang ke luar jendela. Hanoi masih sama, dengan lalu lintasnya yang padat dan gedung-gedung pencakar langit. Namun kini, ia tak lagi merasakan jarak. Di mata Long, kota itu bukan lagi sekadar beton dan baja, melainkan film gerak lambat. Ia melihat seorang perempuan tua berjualan nasi ketan, kiosnya kecil namun kokoh, seperti kehidupannya. Ia melihat sepasang muda-mudi bergandengan tangan menyusuri jalan. Dan ia tiba-tiba menyadari bahwa cinta sejati dari hati akan selalu utuh, tak peduli waktu yang terus berlalu.

Lama memejamkan mata, ia menemukan sesuatu yang lebih berharga daripada uang: akarnya. Hanoi bukanlah tempat untuk pergi, tempat untuk tiba, melainkan tempat untuk kembali.

Sumber: https://www.sggp.org.vn/gia-tai-cua-mot-tinh-yeu-post821280.html


Komentar (0)

No data
No data

Dalam topik yang sama

Dalam kategori yang sama

Keindahan Sa Pa yang memukau di musim 'berburu awan'
Setiap sungai - sebuah perjalanan
Kota Ho Chi Minh menarik investasi dari perusahaan FDI dalam peluang baru
Banjir bersejarah di Hoi An, terlihat dari pesawat militer Kementerian Pertahanan Nasional

Dari penulis yang sama

Warisan

Angka

Bisnis

Pagoda Satu Pilar Hoa Lu

Peristiwa terkini

Sistem Politik

Lokal

Produk