Menurut usulan baru, rumah tangga bisnis perorangan dengan pendapatan di bawah 200 juta VND/tahun akan dibebaskan dari pajak pertambahan nilai (PPN).

Pada tanggal 29 Oktober, Majelis Nasional bersidang dan membahas rancangan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang telah direvisi. Rancangan undang-undang ini memuat hal-hal penting terkait batas minimum penerimaan negara bukan pajak.
Menelaah isi RUU ini, Ketua Komite Keuangan dan Anggaran Majelis Nasional, Le Quang Manh, menyatakan bahwa terdapat pendapat yang menyarankan untuk menetapkan batas minimum penerimaan yang tidak dikenakan PPN dalam Undang-Undang. Ada pendapat yang menyarankan untuk menetapkan batas minimum penerimaan dalam Undang-Undang dan memberikan kewenangan kepada Komite Tetap Majelis Nasional untuk menyesuaikannya, atau menugaskan Pemerintah untuk menetapkannya. Ada pula pendapat yang menyarankan untuk tetap menggunakan RUU yang diajukan pada Sidang ke-7 (menugaskan Pemerintah untuk menetapkan batas minimum penerimaan yang tidak dikenakan pajak) demi memastikan fleksibilitas dan inisiatif.

Terkait hal ini, Komite Tetap Majelis Nasional berpendapat bahwa perlu dilakukan amandemen dan penyesuaian peraturan tentang ambang batas penerimaan tahunan yang tidak dikenakan PPN. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang, hal ini bertujuan untuk menetapkan dasar hukum yang jelas dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan Konstitusi bahwa "penerimaan dan pengeluaran anggaran negara harus diperkirakan dan ditetapkan dengan undang-undang".
Menurut Bapak Le Quang Manh, menerima pendapat delegasi Majelis Nasional, Komite Tetap Majelis Nasional mengusulkan untuk merevisi dan mengatur: Barang dan jasa rumah tangga dan individu yang melakukan bisnis dengan pendapatan tahunan 200 juta VND atau kurang.
"Apabila Indeks Harga Konsumen (IHK) berfluktuasi lebih dari 20% sejak Undang-Undang ini mulai berlaku atau sejak penyesuaian terakhir, Pemerintah akan mengajukan kepada Komite Tetap Majelis Nasional untuk menyesuaikan tingkat pendapatan dalam pasal ini sesuai dengan situasi perkembangan sosial -ekonomi masing-masing periode," ujar Bapak Manh.
PPN 5% untuk pupuk?
Isu lain yang banyak disorot adalah pengenaan pajak pupuk sebesar 5%. Ketua Komite Keuangan dan Anggaran, Le Quang Manh, menyatakan setuju dengan rancangan undang-undang Pemerintah yang mengubah status pupuk dari bebas pajak menjadi dikenakan pajak sebesar 5%.
Ada pendapat lain yang mengusulkan agar peraturan saat ini dipertahankan karena ada kekhawatiran bahwa penerapan pajak sebesar 5% akan meningkatkan harga pupuk di pasaran dan petani akan terkena dampak langsung, sehingga mempengaruhi biaya produk pertanian.
Dengan isi tersebut, Panitia Tetap DPR RI menyatakan PPN atas pupuk telah diubah pada tahun 2014 dalam Undang-Undang PPN, dari yang sebelumnya dikenakan tarif pajak 5% menjadi bebas pajak.
Namun pada kenyataannya, belakangan ini kebijakan tersebut justru berdampak sangat negatif terhadap usaha produksi pupuk dalam negeri.
Karena PPN masukan dari perusahaan-perusahaan ini tidak dapat dikurangkan, maka PPN tersebut harus diperhitungkan dalam biaya-biaya, termasuk pajak masukan yang sangat besar atas investasi dan pembelian aktiva tetap, yang menyebabkan biaya produksi dalam negeri meningkat, sehingga tidak dapat bersaing dengan impor.
Sebaliknya, pupuk impor diuntungkan karena saat ini dikenakan pajak sebesar 5% dan diubah menjadi tidak kena pajak dan tetap menerima pengembalian penuh PPN masukan.
Oleh karena itu, selama beberapa waktu terakhir, Kementerian Perindustrian dan Perdagangan, Kementerian Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Audit Negara, delegasi Majelis Nasional provinsi Bac Giang, Ca Mau, Binh Dinh, Hai Phong, Nam Dinh, Tien Giang... dan asosiasi pupuk, perusahaan manufaktur pupuk terus mengusulkan untuk mengubah produk pupuk dari yang tidak dikenakan PPN menjadi tarif pajak 5%.
Rekomendasi ini juga telah dimasukkan dalam tugas peninjauan sistem dokumen hukum oleh lembaga Pemerintah dan Majelis Nasional.

Ada yang berpendapat, bila pupuk dikenakan pajak sebesar 5%, petani akan langsung dirugikan jika ada perusahaan dalam negeri yang berkolusi dengan pedagang untuk menjual barang impor, sehingga harga jual pupuk menjadi naik termasuk PPN yang terutang, harga pupuk pun naik, dan biaya produksi pertanian pun meningkat.
Beberapa delegasi Majelis Nasional menganalisis bahwa harga pupuk impor ketika dijual dapat mengalami kenaikan sesuai dengan biaya PPN yang harus dibayarkan, tetapi proporsi pupuk impor saat ini hanya menguasai 27% pangsa pasar domestik. Oleh karena itu, harga jual pupuk impor juga harus disesuaikan dengan tingkat pasar ketika pupuk produksi dalam negeri memiliki kecenderungan dan ruang untuk penurunan harga, karena PPN masukan dapat dikurangkan atau dikembalikan, yang akan memangkas biaya dan menurunkan biaya produksi.
Sementara itu, pupuk saat ini merupakan komoditas yang harganya ditetapkan oleh negara. Oleh karena itu, instansi terkait dapat menggunakan cara-cara pengelolaan pasar dan menindak tegas pelaku usaha pupuk dalam negeri yang memanfaatkan kebijakan baru, berkolusi dengan pedagang untuk melakukan tindakan mencari untung yang mengakibatkan fluktuasi harga yang besar di pasaran, sehingga merugikan sektor pertanian.
Oleh karena itu, untuk mengatasi kelemahan-kelemahan kebijakan di bidang industri pupuk selama ini, Panitia Tetap Majelis Permusyawaratan Rakyat meminta agar rancangan undang-undang yang telah diajukan Pemerintah kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat pada masa sidang ke-7 tetap dipertahankan.
Pada Sidang ke-7, dalam rancangan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang telah direvisi, Pemerintah mengusulkan perubahan tarif pajak pupuk dari tidak kena pajak menjadi 5%.
Sumber






Komentar (0)