(Foto: Balance Through)
Tren ini, yang juga dikenal sebagai “Slow Travel” – bukan hanya sekadar konsep yang baru muncul, tetapi secara bertahap menjadi tren populer di seluruh dunia .
Inti dari perjalanan lambat bukanlah tentang memperpanjang perjalanan tanpa henti, melainkan mengubah pendekatannya. Alih-alih mencoba menjejalkan sebanyak mungkin destinasi dalam beberapa hari singkat, orang-orang memilih untuk tinggal lebih lama di suatu tempat, menikmati setiap momen, dan mempelajari budaya serta orang-orang di sana.
Menurut "Laporan Tren Hilton 2025", 74% wisatawan ingin mendapatkan saran dari penduduk lokal saat bepergian, dan lebih dari 70% keluarga memprioritaskan memberikan anak-anak mereka pengalaman budaya yang nyata, alih-alih sekadar bertamasya. Hal ini menunjukkan meningkatnya permintaan akan perjalanan yang bermakna, alih-alih perjalanan hanya untuk mengumpulkan foto.
Salah satu alasan lambatnya peningkatan pariwisata adalah dampak mendalam dari pandemi COVID-19. Pembatasan perjalanan yang berkepanjangan telah membuat banyak orang menyadari pentingnya "tinggal di tempat" dan ingin memperpanjang kehadiran mereka di suatu tempat ketika ada kesempatan. Selain itu, tren kerja jarak jauh yang semakin populer telah membantu banyak orang menggabungkan pekerjaan dengan perjalanan, membentuk gaya hidup baru yang disebut "bleisure"—bekerja sekaligus bersantai.
Kebijakan visa yang liberal di banyak negara semakin memudahkan gaya hidup ini. Alih-alih hanya singgah beberapa hari, orang-orang dapat tinggal selama berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan, hidup sebagai penduduk sementara untuk menyerap ritme lokal.

(Foto: Sloww)
Selain faktor personal, ada alasan lain mengapa perjalanan lambat semakin populer: keberlanjutan. Dalam beberapa tahun terakhir, para pelancong di seluruh dunia semakin sadar akan dampak mereka terhadap lingkungan dan komunitas mereka. Bepergian terlalu sering tidak hanya menghabiskan energi, tetapi juga meninggalkan jejak karbon yang besar, sehingga memberikan tekanan pada destinasi-destinasi populer. Tinggal lebih lama di satu tempat, menggunakan moda transportasi yang lebih ramah lingkungan, makan dan berbelanja di toko-toko lokal, semuanya membantu mengurangi dampak negatif sekaligus memberikan manfaat ekonomi langsung bagi masyarakat setempat.
Menurut Euromonitor, tahun 2025 menandai pergeseran signifikan dalam tren perjalanan lambat, dengan pasar massal resmi mengadopsinya. Orang-orang semakin jarang bepergian, tetapi setiap perjalanan memiliki kualitas dan pengalaman yang lebih mendalam. Prakiraan menunjukkan bahwa kawasan Asia-Pasifik akan menjadi salah satu kawasan dengan pertumbuhan tercepat untuk jenis perjalanan ini, dengan tingkat pertumbuhan tahunan hingga 13,2% dalam periode hingga 2033. Di Tiongkok, wisatawan berpenghasilan tinggi juga mulai meninggalkan rencana perjalanan yang padat dan beralih ke rencana perjalanan yang lebih santai, yang memungkinkan mereka untuk lebih membenamkan diri dalam ruang budaya dan alam.
Di peta pariwisata dunia, banyak destinasi menjadi simbol "perjalanan lambat", seperti: Patagonia di Amerika Selatan, dengan lanskapnya yang megah dan alamnya yang masih asli, merupakan tempat ideal untuk menghabiskan waktu berhari-hari mendaki, mengagumi pegunungan dan gletser tanpa perlu terburu-buru. Kyoto di Jepang, dengan kuil-kuil kuno, taman Zen, dan upacara minum tehnya, mengharuskan pengunjung untuk benar-benar memperlambat langkah agar dapat merasakan kecanggihan dalam setiap detailnya. Tuscany di Italia adalah negeri di mana setiap momen berharga untuk dijalani: matahari terbenam di kebun anggur, makan malam sederhana dengan anggur dan pasta sudah cukup untuk menutup kebahagiaan. Di Asia, Chiang Mai di Thailand menonjol dengan ritme hidupnya yang santai, harga yang terjangkau, dan budaya Lanna yang unik, menarik mereka yang ingin tinggal lama untuk menemukan nuansa "hidup lambat".

(Foto: Buku Panduan)
Namun, perjalanan lambat juga menghadirkan banyak tantangan. Bagi banyak orang yang terbiasa dengan gaya hidup serba cepat, "tidak melakukan apa-apa" selama beberapa hari pertama bisa menjadi tantangan. Biaya akomodasi jangka panjang terkadang dapat meningkatkan anggaran jika tidak dihitung dengan tepat. Selain itu, tidak semua destinasi cocok untuk gaya hidup ini; di beberapa daerah pedesaan atau kepulauan, wisatawan perlu mempersiapkan diri secara mental untuk hidup dengan fasilitas dasar dan layanan yang kurang modern. Namun, kesederhanaan inilah yang menciptakan nilai yang berbeda, membuat pengalaman tersebut lebih berkesan.
Untuk menikmati perjalanan santai sepenuhnya, banyak pakar menyarankan wisatawan untuk mengubah cara mereka merencanakan perjalanan. Alih-alih mengunjungi 5-6 tempat dalam seminggu, cobalah tinggal di suatu kota atau daerah selama 7-10 hari, menjelajahi dari pusat kota hingga pinggiran kota. Bepergian dengan kereta, bus, bahkan bersepeda atau berjalan kaki tidak hanya menghemat uang tetapi juga memberi Anda kesempatan untuk mengamati kehidupan sehari-hari. Memilih homestay, mengobrol dengan tuan rumah, atau penduduk lokal akan membuka pintu pengalaman yang sulit didapatkan dalam tur biasa. Selain itu, pergi di musim sepi atau menjelajahi daerah sekitarnya dengan lebih sedikit wisatawan juga merupakan cara untuk merasa lebih tenang dan autentik.
Perjalanan lambat bukan sekadar tren sementara, melainkan mencerminkan kebutuhan manusia modern yang semakin nyata: hasrat untuk terhubung lebih dalam dengan dunia, sembari menemukan keseimbangan batin. Seiring ritme kehidupan yang semakin terburu-buru, memperlambat perjalanan adalah cara bagi setiap orang untuk memupuk ketenangan dan kedamaian. Perjalanan tak lagi diukur dari jumlah titik check-in, melainkan dari momen-momen yang benar-benar kita jalani: matahari terbit di jendela homestay, kicauan burung di hutan yang jauh, atau sekadar santap siang bersama penduduk setempat. Dan dalam kelambatan itulah perjalanan kembali ke nilai intinya: bukan sekadar melihat, melainkan merasakan, mengubah, dan menghidupi diri.
Sumber: https://vtv.vn/no-ro-xu-huong-du-lich-tim-ve-su-binh-yen-10025092514343999.htm







Komentar (0)