Baru saja mendengar kabar sebuah keluarga di desa akan menikah, suasana sudah ramai seperti berhari-hari sebelumnya. Para pemuda saling mengajak berkeliling desa untuk meminjam meja dan kursi. Ada yang memanggulnya di pundak, ada pula yang mendorong gerobak yang berderit, tertawa dan berbincang sambil berjalan, membangunkan jalanan desa yang sepi. Para perempuan sibuk saling mengunjungi rumah untuk meminjam nampan, mangkuk, sumpit, dan cangkir. Nampan aluminium telah memudar warnanya, mangkuk porselen berwarna gading, meskipun tidak seragam, tetapi ketika diletakkan di atas meja, warnanya tetap menyala dalam kegembiraan bersama. Seorang pria terampil ditugaskan untuk mendekorasi panggung, dengan hati-hati menggunting nama kedua mempelai dan karakter merah cerah "hỷ", menggambar sepasang merpati yang sedang memegang ranting bunga, lalu dengan hati-hati menggantungnya di atas latar belakang hijau sederhana. Kami, anak-anak, juga mengobrol dan saling tarik menarik daun kelapa, duduk di sekelilingnya menganyam setiap daun kelapa, membentuk gerbang selamat datang bergaya pedesaan yang membuat setiap orang yang lewat harus berhenti dan memandanginya.
![]() |
| Pernikahan di Hanoi pada awal abad ke-20/ Ilustrasi/ tuoitrethudo.vn. |
Di hari pernikahan, seluruh warga sibuk mempersiapkan pesta. Babi gemuk yang telah dipelihara selama berbulan-bulan disembelih pada malam sebelumnya dan dibagi menjadi beberapa porsi untuk setiap hidangan. Ada yang memasak, ada yang memetik sayuran, ada yang mencuci beras, ada yang mencuci piring... Suara pisau dan talenan, panggilan satu sama lain, dan tawa yang bercampur dalam asap yang mengepul menciptakan suasana yang meriah sekaligus hangat dengan cinta dari warga. Pesta hari itu sederhana, tetapi semua tamu merasakan kelezatannya, karena di balik setiap hidangan sederhana terdapat ketulusan dan kerja keras banyak orang.
Pernikahan hari itu bukan hanya tentang makan dan minum. Malam harinya, setelah makanan dibersihkan, seluruh warga berkumpul di halaman yang luas. Musik live memainkan lagu-lagu yang familiar dari band Modern Talking, dan di saat yang sama, para pemuda dan pemudi menari dengan polos dan tertawa terbahak-bahak. Orang dewasa duduk dengan secangkir teh, menyalakan rokok, dan dengan santai memperhatikan anak-anak bermain. Alunan musik dan tawa bercampur dengan angin malam desa, menciptakan suasana yang ramai dan nyaman.
Di pagi hari pernikahan, sang pengantin pria mengenakan celana panjang hitam, kemeja putih, dan sekuntum bunga merah yang disematkan di dadanya, tampak khidmat sekaligus bingung. Sang pengantin wanita berdandan sederhana, wajahnya malu-malu, matanya merah, dan ia terisak-isak saat berpamitan kepada orang tuanya dan pergi ke rumah suaminya. Iring-iringan orang yang mengantar pengantin wanita membentang di sepanjang jalan desa yang dinaungi bambu, suara salam dan ucapan selamat menggema di seluruh penjuru pedesaan. Setibanya di rumah pengantin pria, upacara pembakaran dupa untuk leluhur berlangsung di hadapan kerabat dari kedua belah pihak yang khidmat, disertai dengan instruksi-instruksi sederhana namun sungguh-sungguh.
Pernikahan masa kini jauh berbeda dari masa lalu. Perjamuannya dipenuhi hidangan lezat. Meja dan kursi disewakan dengan seragam, restoran didekorasi dengan indah. Gerbang bunga terbuat dari bunga segar, lampu-lampunya berwarna-warni. Namun, dalam kepenuhan itu, semangat lama telah sirna, kisah-kisah meriah di sekitar asap dapur pun sirna. Para tamu pernikahan kini seringkali hanya menikmati hidangan, mengucapkan beberapa doa, lalu bergegas pulang...
Mengenang kembali pernikahan-pernikahan itu, saya merasakan nostalgia yang tak habis-habisnya. Meskipun kini kita memiliki lebih banyak harta benda dan kehidupan yang lebih nyaman, mungkin kita masih perlu melestarikan sedikit semangat lama. Karena pernikahan bukan hanya hari bahagia bagi pasangan, tetapi juga momen untuk menjalin dan memelihara cinta antarmanusia, cinta desa, dan cinta sesama jenis. Saya sangat merindukan tenda pernikahan tambal sulam, meja dan kursi pinjaman, gerbang daun kelapa buatan kami anak-anak, dan pesta sederhana namun penuh kasih sayang di pedesaan. Setiap kali saya mengenangnya, hati saya terasa gelisah seolah-olah saya baru saja kehilangan secuil kenangan murni dan polos yang sulit tergantikan...
Sumber: https://baosonla.vn/van-hoa-xa-hoi/tu-trong-ky-uc-than-thuong-dam-cuoi-ngay-xua-A8QJwZkvg.html







Komentar (0)