
Suami saya dan saya bersepeda santai mengelilingi danau, tanpa banyak bicara, hanya mendengarkan deru roda di jalan setapak kecil, mendengarkan hembusan angin satu sama lain, mendengarkan detak jantung kami yang perlahan dan damai. Setelah lebih dari satu jam, kami memilih bangku batu di tepi danau untuk beristirahat. Memandang pemandangan dengan tenang, menghirup angin sepoi-sepoi, lalu kembali bersama di sore yang berkabut.
Saat memasuki rumah, seperti biasa, suami saya mengayuh sepedanya lebih dulu, cepat-cepat memarkir sepedanya dengan rapi di sudut, lalu berbalik dan menyapa:
- Berikan aku mobilnya, aku akan menyimpannya untukmu! C
Tanpa menunggu jawabanku, ia dengan lembut mengambil sepeda dari tanganku, seperti kebiasaan yang tak perlu dikatakan. Kelembutan yang tenang itu tiba-tiba melembutkan hatiku, membuatnya terasa sangat hangat. Kami berjalan masuk ke rumah bersama. Suamiku membuka kulkas, mengeluarkan beberapa kantong belanjaan, dan pergi ke dapur:
Aku akan menyiapkan semuanya, kita masak nanti. Naik ke atas dan nyalakan air panas, kita mandi.
Saya naik ke atas, menyalakan pemanas air, lalu kembali lagi untuk membantu suami menyiapkan makan malam. Dia mencuci sayuran, saya memotong bawang bombai, merebus sayuran, dan merebus ikan. Setiap langkahnya terukur dan penuh pertimbangan, layaknya seorang sahabat lama yang memahami istrinya hingga ke lubuk hatinya.
- Apakah Anda butuh bantuan lainnya?
- Ayo, mandi, airnya hangat.
- Baiklah, kalau begitu aku mandi dulu!
Sesaat kemudian, suamiku turun, rambutnya masih meneteskan air, tersenyum lembut:
- Ada lagi yang bisa kubantu? Mandi dulu, lalu turun supaya kita bisa makan.
Saya naik ke atas untuk mandi. Ketika saya turun, semuanya sudah tertata rapi: nampan makan malam yang rapi, makanan hangat, dua gelas anggur berkilauan di bawah cahaya kuning yang hangat. Kami selalu punya anggur di rumah. Setiap kali kehabisan, putri saya akan mengirimkannya kepada orang tuanya sebagai pesan cinta dari jauh.
Suamiku mengangkat gelas anggurnya dan memberikannya kepadaku:
- Ayo, kita bersulang!
Dentingan gelas bergema di dapur kecil, bagai melodi lembut yang menghangatkan malam. Tak perlu hidangan lezat, cukup tatapan, senyum, dan ucapan "bye baby" yang familiar saja sudah cukup membuatku merasa bahagia.
Setelah makan malam, sang suami dengan cepat berkata:
- Taruh sisa makanan di lemari es dan aku akan mencuci piring!
Sebelum aku sempat berkata apa-apa, dia sudah membawa seluruh nampan ke wastafel. Aku segera berkata:
- Biarkan saja di sana, biar aku yang mencucinya!
- Kamu susah payah masak, aku harus mencuci piring!
- Suami istri, masak beberapa hidangan sederhana, tidak ada yang sulit!
- Sudah kubilang, kamu masak dan aku mencuci piring!
Lalu suamiku berbalik, menatapku dan tersenyum cerah, matanya berbinar:
- Tahukah kamu mengapa aku selalu mencuci piring?
Sebelum saya bisa menjawab, dia melanjutkan:
- Aku bisa mencuci piring dalam beberapa menit. Tapi yang kuinginkan... adalah membuatmu bahagia. Benar, kan?
Suamiku seakan bisa melihat isi hatiku. Aku tersipu dan tersenyum tipis. Suamiku tersenyum lebih lebar lagi:
- Aku melihatnya di mata dan senyummu. Lihat, aku hanya melakukan hal kecil, tapi itu membuatmu sangat bahagia!
Suamiku mengedipkan mata nakal. Aku terdiam, jantungku berdebar kencang. Kalimat itu membuat ruang terasa lebih luas, waktu terasa melambat.
Saya ingat suatu hari ketika suami saya hendak pensiun, putri saya berbisik:
"Bu, persiapkan dirimu. Ayah sudah jadi bos selama bertahun-tahun. Sekarang setelah pensiun, dia akan mudah bosan dan mudah tersinggung."
Namun, suami saya beradaptasi dengan sangat cepat. Tanpa keluhan, tanpa omelan, ia menjadi teman yang lembut dan sabar, yang dengan sepenuh hati membantu saya membangun keluarga kecil ini.
Saya membersihkan meja makan, mengelap kompor, dan menata kursi-kursi dengan rapi. Suami saya baru saja selesai mencuci piring dan berkata dengan lembut:
- Ayo, kita minum teh!
Kami kembali ke meja teh, di mana terdapat vas berisi mawar merah, hadiah yang dibelikan suamiku beberapa hari yang lalu. Bunga-bunga itu masih segar, aromanya tercium di udara.
- Bunga ini telah mekar lebih dari seminggu tetapi masih harum.
- Bunga yang Anda beli akan tetap segar selamanya dan tidak akan layu!
- Kalau aku… bunga apa yang tetap segar selamanya?
- Ya, bunga yang saya beli lebih dari empat puluh tahun yang lalu masih segar!
Suamiku melirikku dengan senyum penuh kasih, mengangkat jari telunjuknya, dan dengan lembut menyentuh dahiku. Aku tertawa terbahak-bahak, jantungku berdebar kencang. Anggur, teh yang harum, tatapan penuh kasih sayang suamiku, semuanya menyatu dalam malam yang terasa begitu damai. Mata bertemu, tatapan penuh gairah, tak ada kata yang mampu menggambarkan luapan emosi. Aku bertanya-tanya: apakah kebahagiaan terkadang hanya hal-hal sederhana seperti itu? Sepatah kata perhatian, tatapan penuh kasih, tindakan lembut, cukup kecil untuk menghangatkan jiwa...
Kami membereskan meja teh, mematikan lampu, dan perlahan menaiki tangga. Setiap anak tangga seakan membawa kami kembali ke masa lalu, di mana tangan itu selalu siap menopang kami saat lelah, bahu itu selalu diam-diam melindungi kami dari badai kehidupan sehari-hari.
Pintu tertutup. Tak ada lagi suara lalu lintas di luar, hanya suara jantungku yang berdebar penuh cinta.
Berbaring bersebelahan, sang suami menarik selimut menutupi keduanya dan berkata dengan lembut:
- Tidurlah. Ayo bersepeda mengelilingi danau lagi besok.
Aku tersenyum dan mengangguk. Tak perlu janji-janji muluk, cukuplah kata sederhana, sesuatu yang familiar yang diulang-ulang esok hari, sudah cukup untuk membuat hatiku tenang. Karena kebahagiaan bukanlah sesuatu yang jauh. Kebahagiaan terkadang hanya jabat tangan saat matahari terbenam, sebuah ungkapan sederhana sehari-hari, sebuah gestur kecil yang dipenuhi cinta. Kebahagiaan adalah hal-hal kecil yang diulang-ulang dalam hidup, tetapi ia memupuk cinta yang abadi, lembut, dan mendalam.
Hal-hal kecil… tetapi memberi kami kebahagiaan besar!
Sumber: https://baohungyen.vn/viec-nho-cho-ta-hanh-phuc-lon-3187336.html






Komentar (0)