Desa Pac Ngoi. Foto: mytour.vn

Matahari telah terbit, tetapi tak cukup kuat untuk menyingkap tabir kabut. Pac Ngoi tampak lebih indah saat diselimuti kabut. Kabut merayap malas di atap-atap genteng yang telah pudar. Kabut menempel di pilar-pilar kayu. Kabut mengintip melalui celah-celah jendela mengikuti jejak cahaya yang masuk ke dalam rumah. Sejuk dan berkabut. Pepohonan di hutan pun diselimuti kabut. Tetes-tetes embun bergulir di ujung daun, berusaha sekuat tenaga berayun ke udara. Matahari pagi mencoba menyinari setiap tetes kaca yang berkilauan. Di bawah beranda, kabut masih menggantung. Bunga-bunga liar malu-malu mekar dengan kelopak merah mudanya. Para perempuan di desa telah bangun pagi. Tungku menyala merah karena api. Asap mengepul, bercampur dengan kabut, membentuk pola tipis di langit. Aromanya hangat dan harum. Aku menyibakkan selimut dan duduk di dekat api unggun. Ibu Duong Thi Thoa, pemilik motel, sedang memasak nasi ketan untuk sarapan bagi para tamu. Panci nasi ketan itu mengepul. Tak lama kemudian, hawa panas begitu menyengat hingga rasanya ingin merobek kancing-kancing pintu. Kakiku berlari di lantai kayu, menuju lorong. Astaga! Kabut berembus dingin menerpa wajahku. Aku mengulurkan tangan seolah bisa menangkap kabut itu. Angin membawa udara dingin dari Danau Ba Be dan berembus ke dadaku yang sesak. Aku berdiri di sana dan menarik napas dalam-dalam. Aku merasa sangat gembira. Seandainya saja aku bisa membungkus kabut itu, aku akan membawanya kembali ke kota sebagai hadiah. Di tempat yang penuh debu dan asap yang menyesakkan, menghirup kabut ini saja akan sangat berharga. Kabut di Pac Ngoi seolah memiliki keindahannya sendiri. Gumpalan kabut tipis dari puncak Lung Nham mengalir melalui Gua Puong, melayang di atas Danau Ba Be, dan meluncur di atas ladang jagung dan sawah di lembah. Saat memasuki desa, kabut membawa napas pegunungan dan perbukitan, aroma pepohonan hutan berdaun hijau, dan cita rasa nasi dan jagung yang kaya. Entahlah, mungkin itu sebabnya daging liar yang dikeringkan embun dan ikan sungai semalaman terasa lebih lezat dan nikmat. Saya hanya berdiri di sana memandangi kabut pagi. Di suatu tempat, di rumah-rumah yang jauh dan samar itu, pasti ada sepasang mata yang berkelana, mengirimkan cinta mereka ke dalam kabut. Kabut itu bagaikan lukisan yang mengaburkan segalanya, sehingga selama ribuan tahun gunung dan bukit tetap sunyi, Desa Tay tetap damai dan tenang. Bahkan pengunjung dari jauh yang datang untuk menginap pun terpikat oleh kabut, tak cukup kuat untuk membuat pemandangan menjadi bising dan riuh. Karena itu, Pac Ngoi tetap indah, menarik, magis, dan memungkinkan imajinasi berkelana. Pengunjung hanya mengikuti nyanyian Then, menyusuri lereng bukit, dan tergerak oleh kabut putih untuk menemukan jalan mereka ke sini. Di sana, para perempuan Tay bergigi hitam dan berbaju nila meniup nasi ketan setiap pagi, menyatu dengan asap dan kabut untuk melayani para pengunjung. Pac Ngoi adalah tempat pertemuan bagi mereka yang datang untuk menjelajahi Ba Be. Datanglah lebih awal untuk membenamkan diri di desa kecil yang berkabut.