
Musim dingin membawaku kembali ke kenangan masa lalu. Itulah masa-masa ketika aku pergi ke pasar desa bersama ibuku. Pagi-pagi sekali, ketika ayam jantan berkokok di kejauhan, aku dan ibuku berjalan menyusuri jalan desa yang membentang di sepanjang ladang, tepian rumput masih tertutup tetesan embun yang berkilauan. Bunga-bunga rumput liar berkibar tertiup angin, menarik perhatian orang yang lewat, menempel di ujung celanaku. Ibuku mengenakan kemeja cokelat usang, memikul beban berat, dan berjalan tergesa-gesa. Pasar desa itu sederhana, kecil, tetapi hangat dan ramah. Toko-toko reyot memajang beragam barang dan hasil pertanian, seperti sayuran hijau, jeruk, pisang, ayam, bebek; peralatan pertanian seperti keranjang, nampan, sabit, sabit; ikan hidup berlompatan, kepiting, siput masih berlumur tanah. Lelaki tua dengan punggung bungkuk dan tangan gemetar memamerkan oleh-oleh khas pedesaan: kertas nasi wijen, seikat pisang, setoples permen bubuk. Suara orang-orang tertawa, tawar-menawar, dan berbincang riuh. Di pasar desa, orang-orang tak hanya datang untuk berjual beli, tetapi juga untuk bertemu dan berbagi. Kisah-kisah tentang cuaca, hasil panen, dan kesibukan desa membuat pasar terasa akrab dan penuh kasih sayang. Setelah menjual sayur-sayurannya, Ibu segera membeli bahan makanan, kecap ikan, dan garam untuk menyiapkan makanan bagi keluarganya. Pagi-pagi pergi ke pasar bersama Ibu, meskipun hanya momen-momen sederhana, mengandung pelajaran berharga, memupuk jiwa saya untuk tumbuh dewasa dan merasakan kasih sayang, pengorbanan, dan perhatian Ibu kepada keluarganya.
Mengenang sore-sore pedesaan yang damai, di dapur dengan api yang menyala-nyala, panci nasi campur jagung dan kentang mendidih. Asap biru dari atap dapur dipenuhi aroma jerami dan lumpur. Dingin, airnya membeku, tetapi Ibu masih mengarungi kolam untuk mencuci sayur-sayuran yang akan dibawa ke pasar pagi-pagi keesokan harinya. Di kebun, Ayah sibuk menebang kayu, memotong bambu, menganyam jaring ikan untuk membajak sisa sawah besok, menangkap kepiting dan ikan. Tangan Ibu kurus dan gelap dimakan waktu. Kaki Ayah kapalan oleh tanah dan bebatuan, memperlihatkan bekas-bekas kehidupan yang keras. Orang tuaku berjuang sepanjang hidup mereka, membesarkan kami dari tumpukan sayur-sayuran hijau, kentang, dan ikan. Suara-suara dan gambaran yang familiar itu membentuk sore-sore pedesaan yang penuh kenangan. Aku merasa semakin kasihan pada Ayah dan Ibu, yang harus menjalani hidup yang sulit agar anak-anak mereka dapat tumbuh dan menjadi orang baik.
Musim dingin, musim pagi berkabut. Angin dingin berhembus melintasi angkasa. Tersembunyi dalam ilusi berkabut itu adalah kenangan masa kecil sebagai siswa di sekolah desa, tentang cinta dan kebaikan. Dalam perjalanan ke sekolah di pagi hari melewati ladang, setiap angin dingin berhembus, menusuk kulit. Rumput dan pepohonan layu. Deretan pohon xoan di sepanjang jalan telah menggugurkan semua daunnya, hanya menyisakan ranting-ranting gundul yang menjulang tinggi ke langit kelabu. Aku, Chan, Hau, Ky, beberapa teman sekelas, dan para gadis saling memanggil, berjalan di jalan ladang yang berangin. Berhari-hari, terburu-buru pergi ke sekolah, kami memetik pisang dan buah ara hijau untuk dimakan. Musim ini, sayuran musim dingin menghijau di ladang. Karena lapar dan kedinginan, beberapa anak menggali ubi jalar untuk dibagi dan dimakan mentah-mentah. Pada masa itu, hidup sulit, kondisi dan fasilitas pengajaran kurang memadai. Sekolah itu berupa deretan rumah beratap genteng, halaman sekolah berlantai tanah yang tidak rata, ruang kelas kekurangan meja dan kursi, dan angin musim dingin terasa sangat dingin menusuk tulang. Di tengah udara dingin yang menusuk tulang, baik guru maupun siswa pergi ke sekolah dengan rambut basah. Saat istirahat, di halaman sekolah yang luas, kami berlari dan melompat-lompat, bergerak untuk mengusir dingin. Hanya beberapa anak yang masih duduk meringkuk di sudut kelas, termasuk Chan. Chan berasal dari keluarga miskin. Ayah Chan seorang pecandu alkohol, mabuk setiap hari, memarahi dan memukuli istri dan anak-anaknya. Ibu Chan tak tahan dengan pukulan suaminya yang kasar, jadi ia melarikan diri bersama Muc, seorang pedagang kayu di hulu, meninggalkan tiga anak di rumah reyot. Siang hari, Chan dan saudara-saudara perempuannya kelaparan dan kedinginan. Malam harinya, ketiga saudara perempuan itu meringkuk di atas tikar robek yang dihamparkan di tanah, tanpa bantal atau selimut. Setiap hari ke sekolah, Chan hanya mengenakan kemeja tipis berwarna bubur dengan kancing yang rusak. Di tengah udara dingin yang menusuk tulang, gigi Chan bergemeletuk, bibirnya memutih, dan jari-jari kakinya berwarna ungu. Chan pendiam, tertutup, dan hanya duduk di satu tempat di kelas, matanya sayu. Mungkin karena pilek yang berkepanjangan, Chan terkena pneumonia dan harus tinggal di rumah dan tidak bersekolah. Bu Hien, wali kelasnya, bersepeda ke rumah Chan sepulang sekolah untuk memberinya pakaian hangat, beras, memberinya les privat, dan menyemangati Chan untuk terus belajar. Kebaikan Bu Hien membangkitkan rasa welas asih murid-muridnya. Tak hanya itu, beliau menanamkan keyakinan dalam diri kami masing-masing, memberi kami lebih banyak kekuatan untuk bangkit, dan memupuk impian serta aspirasi kami untuk masa depan yang lebih baik. Kami membantu Chan, beberapa memberi kami pena, buku, beberapa menyalin pelajaran kami, bertanya, dan menyemangati kami. Musim dingin dihangatkan oleh kasih sayang manusia, oleh kasih sayang dan berbagi yang begitu besar. Dengan tekadnya sendiri dan perhatian serta bantuan dari guru dan teman-temannya, Chan mengatasi kesulitannya, mengalahkan penyakitnya, dan terus bersekolah...
Kenangan musim dingin itu masih membekas dalam ingatan, menyehatkan jiwa, menghangatkan hati, mengandung begitu banyak cinta dan kehangatan. Musim dingin mendekatkan dan saling mencintai dengan lebih tulus, mengenang perasaan sakral, mengenang kenangan, mengenang sosok ibu, bayangan ayah, kebaikan hati, bahkan hal-hal sederhana yang akrab, untuk lebih menghayati dan mencintai momen-momen yang telah kita lalui. Hati dan perasaan itu adalah api yang menghangatkan hati, membangkitkan keyakinan abadi akan cinta dan kebaikan. Dalam hidup ini, masih banyak orang yang berada dalam kesulitan dan sengsara yang membutuhkan pertolongan. Saya ingin berbagi dan menyebarkan lebih banyak kehangatan manusia agar musim dingin senantiasa hangat dengan cinta dan kasih sayang, menambah keyakinan dan kekuatan bagi mereka yang miskin dan kurang beruntung untuk bangkit dalam hidup.
Sumber: https://baohungyen.vn/ky-uc-mua-dong-3188739.html










Komentar (0)