Entah sejak kapan, di teralis bugenvil depan rumah, sepasang burung tekukur datang untuk membuat sarang. Suatu hari, aku mendengar kicauan anak-anak burung itu dan mengikuti mereka hingga menemukan sarang mungil nan cantik yang tersembunyi di balik dedaunan. Ibu berpesan agar aku membiarkannya saja, jangan diusir, sayang sekali. Sejak saat itu, keluarga burung kecil itu tinggal bersama keluargaku.
Ibu saya, entah karena takut burung-burung itu pergi atau kasihan melihat burung-burung itu bekerja keras, membeli padi dan menebarnya di halaman setiap pagi, lalu menutup pintu dan mengawasi mereka lewat celah kecil di pintu. Suatu kali, saya bangun pagi-pagi dan mendapati keanehan ibu saya. Saya terkejut dan bertanya apa yang sedang dilakukannya. Ibu menyuruh saya diam dan menyuruh saya bicara pelan-pelan, nanti mereka kaget. Siapa gerangan mereka? Saya penasaran mengintip lewat celah pintu dan melihat sepasang burung tekukur sedang mematuk padi sambil melihat sekeliling untuk berjaga-jaga. Ah, ternyata itu sepasang burung di teralis bunga. Hanya itu, ibu saya memperhatikan dengan penuh perhatian, terpesona, seperti sedang menonton pertunjukan musik. Orang tua memang punya kesenangannya sendiri yang tak bisa dipahami oleh anak muda seperti saya. Saya menjelaskannya begitu saja pada diri sendiri dan benar-benar lupa.
Suatu hari, saat sedang makan, Ibu mengumumkan kalau mereka punya anak baru. Aku kaget dan bertanya pada Ibu: Oh, aku tidak ingat Si kita sedang hamil. Ibu melotot padaku: Aku tidak bilang Si, aku bilang dua ekor burung perkutut. Ah, jadi itu keluarga burung di teralis bunga depan rumah. Aku menggoda: Jadi, berapa anak burungnya, Bu? Tak disangka, Ibu sudah memberi tahuku tiga anak. Anak pertama dua, anak berikutnya tiga, aku tidak mengerti kenapa anak ini hanya satu, mungkin Ibu kurang memberi mereka makan. Lalu Ibu bergumam dan menghitung-hitung apakah mereka harus menambah waktu makan atau mungkin mereka kurang nutrisi sehingga harus beralih ke makanan pelet. Aku hanya menggelengkan kepala, iba sekaligus tertawa, iba pada Ibu yang sendirian di rumah dan bosan, merawat burung-burung itu sebagai kesenangan, dan yang lucu adalah Ibu bersikap seolah-olah burung-burung itu hanya hewan peliharaan.
Aku benar-benar lupa tentang burung-burung itu. Aku cenderung melupakan hal-hal yang tidak penting. Lagipula, aku sibuk bekerja seharian, dan pikiranku tak sanggup mengingat hal-hal sepele. Aku juga benar-benar lupa bahwa ibuku semakin tua. Tapi orang tua itu seperti daun kuning di pohon, kita tak pernah tahu kapan mereka akan gugur.
Ibu tidak pernah mengingatkanku bahwa dia sudah tua.
Ibu tidak pernah bertanya, marah atau menyalahkan saya untuk hal apa pun.
Ibu selalu tersenyum, menceritakan kisah-kisah lucu yang didengarnya dari tetangga. Senyumnya membuatku merasa tenang. Aku mendengarkan ceritanya dengan acuh tak acuh, terkadang bahkan diam-diam menghakiminya karena punya begitu banyak waktu luang. Ibu sama sekali tidak tahu apa yang kupikirkan, atau kalaupun tahu, ia mengabaikannya. Ketika lansia sudah tidak sehat lagi, mereka sering mengabaikan hal-hal yang tidak mereka sukai untuk meredakan kekhawatiran. Jika tak menemukan kebahagiaan, abaikanlah kesedihan, kata Ibu sering kali.
Namun, putra bungsu ibunya tidak memahami makna mendalam dari pepatah itu. Ia masih terpuruk dalam pekerjaannya, dan bahkan di usianya yang hampir empat puluh tahun, ia masih belum menemukan menantu untuk menemani ibunya. Ia hanya berpikir bahwa memiliki menantu belum tentu menyenangkan, dan jika mereka berdua tidak akur, mereka akan bertengkar dan semakin sakit kepala. Ia hanya berpikir bahwa memberi ibunya uang setiap bulan untuk dibelanjakan, membeli susu, dan membeli makanan lezat untuk memberinya makan sudah cukup. Ia tidak tahu bahwa ibunya diam-diam memberikan makanan bergizi kepada anak-anak saudara laki-laki dan perempuannya yang kedua karena mereka memiliki banyak anak dan sedang berjuang secara finansial, dan ketika mereka tua, mereka tidak akan makan makanan bergizi, hanya anak-anak yang perlu makan untuk tumbuh.
Ketika putra bungsuku menyadari kesepian dan pikiran-pikiranku yang mendalam, aku tak lagi di sisinya. Sambil berbaring di ranjang, ibuku terus mengingatkan saudara-saudaranya: Sudah ada yang memberi makan burung-burung? Mereka begitu miskin hingga kelaparan. Ibuku tidak tahu bahwa sejak aku sakit, burung-burung kecil itu telah pindah ke tempat lain. Mungkin mereka lapar atau karena ada lebih banyak orang yang datang dan pergi di rumah, membuatnya lebih berisik, sehingga mereka takut dan pergi. Ibuku percaya kepada anak-anaknya bahwa mereka telah memberi mereka makan dua kali sehari seperti yang ia perintahkan. Jadi sebelum ia menutup matanya, putra bungsuku mengingatkannya untuk ingat memberi makan burung-burung untukku, jangan biarkan mereka begitu miskin hingga kelaparan.
Putranya masih sibuk bekerja, bahkan tak memikirkan sarang burung kecil itu. Ia hanya merindukan ibunya, merindukan hidangan lezat yang dimasaknya. Setiap kali ia menyalakan dupa di altar dan memandangi potret ibunya, ia merasa sedih. Acara makan bersama keluarga pun semakin jarang, ia biasanya pergi ke restoran untuk makan sebelum pulang.
Sampai ia membawa kekasihnya pulang berkunjung, dan mendengar kekasihnya berkata bahwa sepertinya ada sarang burung di teralis bunga, dan mendengar kicauan anak-anak burung, ia tiba-tiba teringat sepasang merpati dan nasihat ibunya. Ia segera mencari sekantong kecil beras yang disimpan ibunya di sudut lemari. Ada lebih dari setengah kantong tersisa. Ia mengambil segenggam beras dan melemparkannya ke halaman, lalu meniru ibunya dengan menutup pintu dan mengintip. Sepasang merpati berbulu biru di sayapnya menukik ke bawah untuk makan, mematuk-matuk beras sambil melihat sekeliling untuk berjaga-jaga. Temannya terkekeh dan berbisik, "Kamu punya hobi yang aneh." Baru kemudian ia ingat bahwa ia pernah memikirkan ibunya seperti itu. Ia juga teringat sosok ibunya yang bungkuk dan sikapnya yang penuh gairah saat memperhatikan sepasang burung itu makan. Air mata mengalir deras, anak laki-laki itu memanggil dengan lembut, "Bu!"
Sumber

![[Foto] Perdana Menteri Pham Minh Chinh menghadiri Upacara Penghargaan Pers Nasional ke-5 tentang pencegahan dan pemberantasan korupsi, pemborosan, dan negativitas](https://vphoto.vietnam.vn/thumb/1200x675/vietnam/resource/IMAGE/2025/10/31/1761881588160_dsc-8359-jpg.webp)


![[Foto] Da Nang: Air berangsur surut, pemerintah daerah memanfaatkan pembersihan](https://vphoto.vietnam.vn/thumb/1200x675/vietnam/resource/IMAGE/2025/10/31/1761897188943_ndo_tr_2-jpg.webp)


























































Komentar (0)