Salah satu aturan ketat bagi suku Hmong adalah aturan berpakaian: gadis Hmong harus menjahit gaunnya sendiri ketika memasuki rumah suaminya, dan pakaian adat harus dikenakan ketika ia meninggal agar leluhurnya dapat mengenali keturunannya. Karena alasan sederhana inilah, profesi menenun linen masih ada di setiap rumah dan desa etnis.
Ha Giang – dataran tinggi berbatu – tidak hanya menarik wisatawan domestik dan internasional dengan hamparan ladang bunga soba, jalan pegunungan yang berkelok-kelok, serta hamparan sawah terasering yang menawan di musim padi matang, berkilau di musim air deras, dan jajaran gunung yang luas, tetapi juga dengan kekayaan budaya tradisional suku minoritas.
Bagi masyarakat Mong di kelurahan Lung Tam, distrik Quan Ba, Ha Giang, linen merupakan simbol budaya. Masyarakat di sini masih mempertahankan profesi menenun linen tradisional dengan menggunakan bahan-bahan alami dan proses manual.
Profesi penenun kain linen masyarakat Mong mempunyai arti yang sangat besar bagi budaya tradisional bangsa, suatu gambaran nyata dari ketekunan dan kerja keras masyarakat yang telah mengatasi segala kesulitan dan kerasnya alam untuk membangun kehidupan yang semakin indah.
Menurut para tetua setempat, ketika gadis-gadis Mong mencapai usia dewasa, keluarga mereka akan memberi mereka tanah milik mereka sendiri untuk menanam rami. Sebelum menikah, mereka harus bisa menenun linen. Ketika mereka pindah ke rumah suami mereka, ibu mertua mereka akan memberi mereka satu set linen. Pengantin wanita baru akan memberikan satu set linen yang ia tenun dan jahit sendiri kepada ibu mertuanya.
Menenun linen juga menunjukkan ketangkasan dan ketekunan, serta menjadi salah satu kriteria penilaian bakat dan kebajikan seorang perempuan. Suku Mong percaya bahwa linen membantu menghubungkan keturunan dengan leluhur mereka.
Bahan baku utama untuk menenun rami adalah rami. Tanaman rami dipanen setelah sekitar dua bulan penanaman. Jika dipanen lebih awal, serat rami akan keras. Jika dipanen lebih lambat, kulit rami akan sulit dikupas. Saat dikupas, kulit rami harus berada di tempat yang terhindar dari sinar matahari dan angin agar kulit rami tidak menempel di batang pohon.
Setelah dipisahkan, kulit rami ditumbuk dalam lumpang hingga menggulung, kemudian serat-seratnya disambung dengan menggulungnya langsung ke tangan atau tongkat kayu, menyambung ujung ke ujung, akar ke akar, memastikan sambungannya memiliki lebar yang sama. Setelah disambung, serat rami direndam dalam air dingin selama 15-20 menit, lalu diletakkan di atas mesin pintal.
Untuk menghasilkan kain yang indah, perajin harus mencintai pekerjaannya, sabar, dan terampil. Serat rami harus rata sejak tahap pengupasan agar kain tenun awet dan indah. Setelah dikupas, serat rami ditumbuk hingga lunak, lalu disambung menjadi serat panjang. Suku Mong juga menemukan alat pemintal yang menggabungkan tangan dan kaki untuk memintal 4 serat rami secara bersamaan.
Benang kemudian dimasukkan ke dalam mesin pintal untuk diurai dan dibundel, lalu direbus dengan abu, direndam, dan dicuci. Proses ini diulang hingga linen menjadi putih, lalu dikeringkan dan dimasukkan ke dalam mesin tenun. Ketika benang dimasukkan ke dalam mesin, pekerja menghitung jumlah benang yang tepat, tergantung pada lebar kain.
Masyarakat Mong masih menenun kain dengan tangan menggunakan alat tenun. Proses menenun biasanya dilakukan oleh perajin tua berpengalaman yang dapat menangani benang putus atau rusak.
Kain tenun yang telah selesai diletakkan di antara lempengan batu dan tiang kayu. Pekerja berdiri di atas lempengan batu dan menggulungnya maju mundur hingga seluruh permukaan kain rata, lembut, dan halus. Kain kemudian direndam dalam abu kayu selama seminggu untuk memutihkannya, lalu dikeringkan. Kain linen yang indah harus memiliki benang yang rata, putih, dan halus. Linen tahan lama dan menyerap kelembapan, sehingga terasa sejuk saat dikenakan.
Majalah Heritage






Komentar (0)