
Tuan Nguyen Van Hoang di samping gerbang pohon hijau yang ia buat sendiri di Dusun 11A, Komune An Minh.
Rumah kecil Tuan Hoang terletak di pinggir jalan di Dusun 11A, Komune An Minh. Rumah tua itu, dengan lantai semennya yang sudah pudar, adalah properti peninggalan orang tuanya. Tanpa istri atau anak, kesehatan yang terbatas, serta tuli dan bisu sejak kecil, hidupnya bisa saja berakhir sunyi. Namun, pria berusia 61 tahun ini memilih untuk hidup berbeda, dengan tekun menebar keindahan.

Setiap 7-10 hari, Tn. Hoang mengeluarkan guntingnya untuk merapikan gerbang agar tetap indah dan rapi.
Hari kunjungan kami, Pak Hoang sedang membungkuk di atas pagar, dengan gunting pangkasnya yang biasa di tangan. Melihat orang asing, ia hanya tersenyum, senyum lembut, matanya menyipit, lalu melanjutkan pekerjaannya seolah-olah itulah caranya menyapa.
Sekitar 10 tahun yang lalu, ketika An Minh mulai membangun desa baru, Dusun 11A mulai memperluas jalur lalu lintas. Warga turut menyumbangkan tenaga dan upaya mereka. Pak Hoang, meskipun tidak mendengar tentang kampanye tersebut, juga tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun dukungan, tetap diam-diam melakukan bagiannya.

Tuan Hoang selalu optimis meskipun hidup penuh dengan kesulitan.
Pak Hoang membawa bibit-bibit pohon kecil yang ia tanam sendiri ke pinggir jalan, dengan hati-hati menempatkannya dalam barisan yang lurus. Konon, saat itu tak seorang pun menyangka tunas-tunas hijau kecil itu akan tumbuh. Namun kini, mereka telah menjelma menjadi gerbang tiga pintu yang unik tepat di pintu masuk Dusun 11A, menjadikannya bangunan terindah di dusun tersebut. Ketiga lengkungan pohon tersebut melengkung rata, terhubung dengan lis-lis halus, tampak seperti gerbang yang menyambut kedatangan orang-orang.
Banyak rombongan pengunjung yang kembali ke dusun terpaksa menghentikan mobil mereka untuk melihat dan berseru: "Siapa yang membuat gerbang ini begitu indah?". Orang-orang hanya tersenyum dan berkata: "Itulah Sang Raja!".
Selama bertahun-tahun, setiap 7-10 hari, ia mengeluarkan guntingnya untuk memangkas. Tak seorang pun membimbingnya, tak ada dokumen, tak ada cetak biru, semuanya dibentuk oleh intuisi estetika dan tangan terampilnya. Baginya, pohon memiliki suara, jiwa. Ia mengamati bentuk setiap cabang, mengukurnya dengan mata, membengkokkannya sesuai perasaan, lalu memotongnya menjadi lingkaran dan lengkungan alami yang aneh.
Di depan rumahnya terdapat taman pohon aprikot kuning yang rimbun. Yang membuat banyak orang semakin tertarik adalah setiap pohon memiliki bentuk yang berbeda-beda, ada yang lurus dan anggun, ada yang miring dan romantis, ada pula yang berbentuk seperti naga yang berkelok-kelok. Banyak orang datang ke rumahnya untuk melihat taman aprikot dan mengagumi bakatnya.

Tuan Hoang dengan potret ayahnya yang digambar dengan goresan sederhana namun emosional.
Tak hanya pandai merawat tanaman, Pak Hoang juga pandai menggambar. Ia bisa menggambar potret, rumah-rumah komunal, kuil, dan pemandangan pedesaan. Goresannya sederhana namun halus, seolah-olah ia menuangkan semua "mendengarkan" dan "berbicara" dalam hidupnya ke dalam setiap lukisan. Warga dusun sering memintanya untuk menggambar ulang atap rumah komunal lama, atau sudut-sudut lama dusun. Ia tidak menerima uang, hanya tersenyum dan menyerahkan lukisan itu dengan kedua tangannya.
Hidup Pak Hoang sederhana, sebuah rumah tua, beberapa helai pakaian, dapur kecil, kotak pensil, dan beberapa botol cat akrilik. Namun, semua orang yang tinggal di dekatnya berkomentar: "Beliau tidak kaya uang, melainkan kaya kebaikan." Beliau tak dapat berkata-kata, tetapi pengabdiannya kepada setiap pohon, setiap ranting, dan setiap lukisan "berbicara" lebih dari seribu kata baginya.

Tuan Hoang sedang melukis karya barunya dengan penuh perhatian.
Di tengah hiruk pikuk hari ini, Tuan Hoang masih berdiri diam di gerbang dusun setiap hari, dengan lembut menarik pucuk-pucuk pohon, mengirimkan cintanya ke tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Sehingga setiap orang yang melewati dusun 11A juga membawa sedikit ketenangan, sedikit kehangatan dari suara Tuan Nguyen Van Hoang sendiri – suara pepohonan, dedaunan, dan jiwa yang tak pernah hening.
Artikel dan foto: DANG LINH
Sumber: https://baoangiang.com.vn/nguoi-ke-chuyen-bang-cay-la-a469226.html






Komentar (0)