Saya kenal banyak perempuan yang tak pernah membeli barang berharga untuk diri mereka sendiri seumur hidup, bahkan tak pernah berani makan semangkuk pho. Sepanjang hidup mereka, mereka hanya memikirkan bagaimana mengurus semua kebutuhan keluarga, bagaimana cara menabung sebanyak mungkin. Mereka tidak hidup untuk diri mereka sendiri, melainkan selalu hidup untuk suami dan anak-anak mereka. Mereka hidup hari ini, tetapi selalu harus mengkhawatirkan hari esok, lusa, mengkhawatirkan segala hal di masa depan, takut hal-hal buruk akan terjadi.
Ibu saya salah satunya. Seluruh hidupnya dikaitkan dengan pengorbanan diam-diam demi suami dan anak-anaknya. Bahkan di usia senjanya, ia masih duduk dan mengkhawatirkan setiap anak, kesal karena salah satu dari mereka menjalani kehidupan yang tidak memuaskan. Sifat khawatir itu sudah mendarah daging dalam dirinya, begitu pula sifat hematnya. Ia tak pernah membeli apa pun untuk dirinya sendiri, selalu menyesal telah menghabiskan uang, bahkan ketika anak-anaknya membelikannya, mereka memarahinya mengapa ia membeli barang-barang mahal seperti itu, ia tak pernah pergi ke mana pun. Semua anaknya menasihatinya, Bu, berapa tahun lagi Ibu masih hidup? Mengapa Ibu harus berhemat, makan apa saja yang Ibu suka, beli apa saja yang Ibu suka, pergilah bersenang-senang, jangan khawatir lagi, anak-anak sudah dewasa, punya istri dan suami, masing-masing mengurus dirinya sendiri. Ibu tersenyum miris: mau bagaimana lagi, itulah kodrat manusia.
Ada masanya aku menganggapnya indah, baik, menganggapnya sebagai pengorbanan yang perlu dari seorang ibu, seorang istri. Lalu berkali-kali aku menangis sendirian karena dendam, apakah suamiku tahu tentang pengorbananku, apakah anak-anakku mengerti? Tidak. Tidak seorang pun mengerti pengorbananku. Di meja makan, semua makanan lezat disediakan untuk suamiku dan anak-anakku, mereka menganggapnya sudah jelas. Ketika membeli pakaian, aku selalu membeli untuk anak-anakku, lalu suamiku, selama beberapa tahun aku sendiri tidak membeli baju baru karena aku kasihan dengan uangnya, karena aku merasa itu tidak perlu, aku tidak pergi ke mana-mana... Lalu dendam itu terus menumpuk, semakin menumpuk, ketika aku tidak tahan lagi, aku berdebat dengan suamiku, menangis lagi. Suamiku tidak mengerti, dia hanya kesal dan mengatakan bahwa orang-orang tidak masuk akal, orang-orang yang akan membuat masalah pada hal sekecil apa pun.
Kutahan rasa sakit itu sendirian, kutahan sendirian, dan meratapi nasibku. Hingga suatu hari, seorang saudari dekatku meninggal dunia, kematiannya menyadarkanku betapa bodohnya berkorban demi orang lain. Hidupnya jelas di depan mataku, pengorbanan seumur hidup untuk mengurus suami dan anak-anaknya, bekerja dan menabung, membangun karier. Bahkan di hari-hari terakhirnya melawan kanker, terbaring di tempat tidur, hal pertama yang ia katakan saat membuka mata adalah: Sudah makan belum, Khang? Di hari kematiannya, saat mempersiapkan pakaian untuk kremasi, orang-orang menemukan seisi lemari penuh pakaian dengan label yang masih menempel. Ia membelinya dan meninggalkannya begitu saja tanpa sempat memakainya. Ia tak pernah memberi dirinya waktu untuk beristirahat, untuk keluar dan memakainya.
Aku melihat diriku dalam hidupnya. Aku mengerti, bekerja keras, selalu mengkhawatirkan suami dan anak-anak, apa gunanya? Hidup manusia sangat singkat, tak seorang pun tahu kapan hari terakhirnya. Setiap orang lahir hanya sekali, hidup hanya sekali, mengapa menyiksa diri sendiri, mengapa menunggu orang lain mencintai mereka alih-alih mencintai diri sendiri. Jadi aku memutuskan untuk berubah. Aku harus menjalani hidup yang berbeda dari ibuku, berbeda dari temanku. Aku mulai lebih mendengarkan tubuhku. Tidur lebih awal. Makan apa yang aku suka. Membeli apa yang aku suka. Setiap kali aku dibayar, hal pertama yang kulakukan adalah menghadiahi diriku sendiri dengan sesuatu yang aku suka. Aku mulai lebih peduli dengan penampilanku. Aku mulai lebih banyak tersenyum. Aku mulai mendelegasikan tugas kepada suami dan anak-anakku. Dan aku mulai mengabaikan mereka ketika mereka tidak melakukan apa yang aku inginkan. Anak itu membersihkan lantai yang kotor. Tak apa. Ia harus belajar mengerjakan pekerjaannya sendiri. Suaminya menyetrika pakaian dengan sembarangan. Tak apa, itu pakaiannya, jika kau ingin memakai pakaian yang rapi, kau harus melakukannya sendiri. Awalnya, suami dan anak-anak saya bereaksi keras karena mereka terbiasa dilayani. Setelah beberapa saat, mereka berhenti mengeluh. Sekarang putri saya tahu cara memasak sendiri ketika melihat ibunya sibuk bekerja. Sekarang suami saya tidak mengeluh ketika melihat istrinya berdiri di depan cermin mengoleskan losion sebelum tidur. Dunia akan berubah ketika kita berubah.
Tanggal 20 Oktober sudah dekat, saya tahu banyak wanita sedang menunggu hadiah dari kekasih, suami, dan anak-anak mereka. Lalu, akan ada momen berfoto untuk diunggah di Facebook. Tentu saja, dikenang dan diberi hadiah di hari raya ini adalah kebahagiaan. Tapi kalau belum punya, jangan sedih, kenapa tidak beli saja hadiah yang kamu suka dan berikan untuk dirimu sendiri karena kamu pantas mendapatkannya?
Sumber
Komentar (0)