Rumahku berada di sisi lereng bukit ini, di mana kebunnya menghijau sepanjang tahun dengan pohon-pohon kopi yang menghitam seiring bertambahnya usia, lebih jauh lagi terdapat barisan lengkuas dan ubi jalar yang tumbuh mengikuti medan. Di sekeliling kebun, ibuku masih menyisakan jalan setapak terbuka bagi bunga matahari liar, kosmos, dan rumput untuk berteman, musim demi musim. Pagi-pagi sekali, cukup buka gerbangnya perlahan, di depan mataku terbentang ruang yang murni, hijau, dan luas tak terbatas. Di hadapan harmoni langit dan bumi, aku melihat betapa berharganya hidup ini.

Aku ingat, ketika keluargaku pindah ke sini, hari itu juga musim kemarau dengan langit biru yang tinggi dan angin yang kencang. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasakan angin begitu jelas dan berbeda. Angin di sini begitu aneh, seolah-olah bersembunyi dengan hati-hati di tempat yang telah ditentukan lalu tiba-tiba menyerbu, membawa beberapa gumpalan debu bercampur rumput kering, berputar-putar di sekitar kakiku, melekat erat.
Angin menghembuskan sedikit sinar matahari yang kering, sedikit kelembutan awan, sedikit desiran dedaunan kering yang bersandar di jalanan yang sepi. Dan, angin pun menyapu beberapa tetes keringat yang baru saja menyentuh pipiku setelah sehari semalam di bus, dan begitu aku turun, aku langsung disambut hangatnya matahari. Angin juga menyembunyikan gejolak dan frustrasi di hati seseorang yang meninggalkan teman-teman masa kecil dan kenangan yang tak terhitung jumlahnya untuk pertama kalinya demi datang ke dataran tinggi ini, meskipun itu sudah pasti.
Di tengah sore yang cerah, setelah baru saja selesai memindahkan barang-barang dari mobil ke halaman yang berdebu kemerahan, Ibu bergegas berjalan mengelilingi taman. Melihat sesosok tubuh beristirahat di bawah pohon, Ibu segera menghampiri dan menanyakan nama hamparan bunga kuning di depannya, yang melengkung tertiup angin. Ia mengulurkan tangan untuk memetik sekuntum bunga, lalu membawanya kembali kepadaku dan berbisik: "Bunga matahari liar itu, Anakku, baru saja meninggalkan ranting dan sudah layu. Ternyata ada bunga yang hanya indah ketika menempel di ranting dan tanah. Mungkin begitu pula manusia, jika kita tekun menempel di tanah dan taman, hidup akan baik-baik saja."
Karena orang tua saya petani, mereka hampir tidak pernah membiarkan lahan kosong, dan setiap musim penuh dengan buah-buahan dan pepohonan yang berwarna-warni. Namun, ibu saya masih menyisakan sebidang tanah di ujung ladang untuk sepetak bunga matahari liar, beberapa rumpun rumput, dan beberapa rumpun clematis Cina untuk tumbuh dan berkembang. Ibu saya berkata, lihatlah pepohonan untuk hidup. Jadi, clematis Cina adalah untuk merangkum kecintaan terhadap sawah di kampung halaman saya, dan sepetak bunga matahari liar dan rumpun rumput adalah cara untuk mengingat motto hidup ibu saya: hidup sederhana, harmonis, dan selalu berusaha mengatasi kesulitan. Bukankah tanaman liar itu, tidak peduli matahari atau hujan, tidak peduli kekeringan atau angin dingin, tetap terus menempel di tanah dan tumbuh hari demi hari?
Ketika cintaku pada tanah air kedua ini—dataran tinggi—semakin besar, aku semakin mencintai musim-musim angin biru. Berlalu tahun demi tahun, aku telah melewati musim-musim angin panjang yang berhembus di lereng bukit, musim-musim angin yang menembus atap rumah bersama kabut dingin, musim-musim angin sejuk yang bernyanyi panjang di jalanan... Musim-musim angin itu berakar kuat dalam harapan orang tuaku akan hidup yang bahagia dan sejahtera. Musim-musim angin itu membangkitkan dalam diriku mimpi dan keinginan untuk berkontribusi atau sekadar menjadi sukarelawan dalam hidup. Lalu, setiap kali angin bertiup, aku dengan santai pergi ke ujung taman untuk mengamati setiap rerumputan yang bersandar di ladang bunga matahari liar, menyambut hangatnya sinar matahari.
Sumber: https://baogialai.com.vn/cao-nguyen-mua-gio-biec-post572446.html






Komentar (0)