Vietnam.vn - Nền tảng quảng bá Việt Nam

Pasar pedesaan saat musim banjir

Saat musim banjir tiba, air dari hulu diam-diam naik, meluapi sawah, dan mengalir ke gang-gang. Jalan menuju pasar yang biasa dilalui setiap hari kini hanya ditumbuhi pohon bambu dan pisang yang bergoyang di air kuning keruh.

Báo Long AnBáo Long An21/11/2025

Foto ilustrasi (AI)

Saat musim banjir tiba, air dari sumbernya diam-diam naik, meluap ke sawah, dan mengalir ke gang-gang. Jalan menuju pasar yang biasa kita lalui setiap hari kini hanya ditumbuhi pohon bambu dan pisang yang bergoyang di air kuning keruh. Namun, warga kampung halaman saya masih belum bisa meninggalkan kebiasaan menggelar pasar. Selama musim banjir, pasar dipindahkan ke jalan, bahkan terkadang harus naik ke kaki jembatan, tempat tertinggi di daerah itu.

Pasar musim banjir sangat sederhana! Hanya ada beberapa kios ikan, beberapa kios makanan kering, beberapa keranjang sayur, beberapa ikat pisang, dan beberapa ikat kangkung yang masih berlumpur dari kebun. Penjualnya sedikit, tetapi pembelinya banyak. Semua orang paham bahwa di hari-hari banjir seperti ini, memiliki sesuatu untuk dijual atau dibeli sangatlah berharga. Banyak orang mendayung perahu, menuntun anak-anak mereka, membawa beberapa ikat sayur, beberapa labu, dan beberapa telur dalam keranjang untuk dibawa ke pasar. Para pembeli, dengan celana setengah tinggi dan satu rendah, baru saja mengarungi desa atau turun dari perahu, memegang keranjang plastik yang bergoyang di tengah gerimis.

Namun, pasar tetap ceria. Suara orang-orang yang saling memanggil dan bertanya begitu keras hingga mengalahkan suara air yang mengalir di bawah jembatan. Setiap kali bertemu, orang-orang akan bertanya tentang rumah masing-masing: "Airnya sudah surut?", "Ayam-ayamnya baik-baik saja?", "Airnya naik begitu cepat tadi malam?". Pertanyaan-pertanyaan itu bercampur kekhawatiran, dan jawaban-jawabannya dipenuhi kegembiraan karena tahu mereka diperhatikan. Pasar selalu ramai dengan obrolan dan tawa, meskipun di sekelilingnya hanya ada air.

Para pedagang selalu memandangi air di belakang mereka, khawatir jika air semakin tinggi, mereka harus memindahkan barang dagangan mereka ke jembatan. Terkadang, mereka harus memasang papan agar barang dagangan mereka tetap kering. Hujan gerimis, jas hujan nilon mereka menempel di badan, tangan mereka menangkup untuk menutupi sayuran dan keranjang ikan, tetapi tak seorang pun mengeluh. Penduduk desa sudah terbiasa dengan banjir, mereka hanya berharap setelah beberapa hari air akan surut, sawah akan menghijau kembali, dan tepian sungai akan menguning dengan padi yang sudah masak.

Saya suka pasar desa yang banjir karena hal istimewa itu—kasih sayang manusia di masa sulit. Di sana, jual beli seolah hanya alasan bagi orang-orang untuk bertemu dan berbagi. Mereka yang punya lebih memberi, mereka yang kurang, tak ada yang menawar. Terkadang, penjual bilang, "Jangan, ambil saja, kami punya anak kecil," pembeli memberi beberapa koin lagi, "untuk beli minyak untuk penerangan malam ini." Hujan, angin, banjir, tapi betapa hangatnya.

Mengenang pasar desa yang terendam banjir, saya sering teringat masa kecil saya mengikuti Ibu ke pasar. Saat itu hujan deras, air setinggi lutut, semua keluarga berkerumun di loteng, nasi dimasak dengan gabah kering simpanan, dan selama beberapa hari kami harus makan mi instan. Ketika hujan reda dan air agak surut, Ayah mendayung perahu untuk mengantar Ibu dan saya ke pasar. Ayah berkata, "Kudengar pasar di jembatan sekarang sudah buka."

Duduk di perahu, saya sering memandang sekeliling, melihat warna kuning suram di mana-mana. Atap jerami hanya terlihat di atas, kawanan bebek berenang di mana-mana, rumpun bambu merunduk memantulkan air yang deras. Pemandangan itu sunyi namun tetap indah dengan caranya sendiri, keindahan ketabahan, vitalitas pedesaan yang ulet setiap musim banjir. Mendekati jembatan, saya mendengar suara hiruk pikuk pasar. Perahu mencapai tepian, ibu saya membawa keranjang plastik, mengenakan topi kerucut, dan berjalan di depan. Pasar itu terletak berdekatan di lereng jembatan, orang-orang saling berdesakan, barang-barang dipajang sementara di atas terpal atau potongan kayu. Saya berdiri dekat dengan ibu saya, memandangi para penjual ikan, para penjual sayur, dan merasa kasihan pada mereka. Wajah semua orang terbakar matahari, basah kuyup oleh air hujan, tetapi senyum mereka tetap cerah. Ibu saya membeli seikat ikan hinggap, beberapa kangkung, dan seikat kayu bakar kering yang sedang diangkut seseorang untuk dijual. Jadi makan malam malam itu terasa luar biasa lezat, karena merupakan perubahan setelah beberapa hari mengonsumsi mi instan dan ikan kering.

Dalam perjalanan pulang, perahu melewati sebuah desa kecil, dan ayahku bertanya lagi kepada kenalannya. "Apakah rumah Pak Tu masih baik-baik saja?", "Apakah kandang sapinya kebanjiran?". Pertanyaan dan jawaban itu bergema di tengah banjir yang luas, terdengar begitu familiar. Banjir memang bisa menghanyutkan banyak hal, tetapi tak bisa menghanyutkan cinta warga kampung halamanku.

Kini, setiap kali mendengar berita banjir di wilayah Tengah, saya selalu bernostalgia dengan pasar-pasar musim banjir dulu. Saya teringat suara-suara orang yang saling bersahutan di kaki jembatan, saya teringat kehangatan yang meresap ke dalam setiap kisah kecil di tengah hamparan air keperakan. Pasar musim banjir—tempat orang-orang, di tengah kesulitan, masih menemukan kebahagiaan, masih menyalakan api cinta, mengetahui bahwa setinggi apa pun air naik, hati penduduk desa selalu seteguh tepian bambu di awal desa.

Tuong Lai

Sumber: https://baolongan.vn/cho-que-mua-lut-a206892.html


Komentar (0)

No data
No data

Dalam topik yang sama

Dalam kategori yang sama

Ke-4 kalinya melihat gunung Ba Den dengan jelas dan jarang dari Kota Ho Chi Minh
Puaskan mata Anda dengan pemandangan indah Vietnam di MV Soobin Muc Ha Vo Nhan
Kedai kopi dengan dekorasi Natal lebih awal membuat penjualan melonjak, menarik banyak anak muda
Apa yang istimewa tentang pulau dekat perbatasan laut dengan China?

Dari penulis yang sama

Warisan

Angka

Bisnis

Mengagumi kostum nasional 80 wanita cantik yang berkompetisi di Miss International 2025 di Jepang

Peristiwa terkini

Sistem Politik

Lokal

Produk