Begitu pintu kaca Museum Kunstpalast tertutup di belakang mereka, sekelompok mahasiswa Jerman terkekeh pelan ketika menyadari bahwa apa yang mereka lihat di hadapan mereka bukanlah lukisan atau patung, melainkan... sebuah tabung kecil yang mengeluarkan bau apek yang tak terlukiskan.
Momen singkat itu bagaikan sambutan untuk pameran yang menggemparkan Düsseldorf, tempat sejarah, seni, dan kenangan manusia dihembuskan ke kehidupan bukan melalui warna atau suara, melainkan melalui aroma—bahasa yang tak kasat mata namun cukup kuat untuk membangkitkan lembaran-lembaran masa lalu yang seolah telah tertidur. Dari sini, perjalanan emosional terbuka dengan cara yang sulit ditandingi oleh seni visual, karena setiap aroma adalah kenangan, setiap kenangan adalah kisah yang menarik penonton jauh ke dalam lapisan-lapisan waktu budaya Eropa.

Pameran "Kekuatan Rahasia Aroma" di Museum Kunstpalast menyatukan 81 aroma yang mewakili 1.000 tahun sejarah, disusun dalam 37 ruangan yang mencakup beragam aroma, mulai dari agama, ritual, perang, hingga feminisme dan cinta. Pengunjung diawali dengan aroma dupa yang berhembus di ruang abad pertengahan, seolah dibawa ke gereja-gereja Eropa kuno, tempat kepercayaan dan asap dupa terjalin menjadi simbol kekuatan spiritual.
Hanya beberapa langkah kemudian, aroma khidmat itu langsung "terpesona" oleh aroma jalanan Paris abad pertengahan dengan campuran bau sampah, jamur, dan tubuh yang tak termandikan – sebuah pengingat tajam akan kehidupan urban Eropa di masa lalu. Perubahan aroma yang tiba-tiba ini memungkinkan pengunjung untuk tidak hanya menghirup tetapi juga "menghayati" suasana, sesuatu yang tak dapat sepenuhnya tersampaikan melalui foto, teks, atau video .
Lalu tiba-tiba, ruangan menjadi gelap, ruangan memancarkan bau mesiu dan uap logam yang bercampur di udara, menciptakan kembali perang dengan realisme yang begitu nyata sehingga banyak orang secara naluriah merasa mundur. Ketegangan itu mereda ketika melangkah ke ruang feminis, di mana aroma kulit, tembakau, dan vanila membawa penonton kembali ke tahun 1920-an - periode ketika perempuan Eropa memasuki kehidupan publik, menanggalkan citra tradisional untuk menemukan kebebasan. Di sini, kurator seni Robert Müller-Grünow menjelaskan bahwa aroma adalah konduktor emosional yang paling kuat karena langsung menuju sistem saraf emosional otak, melewati "filter rasional", yang memungkinkan ingatan muncul hanya dalam satu tarikan napas.
Perjalanan penciuman diakhiri dengan bab tentang cinta, di mana Kunstpalast menciptakan kembali "aroma aromatik" abad ke-17 dalam lukisan Rubens: mawar yang dicampur dengan musang – aroma yang dulu dianggap langka. Bagi telinga modern, aroma ini mungkin agak terlalu kuat, tetapi ketidaknyamanan itulah yang ingin dibangkitkan oleh pameran ini: perasaan jujur dari era yang berbeda, ketika standar ketertarikan sepenuhnya bertolak belakang dengan masa kini. Berkat ini, cinta, yang merupakan emosi universal, juga menjadi aliran historis yang dapat dirasakan oleh hidung, bukan hanya oleh mata.
Pameran ini tidak hanya menciptakan efek visual-olfaktori yang unik, tetapi juga memunculkan pertanyaan tentang bagaimana manusia melestarikan budaya. Seiring seni modern semakin meluas ke pengalaman multi-sensori, proyek Kunstpalast bagaikan sebuah eksperimen yang sukses, membuktikan bahwa sejarah dapat "dibangkitkan" oleh materi-materi tak kasat mata.
Pengunjung meninggalkan museum bukan dengan gambar-gambar tertentu, melainkan dengan aroma tertentu yang membekas dalam ingatan mereka. Dan aroma-aroma inilah yang menjadikan pameran ini sebuah eksplorasi budaya yang berbeda, menghibur sekaligus mendalam, membuka cara baru dalam menceritakan kisah seni kontemporer Eropa.
Sumber: https://www.sggp.org.vn/danh-thuc-lich-su-bang-mui-huong-post823686.html






Komentar (0)