Aku lahir dan besar di sebuah desa, kepalaku bermandikan sinar matahari keemasan, kakiku yang telanjang menginjak lumpur segar dan harum di ladang. Aku tidak tahu kapan sungai tanah kelahiranku mulai mengalir seperti susu ibu, meluap di dalam diriku. Aku juga tidak tahu kapan tanah tempat aku lahir dan besar diam-diam meresap ke dalam jiwaku, penuh dengan kasih sayang seperti lagu pengantar tidur yang dinyanyikan di ayunan. Bagiku, Ibu Pertiwi adalah tempat yang damai untuk kembali, untuk menghargai cinta tanah kelahiranku, dan untuk merasakan rasa bangga dan kasih sayang yang aneh. Ibu Pertiwi selalu seperti ini: memelihara, mencintai, dan membudidayakan benih. Kita menabur cinta ke dalam bumi, dan bumi akan mekar dengan kebahagiaan.
Sejak hari aku mengambil langkah pertamaku yang ragu-ragu, Ibu Pertiwi memeliharaku, memperkuat tekadku. Saat aku tumbuh dewasa, masa kecilku dihabiskan untuk berlari dan bermain di pedesaan, rumput lembut Ibu Pertiwi menyejukkan hari-hariku yang polos dan riang. Ibu Pertiwi menjadi jalan menuju sekolah, bergema dengan suara riang belajar di desaku tercinta. Aku melanjutkan hari-hari yang hangat dan damai ini, Ibu Pertiwi menjadi tanggul, suara lembut layang-layang di sore hari yang tenang. Asap dari atap jerami seseorang melayang malas ke atas di tanah kelahiranku yang sederhana, dan kawanan bangau putih terbang ke negeri dongeng.
Tanah air adalah tempat ayah menabur benih padi, tempat ibu menanam padi, menumpahkan keringat dan kerja keras, namun senyum panen masih memancarkan sinar matahari di bibir mereka. Ibu, yang terbebani oleh tumpukan padi yang berat, menghamparkannya di tanah untuk dikeringkan, halaman depan bermandikan warna keemasan padi dan sinar matahari.
Nasi ketan yang harum dari Ibu Pertiwi menyehatkan kami saat kami tumbuh dewasa, membimbing kami ke sekolah dan ke cakrawala baru. Aku akan selalu mengingat bola-bola nasi ketan dan ubi jalar yang dibungkus ibuku dengan daun pisang untuk kubawa ke sekolah, atau makanan sederhana di desa dengan ikan rebus yang disiapkan ibuku dengan tergesa-gesa menggunakan ikan segar yang baru saja ditangkap ayahku. Semua ini berkat cinta dari tanah subur Ibu Pertiwi.
“Tanah air kita luas, dan hati ibu kita tak terbatas!” (*), baik itu tanah atau ibu, cinta itu besar dan tak terbatas. Mungkin itulah sebabnya orang menyebut tanah itu "tanah air"? Karena tanah adalah ibu, ia juga memiliki lagu pengantar tidur. Menidurkan orang bodoh dan orang bijak, menidurkan kecemasan, menidurkan jiwa-jiwa yang tersesat. Aku tak tahu berapa kali aku kembali untuk memeluk ibuku, meneteskan air mata penyesalan, keterlambatan, dan kesedihan. Tanah air telah menyerap segalanya, dan dari kebunnya bermekaran bunga, tumbuh daun hijau yang lembut, dan hembusan harapan bertiup dari suatu tempat. Tanah menidurkanku dengan lagu pengorbanan, pertumbuhan, dan akhirnya, ketenangan dan kedamaian. Ketenangan dan kedamaian, seperti tanah itu sendiri, melalui angin, hujan, dan badai.
Kehidupan telah membawaku melewati begitu banyak suka dan duka, dan jika menengok ke belakang, aku menyadari bahwa aku telah terhubung dengan tanah ini selama beberapa dekade. Dekade-dekade itu telah menyaksikan begitu banyak pertemuan kembali dan perpisahan, begitu banyak perpisahan, tetapi Ibu Pertiwi selalu tetap ada untuk kita. Ibu Pertiwi adalah kekasih yang setia sejak awal waktu; ke mana pun kita pergi, tanah itu tetap ada, memelihara benih padi dan kentang, memelihara keyakinan akan tempat untuk kembali, selalu dengan pintu terbuka.
Benarkah hal-hal yang datang dengan mudah tidak dihargai dan mudah dilupakan? Dalam kehidupan yang sibuk dan kompetitif ini, setiap orang ingin mencapai puncak dalam sekali jalan, menyimpan ilusi tinggi tentang hal-hal yang tidak mungkin diraih. Orang-orang membual, menipu orang lain, dan menipu diri sendiri; aku pun ingin memetik bintang-bintang dari langit, tetapi aku lupa bahwa setinggi apa pun kau terbang, titik awalmu selalu di tanah. Orang-orang juga lupa bahwa ketika kau jatuh, bumi selalu mengulurkan tangannya untuk menopang dan melindungimu. Adakah cinta yang selembut dan sepemahaman Ibu Pertiwi? Adakah seseorang yang merangkul sungai, gunung, dan laut tanpa melupakan benih-benih kecil yang berjuang melalui kehidupan yang tak terhitung jumlahnya hingga mereka terbentuk?
Pada akhirnya, semua manusia mengalami ketidakabadian, tubuh mereka menemukan perlindungan dan larut ke dalam Ibu Pertiwi. Ibu Pertiwi, pada gilirannya, melindungi dan merangkul setiap anak yang kembali, menghibur mereka dengan nyanyian pengantar tidur keabadian yang lembut. Sebuah nyanyian pengantar tidur bersama ibu, ayah, tanah air dengan sawah dan burung bangau. Sebuah nyanyian pengantar tidur bersama sungai-sungai panjang dan lautan luas, sebuah nyanyian pengantar tidur bersama jutaan hati manusia yang berjuang di alam duniawi ini.
Lalu Ibu Pertiwi meninabobokan kita ke dalam siklus reinkarnasi!
---------------------
(*) Kutipan dari puisi "Tanah Air Kita yang Luas" karya penyair Bui Minh Quoc.
Konten: Lac Yen
Foto: Nguyen Thang (dikumpulkan dari internet)
Grafis: Mai Huyen
Sumber: https://baothanhhoa.vn/emagazine-loi-ru-cua-dat-252707.htm






Komentar (0)