
Berhenti di Pusat Esensi Desa Kerajinan Vietnam—sebuah bangunan berbentuk meja putar raksasa di jantung desa kerajinan—kami memasuki ruang di mana tanah, air, api, dan tangan manusia terus menceritakan kisah kerajinan tembikar. Kesan pertama bukanlah kemegahannya, melainkan sentuhannya, mulai dari aroma tanah, kehangatan tungku pembakaran, hingga cahaya keemasan yang terpantul pada produk-produk yang dipamerkan. Di sini, segalanya terasa berjalan lebih lambat, seolah waktu juga ingin menikmati putaran kerajinan yang telah ada selama ratusan tahun ini.

Lantai dasar adalah Studio Turntable, tempat siapa pun bisa menjadi seniman selama satu sore. Pemandu muda mengantar kami mengenakan celemek dan menuntun kami ke roda putar, yang berisi sebongkah tanah liat cokelat tua. Tanah liat itu lembap, lembut, dan dingin. Saat roda putar berputar perlahan, tanah liat itu seolah memiliki jiwanya sendiri, bergoyang dan miring mengikuti setiap gerakan canggung tangan kami yang masih pemula.
Awalnya, bumi tak mendengarkan. Tangan kiri kami tak stabil, tangan kanan menekan terlalu keras, menyebabkan bumi miring ke satu sisi. Pemandu dengan lembut memberi tahu kami untuk tidak memaksakannya, biarkan saja bumi berputar dan mengikutinya. Kami mencoba lagi, lebih lembut, lebih sabar. Dengan setiap putaran yang lambat, bumi perlahan membulat, membentuk mangkuk kecil. Saat itu, segala sesuatu di sekitar kami terasa melambat, hanya tangan, putaran, dan suara angin yang bertiup melalui pintu yang terbuka.

Setelah membentuk, kami beralih ke melukis dan mengukir pola. Beberapa orang memilih melukis ranting bambu, yang lain hanya mengukir beberapa gelombang air. Di bawah cahaya redup yang hangat, warna biru menyebar dengan setiap sapuan kuas. Cangkir, vas, dan piring kecil bergambar telapak tangan setiap orang diletakkan di atas nampan yang menunggu untuk dibakar. Pemandu wisata mengatakan bahwa setelah beberapa hari produk akan selesai, tembikar akan mengeras, seperti bagaimana waktu dan api menyelesaikan sebuah perjalanan. Mendengarkannya, saya tiba-tiba menyadari bahwa tembikar itu sendiri adalah pelajaran tentang kesabaran, hanya setelah melewati api yang cukup, tanah akan menjadi kuat.
Meninggalkan area meja putar, kami menyusuri lantai-lantai pameran museum. Setiap lantai memiliki kisahnya sendiri, mulai dari keramik kuno yang masih retak, produk keramik modern dengan bentuk yang tidak konvensional, hingga peralatan yang sudah usang. Di sebuah sudut kecil, sebuah papan pengantar menceritakan sejarah desa kerajinan, tempat orang Bat Trang masih menyebut profesi mereka "pembuatan keramik" alih-alih "produksi keramik", sebuah nama yang mengandung rasa cinta dan hormat terhadap tanah air.

Berjalan di antara artefak-artefak ini, kami dengan jelas melihat ikatan antara manusia dan tanah. Setiap tembikar, baik yang sempurna maupun yang cacat, adalah tanda tangan. Seperti pengalaman yang baru saja kami alami, terkadang keindahan terletak pada ketidaksempurnaannya, pada kemiringannya yang kecil, pada sapuan kuas yang tidak rata, pada perasaan membuat sesuatu untuk pertama kalinya dengan tangan sendiri. Hal-hal inilah yang membuat orang mengingat lebih lama daripada benda yang dibuat dengan indah.
Sore perlahan tiba. Cahaya matahari terbenam menembus jendela-jendela keramik, memantul di dinding tanah yang hangat. Di luar, beberapa rombongan wisatawan lain masih tertawa dan mengobrol, meja putar masih berputar pelan, suara tanah yang menghantam pohon palem seirama dengan napas desa pengrajin.
.jpg)
Saat kami pergi, kami menengok kembali ke ruang yang baru saja kami tinggalkan, cahaya dari tungku pembakaran masih menyinari balok-balok tanah yang menunggu untuk dibentuk. Pengalaman membuat tembikar telah berakhir, tetapi rasa hening dan putaran roda yang lambat tetap ada, mengingatkan kami bahwa di tengah kesibukan hidup saat ini, hanya satu sore menekuni tanah sudah cukup untuk memahami lebih banyak tentang karya dan kecintaan para perajin di sini…
Sumber: https://baolamdong.vn/giua-bat-trang-nghe-dat-ke-chuyen-403021.html






Komentar (0)