Saya selalu percaya bahwa setiap gunung memiliki kisah. Bukan hanya kisah tentang geologi dan ekosistem, tetapi juga kisah tentang orang-orang yang telah menjejakkannya, tentang impian, aspirasi, dan bahkan tetesan keringat yang jatuh di setiap batu. Ta Chi Nhu - gunung tertinggi ketujuh di Vietnam, yang terletak di Desa Xa Ho (Komune Hanh Phuc), menceritakan kisah tersebut kepada saya, kisah tentang kegigihan, tentang cinta tanah air, dan tentang kekuatan tak terbatas setiap orang.

Perjalanan saya dimulai pada suatu pagi musim gugur, ketika angin sejuk mulai bertiup, menandakan mendekatnya musim dingin.
Tambang Timbal, titik awal perjalanan menaklukkan Ta Chi Nhu. Tambang Timbal kini sudah tidak aktif lagi, tetapi masih menjadi tempat yang familiar bagi para pendaki.

Di sini, kami bertemu dengan para porter lokal yang akan menemani dan membantu kami dalam perjalanan selanjutnya. Mereka adalah anak-anak gunung, dengan kaki-kaki yang kuat dan senyum lembut, selalu siap berbagi pengalaman dan menyemangati kami untuk mengatasi kesulitan.
Dari Mine Lead, jalan mulai menanjak. Kami menyusuri sungai kecil, melewati hutan lebat di mana sinar matahari hanya bisa menembus puncak-puncak pohon. Menghadap hutan tua, pengalaman kota terasa begitu sempit.
Saya ingat apa yang dikatakan seorang lelaki tua di desa ketika kami berkunjung: "Gunung tidak meminjamkan apa pun kepada siapa pun, juga tidak berutang apa pun kepada siapa pun. Gunung hanya mengajari mereka yang tahu cara mendengarkan."
Ta Chi Nhu tidak mudah ditaklukkan. Semakin tinggi kami mendaki, jalannya semakin curam dan terjal, dengan bebatuan besar. Keringat mulai membasahi dahi kami, dan kaki kami terasa berat.
Terkadang, aku merasa tekadku goyah bagai lampu minyak yang tertiup angin; ingin padam, ingin berhenti. Namun, teman-teman dan kata-kata penyemangat tiba-tiba menjadi kekuatan yang tak terlihat.

Seorang teman perempuan dalam kelompok tersebut, yang dulunya seorang pekerja kantoran, bercerita tentang malam-malam tanpa tidur ketika mempersiapkan lamaran pekerjaannya; seorang pemuda lain bercerita tentang meninggalkan pekerjaan tetapnya untuk mengejar proyek pertanian di kota kelahirannya... Kisah-kisah sederhana namun jujur itu menjadi sumber energi bagi kakinya.
Hujan mengingatkan kita bahwa kekuatan tidak selalu berupa teriakan keras; terkadang kekuatan adalah kesabaran dalam diam, menanggung setiap rintangan, bangkit setelah setiap kali terjatuh.
Setelah banyak ujian kemauan dan keberanian alam, sekitar pukul empat sore, kami telah mencapai posisi di ketinggian 2.600 m.
Pemandu wisata itu berkata: "Ini satu-satunya tempat di mana kita bisa berkemah, kalau tidak, kita akan pergi sedikit lebih jauh ke gubuk untuk meminta tempat bermalam. Tapi tidak ada air di sana."
Setelah berdiskusi sejenak, kami memutuskan untuk berkemah di sini. Segera, dua tenda didirikan, lalu kami mengumpulkan kayu bakar dan menyalakan kompor untuk memanaskan makanan yang kami bawa. Seiring sore semakin dingin, kompor menjadi semakin berharga.

Duduk di dekat dapur, kami menyeruput kopi hangat, menyaksikan matahari terbenam. Ya ampun, perasaan itu begitu berharga, tak tergantikan oleh apa pun karena tak tergantikan oleh keberanian dan tekad manusia.
Senja tiba dengan sangat cepat, tetapi di sini, di gunung ini, di pegunungan Pu Luong, pegunungan Hoang Lien Son, cahaya bulan akan tiba tepat pada saat sinar matahari terakhir menghilang di balik gunung yang jauh.

Di dekat api unggun, para pemandu lokal bercerita tentang Ta Chi Nhu seolah-olah itu adalah bagian dari kenangan mereka. Mereka bercerita tentang musim bunga liar yang hanya mekar selama satu minggu setiap tahun, tentang sungai yang penuh ikan, tentang masa-masa ketika jalan menuju desa jauh lebih sulit.
Melalui kisah-kisah ini, cinta tanah air diungkapkan tak hanya melalui kata-kata, tetapi juga melalui tindakan – melindungi hutan, melindungi sumber air, berbagi hasil panen. Cinta itu mengajarkan saya bahwa menaklukkan puncak gunung bukan hanya tentang mencapai ambisi pribadi, tetapi juga tentang memahami dan menghormati tempat-tempat yang Anda lewati.

Setelah beristirahat semalaman di pondok, kami bangun pagi-pagi untuk mempersiapkan perjalanan menaklukkan puncak gunung. Udara pagi di gunung terasa segar dan sejuk. Tetesan embun masih menempel di dedaunan, berkilauan bagai permata.

Dari gubuk ke puncak, jalan setapak menjadi lebih sulit dari sebelumnya. Kemiringannya meningkat tajam, banyak bagian harus berpegangan pada tebing untuk mendaki. Angin bertiup lebih kencang, bersiul di wajah. Namun, pemandangan di sekitarnya juga menjadi lebih megah.
Kami melewati hutan bambu rendah, perbukitan rumput kuning hangus, dan lereng bunga chi pau ungu. Ta Chi Nhu mengajari saya pelajaran pahit: tidak semua tantangan mudah diatasi. Ada bentangan jalan yang memaksa kita menghadapi ketakutan, keterbatasan tubuh, dan diri sendiri. Namun dalam kesulitan itu, saya menemukan esensi tekad, mengetahui cara menerima batasan yang ada, lalu berlatih terus-menerus untuk mengatasinya.

Tekad bukan soal kekuatan kasar. Tekad adalah tentang membuat keputusan-keputusan kecil: terus maju, beristirahat, meminta bantuan saat dibutuhkan, dan memberi kembali saat masih bisa.
Dan kemudian, momen yang ditunggu-tunggu rombongan akhirnya tiba. Saat saya menginjakkan kaki di puncak Ta Chi Nhu, saya tak percaya. Lautan awan putih terbentang di hadapan saya, menutupi seluruh ruang.
Gunung-gunung menjulang tinggi bagai pulau di lautan. Cahaya fajar yang cemerlang menyinari, mewarnai lautan awan dengan warna jingga-kuning yang magis. Aku berdiri diam, mengagumi pemandangan yang luar biasa.

Emosiku meledak-ledak. Aku merasa begitu kecil di hadapan luasnya alam, namun begitu kuat karena telah mengatasi keterbatasanku sendiri. Air mata kebahagiaan mengalir di pipiku.
Saat aku mencapai puncak gunung, aku merasa kecil namun sekaligus hebat. Karena kebesaran bukan terletak pada seberapa tinggi kau mencapainya, melainkan pada keberanianmu untuk memulai perjalanan.

Di puncak Ta Chi Nhu, saya menemukan makna menaklukkan gunung bukan hanya menaklukkan ketinggian, tetapi juga menaklukkan diri sendiri. Ini adalah perjalanan untuk menemukan , untuk melihat bahwa saya tak terbatas, untuk melatih tekad saya, dan untuk lebih menghargai keindahan hidup.

Kami menuruni gunung, Ta Chi Nhu perlahan menghilang di balik awan, meninggalkan ruang yang penuh gema. Aku menoleh ke belakang, tersenyum, dan berbisik pada diri sendiri: "Menyentuh puncak gunung berarti menyentuh sebagian jiwa. Sekarang, mari kita bawa kembali bagian itu—taburkan kembali, pupuklah, agar setiap bisikan gunung menjadi motivasi untuk menuliskan mimpi kita sendiri."
Sumber: https://baolaocai.vn/hanh-trinh-tim-ve-ban-nga-post883686.html
Komentar (0)