Pada hari terakhir bulan Juli, Paman Ba (Bapak Vo Van Nao, mantan Wakil Kepala Stasiun Long Khot saat itu) datang lagi ke kuil, menyalakan dupa, dan berpikir: "Tahun itu, kami hanya mendoakan perdamaian di tanah air kami dan agar rakyat kami mendapatkan panen padi yang baik, itu sudah cukup untuk membuat kami bahagia."
Setiap bulan Juli, setiap orang Vietnam selalu bersyukur, karena negara dan rakyatnya telah melalui dua perang panjang pertahanan nasional dengan darah para martir yang heroik. Ketika negara bersatu, diyakini perdamaian sejati telah tercapai, tetapi perang perbatasan pecah, para pahlawan kembali pergi, dan banyak dari mereka tetap tinggal selamanya sehingga Tanah Air dapat berdamai seperti sekarang.
Di alamat-alamat merah di sepanjang negeri saat ini, ada karangan bunga putih kenangan, dupa penghormatan, lonceng, dan lilin yang berdoa bagi jiwa mereka yang berada di pangkuan Ibu Pertiwi agar beristirahat dengan tenang.
Sangat sulit untuk menjawabnya, dan jangan tanya mengapa setelah bertahun-tahun, air mata masih mengalir di matamu. Kehilangan bukanlah kecil atau besar, kecil atau besar, karena semua rasa sakit sama-sama menyakitkan. Beberapa orang masih memiliki mata merah karena cerita lama, meskipun mereka telah mendengarnya lima atau tujuh kali, masih terasa sakit ketika melihat kata-kata "martir tak dikenal", setelah bertahun-tahun, di suatu tempat ada seorang ibu yang masih menunggu anaknya pulang.
Negara ini menata ulang unit-unit administratifnya, provinsi-provinsi dan kota-kota bergabung untuk lebih memajukan kekuatan lokal, beberapa provinsi dan kota di wilayah perbatasan barat daya juga bergabung, sebuah jalur yang berbatasan dengan perbatasan Tanah Air. Di beberapa tempat, perbatasan hanyalah ladang, sungai, dan jalur patroli adalah perahu-perahu yang mengikuti arus air. Oleh karena itu, baik di masa heroik maupun damai saat ini, para penjaga perbatasan tetap menjalankan tugasnya.
Di sore bulan Juli yang gerimis, di suatu tempat di jalan-jalan Tanah Air, di makam para martir, di kaki prasasti, terdapat sepasang sandal peninggalan seseorang, bersama sebatang dupa yang masih membara, mungkin milik seorang kawan lama yang baru saja berkunjung. Hujan di perbatasan tak sederas kenangan perang, melainkan selembut lagu pengantar tidur seorang ibu. Di antara suara hujan, tunas-tunas hijau menjulur menutupi tanah air, menanti panen yang melimpah.
Ketika bulan Juli tiba, orang-orang di daerah perbatasan diam-diam kembali ke pemakaman para martir, ke kuil Long Khot untuk menyalakan beberapa batang dupa, dan menceritakan kisah-kisah lama kepada anak-anak: "Dulu, kampung halaman kami penuh dengan alang-alang, tetapi kalian masih menjaga setiap jengkal tanah air kami." Kisah itu terasa lama, tetapi setiap kali disinggung, rasa syukur masih memenuhi hati kami. Karena ada sore-sore yang hujan di perbatasan, ketika orang-orang berjatuhan tanpa sempat meninggalkan nama mereka...
Sumber: https://www.sggp.org.vn/lang-le-tri-an-post805746.html
Komentar (0)