Bagian luar gedung memantulkan langit biru dan awan putih, membuatnya semakin mengesankan. Namun, mataku tak kuasa menahan diri untuk menatap sungai di depanku, yang memancarkan aroma khas daerah aliran sungai yang kuat. Kemudian, di mataku, titik-titik hijau bergerak muncul, semakin dekat. Ternyata itu adalah gumpalan eceng gondok yang bergoyang mengikuti setiap gelombang. Mereka mengikuti arus air, tak pernah berhenti sedetik pun. Sebuah kontras yang sangat jelas di kota paling ramai di negeri ini.

Eceng gondok tidak hanya mengingatkan saya pada masa lalu tetapi juga membuat saya berpikir tentang orang-orang yang tinggal di kota ini: pendiam, berjuang untuk mencari nafkah tetapi tidak pernah menyerah.
Permukaan sungai sering bergelombang karena perahu dan kapal yang terus berlalu, dan kadang-kadang tongkang lewat. Eceng gondok tampak tidak terpengaruh oleh hal-hal ini, masih mengalir dengan tenang mengikuti iramanya sendiri: lembut, diam, lambat. Saya tidak asing dengan tanaman ini. Ketika saya masih kecil, setiap kali eceng gondok mekar dengan bunga-bunga ungu yang menutupi tepi kolam, saya sering mengarungi air untuk memetiknya untuk bermain rumah-rumahan. Eceng gondok indah tetapi mudah hancur, cepat memudar, mengharuskan orang untuk sangat berhati-hati dengan tangan mereka. Ketika saya sedikit lebih tua, saya biasa duduk tanpa sadar selama berjam-jam hanya untuk melihat bunga-bunga di bawah matahari terbenam yang merah tua. Sore-sore yang melamun di masa remaja saya terkadang membuat saya terdiam untuk waktu yang lama ketika saya mengingatnya.
Kini, aku terkejut melihat eceng gondok lagi di jantung kota. Sebab kukira kota itu hanya punya jalanan yang padat, gedung-gedung pencakar langit, toko-toko yang mewah dan mahal. Siapa sangka di sana juga ada bayang-bayang kampung halamanku. Rasanya pepohonan di sini menjalani kehidupan yang sangat berbeda, benar-benar terpisah dari kemegahan dan gemerlap yang bisa kita lihat di mana pun di sini. Melihat eceng gondok melayang, aku lupa akan segala kebisingan, desak-desakan, tak lagi ingat suara klakson mobil, bau menyengat mesin, bensin, debu di bawah terik matahari yang seakan ingin membakar bahu orang-orang, hanya tersisa hati yang damai dan tenang. Ternyata kota itu punya tempat yang begitu damai, membuatku selamanya berdiri di tepi sungai membiarkan angin meniup rambutku, enggan pergi.
Di seberang sungai, gedung-gedung tinggi masih menjulang tinggi, orang-orang bergegas dalam ritme kehidupan yang cepat. Di seberang sungai ini, orang-orang duduk berdampingan dengan santai, hening menikmati minuman pesanan mereka, bercerita tanpa henti tentang kehidupan, dan mengamati aliran sungai. Di bawah pepohonan, kulihat seorang lelaki tua tertidur di kursi lipat di samping sepeda tua. Tak ada secercah kekhawatiran di wajahnya. Eceng gondok yang mengapung di antara dua dunia menciptakan harmoni yang janggal. Batas yang tercipta oleh sungai berkat eceng gondok itu kini lebih banyak berwarna hijau dan ungu. Tiba-tiba aku merasa rindu, bernostalgia dengan masa lalu.
—Dari mana eceng gondok berasal? Ke mana perginya? — tanyaku pada temanku tanpa sadar.
- Entahlah. Tapi apa pentingnya, kan? – Suaramu terbawa angin, memudar di permukaan sungai.
Tiba-tiba aku sadar, kamu juga linglung sepertiku.
Yah, tak masalah. Sebagai eceng gondok, seseorang akan selalu menjalani hidup hanyut di sungai seperti itu. Dulu, sekarang, dan di masa depan pun begitu, tak akan berubah bagi siapa pun atau apa pun. Dan bukankah aku juga hanyut di arus kehidupan yang dalam? Jika begitu, aku juga eceng gondok berwujud manusia. Entah di mana aku akan meninggalkan jejak kakiku esok hari. Pagi itu, sebuah kota asing tiba-tiba terasa familier bagiku berkat tumbuhan liar itu. Perjalanan sepi itu memiliki persinggahan yang menarik untuk membantu hatiku merasa tak lagi bingung dan kesepian.
Eceng gondok hanyut tanpa henti, tak pernah berhenti, tak pernah lenyap, diam-diam menggenggam apa yang lama dan familiar. Eceng gondok tak hanya mengingatkanku pada masa lalu, tetapi juga membuatku teringat pada orang-orang yang tinggal di kota ini: diam-diam, berjuang mencari nafkah, namun tak pernah menyerah. Mereka tetap teguh berpegang pada sungai kehidupan, meski terkadang diterjang ombak. Hidup manusia mungkin kecil, tetapi vitalitasnya tak pernah terkuras; sebaliknya, kesulitan justru menumpuk vitalitas itu, yang kian mengental seiring waktu.
Sungai Saigon mengalir tenang membelah kota. Sungai itu menyimpan kenangan masa lalu. Kesinambungan antara masa lalu dan masa kini, antara pedesaan dan kota, antara yang sederhana dan yang mewah dalam hidup ini seringkali tak terungkap oleh pencapaian yang nyata, melainkan hanya oleh bentuk sungai yang mengalir di jantung kota, membawa rumpun eceng gondok yang hanyut dengan tenang. Untuk melihatnya, kita perlu berhenti sejenak, menenangkan hati, dan menatap ke ruang yang luas. Kita masing-masing membutuhkan begitu banyak momen hening seperti itu dalam hidup kita.

[iklan_2]
Tautan sumber






Komentar (0)