Puisi-puisinya membawa kita kembali pada keheningan kenangan yang masih bergema di suatu tempat, menghantui suatu tempat, dan abadi di suatu tempat, entah di Thien Cam, di Sa Pa, di Sungai Gam, atau Danau Luc Thuy, entah terjadi di awal abad ke-20 atau baru-baru ini. Ruang ("di sini") dan waktu ("kini") seakan tak banyak berubah dan seringkali konstan dalam puisi-puisinya.

Jarang ada orang yang, hanya dengan memandang "The Waters Retreat Season", bisa seindah dirinya, sejernih dirinya: "Sungai bibit padi masih mengalir di jalan setapak tua/ dua garis kuning berkelok-kelok di sepanjang hati yang hijau/ gadis yang mengunjungi ladang memegang galah di tengahnya/ tampak meluncur di atas kain sutra biru" . Jarang ada orang yang, hanya dengan memandang keheningan hidup, bisa seindah dirinya, sepuitis dirinya: "Asap yang menyebar di atap jerami/ tawa seseorang menyebar ringan di kebun teh/ bayangan orang-orang membentang di sepanjang tebing/ meskipun seribu tahun hujan dan matahari" ("Keheningan"). Itulah "penglihatannya". "Perasaannya" jauh lebih dalam melalui "Nostalgia": "Manisnya susu dari padi yang mekar/ dari tanah yang hangat naik.../ dalam perjalanan kembali, masih tertinggal.../ Dimabuk oleh suara pepohonan dan rumput yang bergerak..." . Cinta dalam dirinya adalah gairah, penyesalan yang tak berujung. Sebuah perjalanan hidup juga membuatnya menyiksa diri: “Aku masih bertanya-tanya/ mengapa aku pergi ke negeri asing/ tetapi tidak berjanji untuk kembali/ sekarang telah menjadi begitu jauh/ Andai saja kau masih sama seperti dulu/ Aku akan tetap sama seperti dulu” (“Homeland”). Sebuah kencan, pertemuan, curhat dengan orang yang dicintainya juga membuatnya mengingat selamanya: “Aku ingat deretan pohon Bach Thao/ menebarkan bayangan keemasannya di danau yang tenang/ kita berbicara tentang begitu banyak hal/ ketika kita kembali, langit telah berubah menjadi malam” (“ Hanoi dan Kau”). Sebuah perpisahan juga membuatnya sedih: “Kau pergi seperti aroma angin/ terbawa musim gugur/ meninggalkan dermaga yang menunggu/ dalam kabut asap” (“Keindahan di zona perang”)...
Makna waktu dan makna musim dalam puisi Le Manh Binh juga terasa ganjil. Baginya, musim semi adalah "musim kegelisahan" dengan "keraguan yang malu-malu", musim panas adalah musim yang memanggil kita dengan "gairah yang membara", "musim gugur adalah musim kemarau / merasakan hiruk pikuk yang jauh" , musim dingin adalah "musim mendengar dedaunan yang berguguran / bernostalgia bagai gema" dan kemudian "hanyut bersama musim-musim cinta". Baginya, waktu adalah momen suasana hati, manis, pahit, dan masam yang harus dialami setiap orang dalam hidup, setiap orang harus membuka hati: "Orang-orang menghitung waktu yang jatuh setetes demi setetes / suara arloji terdengar samar dan sunyi / yang belum berhenti dingin / yang masih bergerak dalam diam" ("Gelombang Sunyi").
Dalam "Life Cycle", "Sehari bagaikan seumur hidup" adalah syair yang mendalam, tidak mudah untuk ditulis. Frasa "Sehari bagaikan seumur hidup" singkat, padat, dan penuh makna. Hanya lima kata, tetapi memiliki kedalaman filosofis dan emosional. Syair ini membangkitkan perasaan bahwa sehari adalah hidup, yang berarti bahwa setiap hari yang berlalu adalah "versi singkat" dari keseluruhan hidup. Sehari berlalu, dan hidup pun berlalu. Dalam perspektif Buddha atau Zen, syair ini juga dapat dipahami sebagai pengingat: "Menjalani sehari penuh adalah menjalani hidup yang penuh". Karena hidup manusia tidak kekal, setiap momen bisa menjadi yang terakhir. Menjalani sehari penuh berarti hidup dengan sadar dan penuh perhatian, tidak menyerah pada kesia-siaan, amarah, atau ketidaktahuan. Tergantung konteksnya, syair ini juga bisa terdengar seperti desahan. Bagi orang yang berpengalaman, sehari bisa berlangsung selama seumur hidup.
Puisi-puisi Le Manh Binh kaya akan emosi, memiliki keindahan yang alami dan transparan. Ia tidak bergantung pada profesinya dan tidak menyalahgunakan teknik, tidak cerewet dalam memilih kata dan menyusun kalimat. Ia hanya berfokus pada dirinya sendiri, pada kehidupannya saat menulis. Ia menjadikan pengalaman pribadi dan ketulusan sebagai kekuatan puisinya dan menulis dengan penuh semangat. Patut dicatat bahwa hingga saat ini, Le Manh Binh telah menerbitkan 3 kumpulan puisi, yaitu "Human Fate", "Flying Clouds", dan "Circle of Life", yang semuanya diterbitkan oleh Writers' Association Publishing House dan tahun ini, ia genap berusia 86 tahun.
Sumber: https://hanoimoi.vn/mot-ngay-nhu-mot-doi-709750.html






Komentar (0)