Foto ilustrasi (AI)
Saya lahir di wilayah Tengah, tempat angin Laos menyengat setiap musim panas, hujan sangat dingin di musim dingin, dan badai sering turun, membuat langit dan bumi bergoyang. Terkadang badai berlalu begitu cepat, seperti peringatan, tetapi terkadang badai itu dahsyat, meninggalkan bekas yang mendalam dalam ingatan warga kampung halaman saya. Dalam menghadapi bencana alam, warga kampung halaman saya bagaikan pohon yang tangguh, tunduk pada angin tetapi tak pernah patah.
Sebelum badai tiba, pengeras suara di lingkungan itu meraung-raung tanpa henti, mengingatkan setiap keluarga untuk bersiap. Orang dewasa dan anak-anak berlarian ke gang-gang dan halaman. Wajah semua orang dipenuhi kekhawatiran. Para perempuan dan ibu-ibu sibuk mencuci beras, menata toples saus ikan, botol minyak, dan menata barang-barang penting di rumah. Para lelaki naik ke atap, mengikat bambu erat-erat, memperkuat pagar, dan menambahkan lebih banyak panel bambu. Seluruh lingkungan tampak bernapas serempak, bersiap menghadapi "amarah" yang akan datang.
Rumahku pun sama. Seperti kebiasaan yang sudah mendarah daging, ibuku dengan cermat menutup jendela, mendorong meja dan kursi ke sudut, dan mengisi tempayan dengan air untuk berjaga-jaga jika listrik atau air padam. Setiap gerakannya lambat namun tegas, layaknya seorang prajurit yang terbiasa bertempur. Aku tahu mengapa ibuku begitu berhati-hati, karena berkali-kali ia harus begadang semalaman, menyalakan lampu untuk berjaga-jaga terhadap setiap angin kencang. Aku hanya bisa duduk diam di sudut ruangan, memperhatikan sosok kurus yang bergoyang di bawah lampu minyak kuning, hatiku dipenuhi emosi: cinta untuk ibuku, kekhawatiran, dan ketidakberdayaan karena aku tak mampu membantu. Ayahku sedang bekerja jauh di tempat dan jarang pulang. Jadi, di hari-hari badai, hanya aku dan ibuku yang saling bersandar untuk saling mendukung.
Kenangan malam-malam badai itu masih membekas. Angin menderu di luar, genteng-genteng berderak, dan seisi rumah bergetar seolah tubuh yang lelah berjuang melawan kekuatan tak kasat mata. Di mata kekanak-kanakanku, bukan hanya angin dan hujan di luar, tetapi monster raksasa yang meraung dan menghancurkan segalanya. Aku meringkuk, menggigil, dan membenamkan wajahku di pelukan ibuku, tempat bernaung yang paling damai. Syukurlah, rumahku dibangun di atas bukit yang tinggi dan kokoh, jadi meskipun takut, aku tetap merasa sedikit aman. Namun, saat itu, kecemasanku kembali muncul ketika teringat Thao, sahabatku di ujung desa, dekat tepi sungai besar. Setiap musim banjir, air sering membanjiri halamannya. Aku bertanya-tanya, apakah rumah kecil Thao cukup kuat untuk menahan angin kencang di luar. Akankah ia meringkuk di pelukan ibunya, seaman aku saat ini, atau akankah ia panik dan memandangi air yang menunggu di luar gerbang?
Hujan turun deras, deras dan tak henti-hentinya, seolah ingin menyapu segalanya. Jalan desa yang familiar tiba-tiba berubah menjadi sungai berlumpur, airnya meluap melewati pagar, membawa dedaunan gugur dan ranting-ranting kering. Kebun itu gersang, bergoyang tertiup angin. Namun, penduduk desaku tak goyah. Di bawah lampu minyak yang berkelap-kelip menaungi atap yang basah, tangan-tangan yang kapalan dengan sabar mengikat setiap bilah bambu, menambal celah-celah yang membiarkan angin masuk. Musim badai di kampung halamanku bukan hanya soal kekhawatiran akan sandang pangan, pergulatan dengan alam, tetapi juga musim kasih sayang antarmanusia. Ketika angin menderu di luar, di desa, lampu-lampu minyak masih berkelap-kelip. Orang-orang singgah di rumah masing-masing, bertukar sebungkus beras, sedikit garam, beberapa botol air, atau sekadar berjabat tangan, kata-kata penyemangat yang hangat. Lengan-lengan terentang, saling menggenggam tak hanya untuk menopang atap tetapi juga untuk membangun rumah rohani. Di tengah gerimis, hujan, dan angin, orang-orang masih bisa melihat nyala api cinta, api kebersamaan, api solidaritas wilayah Tengah yang bersinar terang, sama abadinya dengan sebidang tanah itu sendiri.
Ibu saya sering berkata: "Badai datang dan pergi, tetapi cinta tetap ada." Sungguh, setelah setiap badai, ketika genteng-genteng masih berantakan dan kebun masih gersang, warga kota asal saya bersatu untuk membangun kembali kehidupan mereka. Suara sapu menyapu halaman, suara orang-orang saling memanggil, suara tawa bercampur kesulitan… Semua berpadu menjadi lagu kebangkitan.
Saya turut berduka cita sedalam-dalamnya untuk warga Vietnam Tengah, yang tanahnya sempit, cuacanya keras, dan badai telah menjadi bagian dari kehidupan! Ada ombak yang ganas, tetapi juga hati yang besar, setangguh batu karang, selentur pasir laut, cinta desa, cinta lingkungan, ikatan yang kuat. Layaknya atap-atap kecil namun kokoh di tengah badai, warga kampung halaman saya selalu berdiri teguh melawan segala badai kehidupan.../.
Linh Chau
Sumber: https://baolongan.vn/mua-bao-mua-thuong-a201569.html






Komentar (0)