Musim gugur bagaikan seorang gadis muda di masa jayanya. Ia membawa angin sepoi-sepoi, terkadang cukup untuk membuat kita merasa kedinginan, mendorong kita untuk diam-diam mendambakan sebuah tangan untuk digenggam. Musim gugur adalah musim gugurnya daun-daun keemasan, membangkitkan nostalgia dan kerinduan akan masa lalu, namun tetap menahan kita dengan optimisme dan harapan, mencegah kita jatuh ke dalam keputusasaan.

Saat musim gugur tiba, dedaunan yang berguguran menjadi pengingat bahwa waktu terus berputar dalam siklusnya, musim berganti musim, dan kita secara bertahap meninggalkan begitu banyak hal bermakna yang belum kita sadari, begitu banyak rencana yang belum terwujud, dan bahkan impulsif serta kenaifan masa muda kita...

Daun-daun keemasan bergoyang tertiup angin pagi... (Gambar ilustrasi: qdnd.vn)

Tahun ini, saat daun-daun berguguran dari ranting, di desa asal saya yang terletak di tengah sawah dataran rendah Kinh Bac, wajah-wajah lembut menghilang di tengah gemerisik lembut dedaunan musim gugur yang berguguran. Hilang sudah sosok wanita tua yang membungkuk yang dulu berdiri di gerbang seberang, ditemani oleh gerobak dorongnya, roda-rodanya berderak di jalan sempit yang sudah lapuk dimakan waktu saat ia menunggu di pasar sore. Dan hilang pula sosok yang bermartabat, rambut putih, tawa riang dan tulus dari pensiunan kolonel tentara di seberang pagar, yang selalu tersenyum dan bertanya kepada saya, "Apakah orang tuamu ikut bersamamu?" setiap kali saya mengunjungi kampung halaman saya.

Setelah memulai hidup baru jauh dari rumah, setiap kali ibu saya mendengar kabar meninggalnya tetangga, ia menghela napas dan bergumam, mengenang wajah-wajah yang familiar yang kini telah memudar dari ingatan. Ia mengingat kesulitan masa lalu: hari-hari hujan deras dan angin kencang, asap tebal dari memasak nasi di dapur kecil yang menyengat matanya; masa-masa kelangkaan ketika tetangga saling meminjam beras untuk bertahan hidup; masa-masa saling membantu di saat dibutuhkan... Masa kemiskinan dan kesulitan yang ekstrem, tetapi juga masa kebaikan hati manusia yang melimpah.

Musim berganti dengan tenang, dan sosok-sosok manusia mengikuti satu sama lain seiring berjalannya waktu. Beberapa sosok membangkitkan rasa nostalgia. Yang lain mengingatkan kita untuk memperlambat langkah, berbagi, bersabar, dan toleran, karena waktu masih terbentang tanpa batas di depan...

Di kebun pedesaan, jeruk bali menggantung lebat di dahan, membangkitkan gambaran bulan yang bulat sempurna, bersinar terang di malam Festival Pertengahan Musim Gugur, dengan suara gendang katak, celoteh riang anak-anak yang dengan penuh semangat menantikan pesta. Di sudut kebun, bunga belimbing masih bermekaran dengan warna ungu yang memesona. Tanaman rami, daunnya layu setelah musim panen yang melimpah, dipenuhi buah-buahan kering dan bulat, sebuah janji untuk musim berikutnya. Tanaman kacang panjang juga mulai layu... Realitas memanggil ingatan. Di suatu tempat, sepertinya tanaman kacang tua dari masa lalu masih ada, dengan gugusan bunga ungu tua dan polong pipih yang tak terhitung jumlahnya – jenis kacang yang telah lama kucari di jalan setapak pedesaan, namun belum kutemukan lagi. Capung merah yang berterbangan menarik jejak langkah anak-anak yang berlarian di kebun. Aku melihat sekilas kakekku dengan tekun menyendok lumpur dari kolam kering untuk memupuk pohon pisang. Gambarnya seolah masih ada di sini, meskipun dia telah meninggal 24 tahun yang lalu...

Di musim gugur, daun-daun berguguran tanpa suara dan langit berwarna biru yang memukau. Musim gugur membawa serta nostalgia, musim gugur membangkitkan kepolosan, dan musim gugur juga menginspirasi harapan, sehingga tunas-tunas baru akan tumbuh kembali setelah musim gugur yang lain...

    Sumber: https://www.qdnd.vn/van-hoa/van-hoc-nghe-thuat/mua-la-chao-nghieng-890548