Paman Ho berbincang dengan para pejabat dan pegawai Kementerian Luar Negeri pada konferensi diplomatik pertama di bulan Maret 1957. (Foto: Arsip) |
Beliau meninggalkan harta karun pengetahuan diplomatik yang tak ternilai, yang menciptakan fondasi ideologis bagi Diplomasi Vietnam, tidak hanya dalam pemikiran kebijakan luar negeri tetapi juga dalam gaya diplomatik dan pembangunan sektor diplomatik. Menerapkan pemikiran dan pelajaran diplomatik beliau dalam konteks situasi baru negara dan dunia saat ini sangat penting bagi Sektor ini.
Kristalisasi budaya Vietnam
Pada tahun 1945, bersamaan dengan berdirinya Republik Demokratik Vietnam, Kementerian Luar Negeri Vietnam juga didirikan dan mendapat kehormatan untuk dipimpin dan diarahkan langsung oleh Presiden Ho Chi Minh sebagai Menteri Luar Negeri pertama. Di tengah ribuan urusan dalam negeri, beliau tetap memberikan perhatian terbesar pada pekerjaan ini, memimpin negara melewati kesulitan dan bahaya untuk mempertahankan kemerdekaan negara. Diplomasi menjadi pekerjaan seumur hidup Presiden Ho Chi Minh.
Bahkan, ia aktif di urusan luar negeri sejak awal pencariannya akan cara menyelamatkan negara. Pengalaman pribadinya selama 34 tahun berkelana ke luar negeri membentuk pemikiran, ideologi, dan gaya diplomasinya.
Namun, yang menjadikan Ho Chi Minh seorang diplomat dan ideologi diplomatiknya memiliki akar yang lebih dalam, yaitu tradisi budaya dan etika rakyat Vietnam. Yaitu semangat keramahtamahan, kesabaran terhadap tamu, menjual saudara yang jauh, membeli tetangga dekat, toleransi, kemurahan hati, memukul mereka yang melarikan diri, tidak memukul mereka yang lari kembali. Ideologi diplomatik Paman Ho juga mewarisi tradisi diplomasi Vietnam, yang selalu menghargai hubungan yang damai dan adil untuk memenangkan hati rakyat. Ideologi diplomatik Ho Chi Minh juga menyerap saripati budaya dunia, semangat kebaikan dan toleransi Buddhisme, ideologi liberal dan amal Revolusi Prancis, dan pandangan Marxisme-Leninisme tentang kesetaraan antarbangsa.
Pemikiran diplomatik Ho Chi Minh merupakan sistem pandangan tentang politik internasional dan sistem pemikiran tentang tujuan, prinsip, dan kebijakan luar negeri, serta strategi dan taktik diplomatik. Mengenai tujuan kebijakan luar negeri, beliau selalu mengutamakan kepentingan nasional di atas segalanya, yang ditunjukkan dengan jelas melalui slogan terkenalnya: "Tidak ada yang lebih berharga daripada kemerdekaan dan kebebasan". Tujuannya juga untuk menjaga keutuhan wilayah dan persatuan nasional, tidak menerima perpecahan, seperti yang dikatakan Paman Ho pada Konferensi Fontainebleau tahun 1946: "Selatan adalah darah dari darah Vietnam, daging dari daging Vietnam. Sungai mungkin mengering, gunung mungkin terkikis, tetapi kebenaran itu tidak akan pernah berubah."
Pelajaran yang tak ternilai harganya
Orientasi dasar kebijakan luar negeri yang beliau uraikan sejak lama masih relevan hingga saat ini. Yaitu kebijakan memperluas hubungan dengan semua negara, tanpa bermusuhan dengan siapa pun. Yaitu kebijakan memprioritaskan hubungan dengan negara-negara tetangga, sekaligus mementingkan hubungan dengan negara-negara besar, semata-mata karena negara-negara tersebutlah yang selalu memiliki pengaruh yang menentukan arah hubungan internasional. Beliau menganjurkan untuk menjaga muka, bukan berkonfrontasi, mengetahui bagaimana menjaga keseimbangan dalam hubungan, tetapi pada saat yang sama mengetahui bagaimana memanfaatkan konflik dan perpecahan di antara negara-negara besar.
Beliau juga berpesan bahwa diplomasi harus senantiasa menerapkan prinsip-prinsip luhur kemandirian dan kepercayaan diri yang berkaitan dengan solidaritas internasional, memadukan kekuatan nasional dengan kekuatan zaman, dan mengandalkan kekuatan sejati untuk menjalankan diplomasi. Beliau mengibaratkan kekuatan sejati dengan gong, diplomasi dengan bunyi, dan "semakin besar gongnya, semakin nyaring bunyinya."
Beliau juga meninggalkan banyak pelajaran tentang strategi diplomatik, yang terpenting adalah "Tetap konsisten, tanggap terhadap segala perubahan", membuat konsesi dan kompromi pada waktu yang tepat dan sesuai prinsip. Beliau juga mengajarkan kita untuk mengetahui cara menang selangkah demi selangkah, dengan syair-syair sederhana namun bermakna dalam perang perlawanan melawan AS: "Berjuanglah untuk menyingkirkan AS, berjuanglah untuk menjatuhkan boneka-bonekanya".
Strategi "perdamaian untuk maju" pada periode awal perang perlawanan melawan Prancis dan "bertempur sambil bernegosiasi" dalam perang perlawanan melawan Amerika merupakan pelajaran berharga bagi generasi diplomat saat ini dan masa depan. Ia juga mengajarkan bahwa seseorang harus tahu bagaimana mengatasi kesulitan dengan kelembutan, dan "mengubah hal-hal besar menjadi penting, hal-hal penting menjadi kecil, dan hal-hal kecil menjadi tidak berarti."
Ia mengajarkan para diplomat untuk menerapkan lima ilmu: kenali diri sendiri, kenali orang lain, kenali waktu, kenali kapan harus berhenti, dan kenali kapan harus berubah. Syairnya yang terkenal, "Jika waktunya baik, kesuksesan akan datang," memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana meramalkan peluang, memanfaatkan peluang, dan menciptakan peluang serta waktu, agar kelemahan dapat diatasi.
Bersamaan dengan pedoman diplomatik yang telah disebutkan, Presiden Ho Chi Minh meninggalkan banyak pelajaran tentang diplomasi dan pembangunan sektor diplomatik. Dalam sebuah konferensi diplomatik di tahun 1960-an, beliau mengingatkan bahwa misi diplomasi adalah untuk melaksanakan kebijakan luar negeri, "berkontribusi dalam membangun sosialisme di Utara, perjuangan rakyat di Selatan untuk mempersatukan negara, melaksanakan tugas-tugas internasional Partai dan Negara, serta mempererat persahabatan antara rakyat kita dan rakyat negara-negara lain".
Dalam konferensi lain, ia berpesan bahwa sebagai diplomat, apa pun jabatannya, seseorang harus mewakili bangsa, Partai, dan Negara, serta harus tahu cara melindungi kepentingan nasional.
Presiden Ho Chi Minh menekankan, "Kita harus menjaga kehormatan dan kepentingan Tanah Air, serta meningkatkan status dan prestise negara kita." Selain menjaga martabat bangsa, beliau juga menekankan pentingnya propaganda asing, berpesan bahwa diplomasi harus dianggap sebagai kedok, dan diplomasi rakyat harus diutamakan.
Diplomat harus melakukan riset dengan baik, "hanya dengan riset yang baik mereka dapat menjadi mata dan telinga, penasihat bagi negara, dan memberikan rekomendasi yang tepat bagi negara tuan rumah", tetapi mereka juga harus memperhatikan investigasi dan riset yang tepat dan terampil. Gaya diplomatiknya meninggalkan pelajaran tentang komunikasi dan perilaku diplomatik. Ciri khas gaya ini adalah sikapnya yang sopan dan santun, namun tetap rendah hati, sederhana, dan tulus, menciptakan kedekatan dan keramahan seorang diplomat.
Berorientasi ke masa depan
Presiden Ho Chi Minh selalu memperhatikan pembentukan tim staf diplomatik. Pada Konferensi Diplomatik Ketiga tahun 1964, beliau datang untuk berpidato dan berpesan kepada staf diplomatik untuk memiliki pandangan dan pendirian yang teguh, memahami kebijakan dalam dan luar negeri Partai dan Negara, memiliki akhlak yang baik, tingkat budaya yang baik, dan pemahaman diplomasi yang baik. Staf diplomatik harus memiliki pengetahuan yang luas dan kemampuan berbahasa asing yang baik.
Mengenai kualifikasi moral, beliau menekankan bahwa staf diplomatik harus melayani rakyat dengan sepenuh hati, "tidak setengah-setengah di dalam dan setengah di luar", harus memerangi kejahatan, berbuat baik. Beliau memperingatkan bahwa para pejabat yang pergi ke luar negeri dapat tergoda oleh godaan materi, yang mengarah pada pemborosan, korupsi, bahkan kejatuhan dan kehilangan martabat mereka. Beliau menyarankan perlunya fokus pada pelatihan staf diplomatik, tidak hanya melalui pendidikan formal tetapi juga pelatihan di tempat kerja, belajar sambil bekerja. Beliau mengatakan bahwa para pejabat baru harus belajar makan, berbicara, membungkus, dan membuka.
Pemikiran dan pelajaran Presiden Ho Chi Minh yang disebutkan di atas telah menjadi warisan yang tak ternilai harganya, abadi, dan mempunyai makna yang sangat praktis dalam konteks saat ini, ketika negara terus menggalakkan integrasi, menciptakan lingkungan yang mendukung pembangunan dalam segala aspek, tetapi masih menghadapi banyak tantangan dalam hubungan dengan negara-negara tetangga, negara-negara besar, dan menangani berbagai isu kompleks seperti sumber daya air Laut Timur atau Sungai Mekong.
Sarannya sangat berharga bagi upaya membangun sektor diplomatik yang bersih, kuat, profesional dan modern, agar dapat memenuhi persyaratan dan tugas baru yang diajukan saat ini.
[iklan_2]
Sumber
Komentar (0)