Di luar, angin muson timur laut berhembus kencang, berdesir di atap seng, dan merembes melalui celah-celah pintu. Daun-daun terakhir musim gugur berguguran pelan. Langit dan bumi yang kering menyambut musim dingin yang baru. Aku dan adik-adikku merangkak keluar dari balik selimut dan menunggu ibu kami menemukan pakaian hangat.
Gigi kami masing-masing bergemeletuk. Angin berhembus kencang ke seluruh rumah. Dingin sekali, dinginnya merambat ke rambut kering kami, dinginnya terasa seperti ada yang menusuk kulit kami. Ayah bangun pagi-pagi dan sedang sibuk di dapur. Api yang menyala-nyala seakan mendesak kami untuk segera turun.
Suara derak kayu kering yang terbakar. Api menjilat tinggi, menyelimuti panci berisi air panas. Aku dan adik-adikku duduk berdekatan, mengelilingi ayah agar tetap hangat. Tangan kami dihangatkan di atas api untuk menangkal dingin. Wajah kami yang merah dan pecah-pecah tertawa terbahak-bahak. Hangat sekali! Itulah perasaan yang selalu kuingat tentang dapur tua keluarga kami ketika musim dingin tiba. Dapur kecil itu tertutup jelaga dan asap, tetapi selalu dinyalakan oleh api cinta. Ada sebuah tempat yang penuh dengan kayu kering, bersama beberapa karung serbuk gergaji yang ditumpuk di sudut.
Sebuah lemari kayu berwarna cokelat tua diletakkan tinggi di atas empat mangkuk air untuk mengusir semut. Lemari tiga tingkat itu sudah ada sejak sebelum saya lahir. Tingkat bawah yang lapang digunakan untuk menyimpan panci dan wajan, kantong garam, botol-botol kecap ikan, kecap asin, dan cuka. Tingkat kedua ditutupi dengan palang kayu vertikal, menutupi mangkuk dan piring, dan keranjang rotan untuk sumpit digantung di luar. Tingkat terakhir tertutup, dengan pintu yang terbuka seperti lemari, dan digunakan untuk menyimpan lemak babi berwarna kuning keemasan, stoples gula bunga plum, rempah-rempah kering, dan sisa makanan.
Yang paling saya sukai adalah setiap pagi, setelah menggosok gigi dan mencuci muka dengan air hangat, saya dan saudara-saudara perempuan saya berkumpul untuk menggoreng nasi bersama ayah. Nasi yang dingin dari hari sebelumnya akan dipercikkan sedikit air oleh ayah agar lebih lunak. Beberapa bawang kering yang disimpan ibu kami dalam keranjang yang tergantung di dapur dikeluarkan. Sesendok lemak babi mengeras, berwarna putih. Suara desis lemak babi, aroma harum bawang goreng, beberapa potong sisa lemak babi goreng yang renyah.
Butiran nasi menggelinding rata di atas wajan saat Ayah mengaduk. Api dikecilkan agar nasi perlahan mengkilat dan berwarna cokelat keemasan. Aroma nasi, aroma api, dan aroma lemak seakan menyatu, harum dan renyah, membuat semua orang menginginkannya. Ayah menyendok nasi dan membaginya rata untuk kami, tiga mangkuk penuh, sementara mangkuk orang tuaku masih kecil. Kami perlahan menikmati semangkuk kecil nasi, tetapi kami tak pernah merasa kenyang. Namun, itu adalah sarapan musim dingin yang lezat dan mengenyangkan yang membuat kami tak merasa lapar sepanjang tahun ajaran yang panjang.
Sepulang sekolah, aku hanya ingin berlari pulang secepat mungkin. Di kejauhan, gumpalan asap mengepul dari dapur kecil. Ibu sedang memasak makan siang. Aroma makanan yang harum menguar, memanggil anak-anaknya untuk bergegas. Tangan Ibu terampil menyalakan api, beberapa ikan kering goreng renyah, kacang asin berbintik putih, atau sekadar saus tomat merah menyala yang berkilau... Hidangan sederhana yang disiapkan Ibu dengan saksama itu mengandung begitu banyak cinta, menanti kepulangan suami dan anak-anaknya.
Saat ayah dan saudara-saudaraku tidur siang, ibuku mengajakku membuat permen jahe. Aku sangat gembira, dengan cermat mengiris jahe tua di dekat tungku yang membara untuk menyaksikan ibuku mengaramelkan gula. Butiran gula perlahan meleleh lalu merekat menjadi permen. Seluruh dapur dipenuhi aroma harum. Ibu mengeluarkan permen putih panjang yang lembut itu dan memotongnya menjadi permen-permen cantik. Ketika ayah dan saudara-saudaraku bangun, permen itu sudah selesai. Seluruh keluarga menikmati permen pedas yang lumer di mulut mereka. Itu adalah hadiah hangat untuk mencegah batuk yang diberikan ibuku untukku dan ayahku agar bisa melewati musim dingin.
Ketika ayah saya pensiun, beliau belajar membuat arak beras. Jadi, selama musim dingin, dapur saya selalu dipenuhi api dan harum. Saya dan saudara perempuan saya senang membawa buku-buku kami ke dapur untuk menyalakan api dan belajar. Setiap tetes saripati anggur disuling dari mutiara surga, melalui pipa tembaga yang menetes ke dalam kendi kulit belut. Aroma ragi dan anggur begitu kuat dan abadi. Aroma ubi jalar yang terkubur dalam abu panas terasa begitu matang. Seluruh keluarga berkumpul untuk berbagi rasa manis dan pahit. Ayah saya dengan bangga bercerita tentang medan perang di masa lampau. Ayah saya dan rekan-rekannya basah kuyup dalam dinginnya hujan bom dan peluru, tetapi tak seorang pun mengeluh. Semua orang selalu bertekad untuk mengatasi semua kesulitan, memikirkan hari kejayaan dan kemenangan. Di waktu luang mereka, ibu saya mengajari saya dan saudara perempuan saya merajut syal dalam berbagai bentuk seperti bentuk berlian, lilitan tali, bentuk persegi, tanda bintang...
Tangan-tangan mungil memainkan kait rajutan sesuai instruksi sang ibu, bola-bola wol warna-warni berkilauan di bawah cahaya api unggun. Syal biru, syal kuning... - kehangatan cinta dipersembahkan kepada para penerima, dan uang hasil penjualan syal akan digunakan untuk membeli baju baru, hadiah akhir tahun dari sang ibu untuk anak-anaknya yang sangat penurut.
Namun, hari-hari terbaik tetaplah hari-hari ketika Ayah berkeliaran dan kembali, dapur tampak ramai dan hangat. Semua orang di keluarga sibuk namun bahagia. Ayah selalu mengaduk sosis kepala babi yang harum. Ibu dengan terampil membuat manisan kacang, manisan wijen, selai jahe, selai belimbing. Kami, anak-anak, berlarian keluar masuk untuk memeras kacang, mengupas kacang, menyeka daun... untuk membantu orang tua kami.
Mencoba sepotong selai jahe yang manis dan pedas, sepotong permen kacang yang renyah dan harum. Mata anak-anak dipenuhi kekaguman, kepuasan, dan kebahagiaan. Meskipun langit di luar mendung, gerimis dingin tak sampai ke dapur saya. Tempat itu selalu dipenuhi suara tawa, dan kegembiraan yang tak tertandingi.
Waktu berlalu dengan cepat, ayahku telah pergi ke negeri awan putih, dan dapur lama tak lagi ada. Musim dingin membiarkan kekhawatiran berbisik dalam angin dingin. Di negeri asing, aku duduk dan menghitung kenangan lama. Rempah-rempah cinta yang manis dan harum di dapur musim dingin yang hangat...
(Menurut nguoihanoi.vn)
[iklan_2]
Sumber: https://baophutho.vn/than-thuong-can-bep-mua-dong-226458.htm
Komentar (0)