Pada bulan Oktober, embun beku begitu tebal sehingga rasanya seperti ia bisa menyekopnya dengan topinya. Gadis kecil itu mengenakan topinya di kepalanya dan duduk di punggung kerbau, mengikuti ibunya ke ladang. Keringat bercucuran dari pagi hingga larut malam, tetapi di kebun, di ladang, dan di pantai, selalu ada tawa. Sukacita panen yang baik tampak jelas di setiap wajah, dalam kicauan salam dan panggilan satu sama lain di seluruh ladang. Di ladang yang dalam, musim panen tiba tetapi air masih setinggi batang padi. Orang-orang sering bergabung dalam dua atau tiga rumah tangga untuk memanen dengan cepat. Perahu-perahu kecil ditarik di belakang para pemanen untuk menjatuhkan batang padi yang berat. Kawanan bebek yang mencari makan di ladang sangat berani, sering menunggu saat ketika sang ibu memutar jerami dan menjatuhkan padi yang baru dipanen untuk melompat dan berebut makanan, membuat padi menjadi berantakan. Sang induk mencabut jerami dan melemparkannya ke tengah kawanan bebek, namun mereka hanya bubar sesaat sebelum berkumpul lagi, mencari makan di belakang sang induk, mencari kepiting, siput, dan berebut merebut batang padi yang baru saja dijatuhkan sang induk.
Di ladang yang baru dipanen beberapa hari lalu, tunggul-tunggul padi telah tumbuh subur dan hijau. Kawanan kerbau dan sapi dengan santai menjilati tunggul-tunggul padi muda itu dengan lidah mereka, tak menghiraukan burung bangau yang bertengger tenang mematuk lalat merah berdarah yang menempel di pantat dan punggung mereka. Airnya terlalu dalam untuk mengarungi ladang, sehingga gadis kecil itu harus berjalan menyusuri tepian, mengejar belalang dan belalang sembah, memunguti kepiting dan siput tangkapan ibunya, lalu melemparkannya ke tepian. Anak-anak yang menggembalakan kerbau, melihat "umpan" itu, langsung berlari mengumpulkan tunggul kering dan menumpuknya di alur untuk memanggang kepiting dan siput. Siput-siput hitam mengilap itu mendesis di api tunggul padi dan perlahan matang. Aroma asap jerami, aroma kepiting dan siput bakar, aroma kotoran kerbau dan sapi, serta aroma lumpur, singkatnya, aroma ladang meresap ke setiap urat nadinya, setiap serat dagingnya, setiap helai rambutnya, dan menutrisinya untuk tumbuh dewasa setiap hari. Sajian hasil panen disantap dengan cepat di sawah bersama udang goreng, kohlrabi, atau tumis kol yang harum, dan setelahnya, ada hidangan penutup berupa jagung rebus atau tebu manis. Itulah mengapa panen itu penting, dan itulah mengapa sukacita dan kebahagiaan juga hadir di sana.
Tahun demi tahun berlalu. Gadis itu kini telah menjadi pensiunan kader. Ibunya tak lagi mengarungi ladang karena usianya yang renta dan ladang-ladang itu telah digantikan oleh proyek-proyek baru. Generasi muda, bahkan paruh baya, berbondong-bondong ke kota untuk mencari pekerjaan. Para penggembala kerbau muda tak lagi sebanyak dulu. Di ladang, hanya ada beberapa kerbau dan sapi yang berbaring merumput di atas tanah yang telah dibeton. Ladang-ladang itu dihiasi bengkel-bengkel produksi yang diselingi ladang kentang dan padi. Setiap pagi dan sore, asap mengepul dari ladang, tetapi itu bukan asap harum kepiting dan siput bakar seperti dulu. Tak ada lagi makan siang cepat di ladang atau sorak-sorai para perempuan untuk mengusir penat. Gadis—kader pensiunan itu merobek halaman kalender dan mendesah.
Halo Oktober!
Kerohanian
Sumber: https://baodongnai.com.vn/van-hoa/dieu-gian-di/202510/thang-muoi-oi-057092d/






Komentar (0)