Namun, ke mana pun ia pergi, apa pun yang ia lakukan, ia selalu memiliki rasa cinta yang mendalam terhadap tanah airnya. Bahkan judul-judul kumpulan puisinya pun sebagian mencerminkan hal itu: Anak Pasir, Aluvium Laut, Legenda Cua Tung, Le Thuy Suot Mua...
Dalam puisi "Years of Friends" dengan dedikasi: "Dipersembahkan kepada teman-teman dari Sekolah Menengah Atas Le Thuy", pengarang mengungkapkan: Kita punya teman-teman seusia kita/ Di jalan setapak tua yang tertutup lumut/ Setengah kehidupan yang penuh suka duka, kembali padamu/ sama bahagianya seolah tak ada embun yang tebal.
Itulah realitas kehidupan, ketika pengarang kembali ke kampung halamannya, tempat ia "dilahirkan dan dibesarkan", ketika penyair kembali ke masa lalu untuk menemukan kembali masa mudanya dengan segudang emosi, terutama suasana hati yang gembira ketika menyentuh kenangan masa kuliahnya, masa terindah dan penuh mimpi dalam hidup seseorang. Kegembiraan itu seakan melampaui segalanya ketika mengenang teman-teman seusianya. Realitas kehidupan telah menyatu dengan realitas suasana hati sehingga mudah bagi banyak orang untuk bersimpati. Kita memiliki sahabat di tahun-tahun yang telah berlalu/ Ibu di angin malam yang dingin/ Ayah di butiran pasir malam berbintang/ Dan engkau di celah gunung yang memisahkan kita.
![]() |
| Antologi penyair Ngo Minh - Foto: PXD |
Suara puitisnya realistis, dengan detail yang disuling dengan suasana nostalgia, rindu mendalam akan tanah air dan tahun-tahun belajar, keras dan melelahkan, namun penuh kenangan. Kenangan itu bagai ombak samudra yang tak henti-hentinya menerjang kenangan yang jauh. Refrain "Kita punya teman di tahun-tahun sebelumnya" terus terngiang tanpa henti. Dan dari deskripsi yang realistis, penceritaan yang realistis, puisi itu berakhir dengan bunyi yang umum, abstrak, dan membumbung tinggi, memperluas ranah asosiasi layaknya seorang penyair: begitu dingin hingga puisi tak bisa tidur / menyalakan api untuk menghangatkan hati masing-masing / di luar sana sungai bersemayam di bawah naungan rerumputan / malam yang dingin membelah suara peluit kereta api...
Penyair itu menyebut dirinya "Anak Pasir", yang juga merupakan nama sebuah puisi, kumpulan puisinya. Dan ia mengaku dalam syair: "Anak pasir/ mata yang terbiasa terbuka menghadapi angin yang tajam/ untuk melihat cakrawala di mata laut/ mengkristal menjadi sebutir garam jiwaku...".
Desa laut adalah tanah air dari pihak ayah dan ibu yang hampir selalu muncul dalam puisi-puisinya, begitu sederhana, mendalam, dan terkadang dipenuhi nostalgia sehingga sang penyair merasa tak bisa diam. Dalam puisi "Legenda Cua Tung" (yang juga merupakan judul kumpulan puisi), sang penyair menciptakan gambaran puitis yang menyentuh sekaligus menghantui ketika berbicara tentang tanah airnya: Oh tanah air/ Cua Tung Vinh Quang Cat Son Thuy Ban/ angin dingin di sisi sini, di sisi lain mencari selimut/ sungai sempit yang hanya tinggal beberapa langkah/ orang-orang saling mencari dan pasir saling mencari/ dua puluh tahun sungai telah berubah menjadi darah yang mengalir/ laut berkelap-kelip dengan api dupa pertobatan.
Itulah Cua Tung, kampung halaman sang penyair dari pihak ibu, benteng baja Vinh Linh, jembatan Ben Hai, sungai Hien Luong, satu sisi mengenang, satu sisi mencintai, mengandung masa Utara dan Selatan di siang hari dan Selatan di malam hari. Tempat itu mewujudkan cinta yang mendalam terhadap kampung halaman sang ibu dan berdiri tegak sebagai monumen di hati banyak orang tentang aspirasi penyatuan kembali bangsa, untuk mengatasi hambatan dan perpisahan yang tampak maupun tak tampak, agar Utara dan Selatan dapat kembali ke satu rumah, sehingga reuni akbar itu tak akan pernah menyebut perpisahan. Aspirasi itu begitu biasa, sederhana, namun begitu agung sehingga seluruh bangsa harus menempuh perjalanan panjang selama dua puluh tahun untuk mencapai pantai reuni.
Dalam puisi prosa yang dipersembahkan untuk para penyair, berjudul: "Puisi-puisi yang dipersembahkan untuk Le Dinh Ty, Mai Van Hoan, Hai Ky pada malam-malam musim dingin yang mengembara di Hue", sang penulis membuat sketsa cepat satu demi satu dalam film gerak lambat tentang persahabatan yang erat selama bulan-bulan sulit 45 tahun yang lalu (1980). Citra puitisnya mengesankan dan menggugah: kami linglung seperti itu sepanjang musim dingin, bersama di tengah hujan lebat, membawa puisi ke ruangan-ruangan kecil yang cahayanya tak cukup terang untuk mengenali sosok-sosok kurus sahabat, hanya senyum yang tersungging di bibir mereka yang menambah api pada puisi yang panas. Kami bersama di tengah malam yang pekat, syair-syair yang menjulang tinggi melilit hati yang pedih, beberapa lirikan masih memanggil kembali simfoni. Pepohonan di pinggir jalan merunduk, diguyur hujan lebat, atau ingin berbagi bisikan hati manusia.
Tanah air dan persahabatan yang erat dan mendalam dikreasikan kembali dalam puisi melalui kenangan hujan dan sinar matahari, melalui ruang sempit yang dipenuhi kasih sayang, melalui lampu yang hanya cukup menerangi wajah-wajah pucat sahabat di masa-masa sulit masa subsidi. Sungguh, tak ada yang lebih berkesan dan membekas di hati satu sama lain selain kenangan persahabatan yang murni dan berharga, terutama tanda-tanda yang menandai masa-masa sulit.
Sang penyair telah pergi jauh ke negeri awan putih, namun puisi masih tetap bersama dunia manusia, teguh, setia, dan teguh bagaikan sebutir pasir kecil yang menghantui begitu banyak hal:
besok
kehidupan terkubur di pasir
laut masih memiliki butiran garam
menjemput
mengatakan bahwa...
(Masih lama 2)
Jiwa tanah air, cinta tanah air demikianlah yang tetap kekal menggenggam tiang penantian di tepi pantai kehidupan yang tiada awal dan tiada akhir.
Pham Xuan Dung
Sumber: https://baoquangtri.vn/van-hoa/202512/tho-ngo-minh-sau-tham-hon-que-9ec0280/











Komentar (0)