Mobil berhenti di ujung gang, gang yang familiar itu kini tak lagi sesak, semua orang mungkin sibuk membersihkan sisa badai. Aku melangkah sangat pelan, memandangi setiap atap, setiap rumpun bambu, setiap rumpun bunga liar seakan dalam sekejap mata, semuanya akan lenyap. Saat siluet rumahku muncul, tiba-tiba aku merasakan perih di hidungku. Rumah tua itu masih ada di sana, anehnya damai. Atap genteng abu-abu berlumut itu masih utuh, hanya ditumbuhi beberapa helai daun ketapang basah. Beranda, tempatku biasa duduk mendengarkan hujan bersama ibuku, masih bersih, tanpa jejak badai. Pohon belimbing di halaman belakang masih berdiri tegak dengan tenang, beberapa buah berwarna keemasan mengintip dari balik dedaunan seolah tersenyum menyambutku kembali.

Saat pintu kayu terbuka, aroma apak bercampur asap dupa dari altar leluhur menyerbu hidungku. Aku tak kuasa menahan gejolak emosi. Semuanya masih sama seperti saat aku pergi, teko teh retak yang biasa disimpan ibuku di pojok dapur, foto kakekku yang terpajang di dinding, kendi beras baru yang ditutupi kain bermotif bunga. Benda-benda sederhana itu, di kota, tak dapat ditemukan. Di sini, setiap benda seakan membawa napas waktu, berisi kenangan dan cinta. Ibuku keluar dari dapur belakang. Rambutnya memutih dan berantakan karena semalam tak bisa tidur, tangannya masih gemetar karena kerja keras menjaga rumah. Namun senyumnya masih sama seperti dulu, senyum yang cukup untuk meredakan segala kekhawatiran di hatiku. Aku berlari memeluknya. Tak ada kata yang mampu menggambarkan perasaan menyentuh sesuatu yang begitu berharga, yang tampak rapuh namun ternyata lebih tahan lama daripada segalanya.
Ibu bercerita bahwa badai begitu kuat sepanjang malam hingga angin menderu-deru seolah ingin merobohkan atap, tetapi entah bagaimana rumah itu tetap berdiri. "Para leluhur pasti telah memberkatiku," katanya sambil tersenyum, matanya basah. Aku memandang ke halaman, sisa-sisa tetesan air berkilauan diterpa sinar matahari sore. Setiap sinar cahaya yang menyinari genteng membuat atap tampak seperti mengenakan mantel baru, berkilauan dengan harapan. Semuanya terasa familier seperti dongeng yang diceritakan dengan aku sebagai tokoh utamanya. Sejauh apa pun aku pergi, secerah apa pun aku tinggal di kota, aku tetap tak dapat menemukan perasaan ini, perasaan bahwa aku merasa memiliki tempat di suatu tempat. Rumah itu tidak berubah, hanya saja aku tumbuh dewasa, menjauh, lalu menemukan jalan pulang.
Aku menyadari bahwa badai dapat merobohkan pohon, menyapu bersih tanaman, dan rumah, tetapi badai tak dapat menyentuh ingatan, emosi, dan keterikatan seseorang terhadap tanah air. Rumah bukan sekadar tempat berteduh. Ia adalah bagian dari jiwaku, tempat aku belajar berdiri tegap setelah semua badai kehidupan. Malam itu, aku berbaring di kamar lamaku, mendengarkan desiran angin yang berhembus di taman. Tak ada lagi suara badai, hanya kehangatan lembut yang menjalar dari dinding-dinding yang sunyi. Aku tahu bahwa esok ketika aku kembali ke kota, aku perlu mengingat bahwa setelah setiap badai, tanah airku akan tetap menantiku dengan keutuhannya. Sekeras apa pun kehidupan mendesakku, aku masih punya tempat untuk kembali.
Sumber: https://www.sggp.org.vn/ve-nha-sau-bao-post827311.html










Komentar (0)