Vietnam.vn - Nền tảng quảng bá Việt Nam

Gambar dan dialog nostalgia dalam kumpulan esai "Hanoi dalam diriku"

Kumpulan esai "Hanoi in Me" (240 halaman, diterbitkan oleh Writers Association Publishing House pada kuartal keempat tahun 2025) karya Nguyen Xuan Hai bagaikan harmoni yang hening. Kecerdasan dan jiwa seorang intelektual global berpadu dengan nostalgia yang mendalam.

Báo Nhân dânBáo Nhân dân10/10/2025

Kumpulan esai
Kumpulan esai " Hanoi dalam diriku" oleh penulis Nguyen Xuan Hai.

Buku ini menggambarkan bentuk Ibu Kota dalam ingatan dan perubahannya, serta mengajak pembaca untuk berpartisipasi dalam dialog hening antara masa lalu dan masa kini, antara mereka yang telah pergi jauh dan kota yang abadi di hati mereka. Tanpa menulis tentang perubahan besar, penulis Nguyen Xuan Hai dengan santai dan tenang mengumpulkan "potongan-potongan yang terputus" untuk menciptakan ruang terpisah yang berisi kenangan, rasa, dan terutama jiwa "masyarakat Hanoi".

"Hanoi in Me" memiliki gaya penulisan yang sederhana namun mendalam, yang dikaji secara budaya sekaligus mengandung bisikan suara seseorang yang memilih untuk kembali ke jalanan lama, toko-toko lama, jalan-jalan lama, dan cita rasa empat musim, menciptakan Hanoi yang konkret sekaligus samar-samar bernostalgia. Karya ini juga memuat pemikiran tentang identitas, ingatan, dan identitas urban.

"Hanoi in Me" memiliki gaya penulisan yang sederhana namun mendalam, yang dikaji secara budaya sekaligus mengandung bisikan suara seseorang yang memilih untuk kembali ke jalanan lama, toko-toko lama, jalan-jalan lama, dan cita rasa empat musim, menciptakan Hanoi yang konkret sekaligus samar-samar bernostalgia. Karya ini juga memuat pemikiran tentang identitas, ingatan, dan identitas urban.

Penulis Nguyen Xuan Hai meraih gelar Doktor Ekonomi dari Universitas Johns Hopkins dan gelar Magister Matematika dari Universitas Tennessee. Dengan informasi tersebut, banyak orang membayangkannya lebih terikat pada angka, nalar, dan sains. Namun, dalam "Hanoi in Me", pembaca bertemu dengan sosok yang berbeda, dengan jiwa yang peka dan mendalam, dijiwai oleh sosok penyair yang tahu bagaimana menikmati dan menenangkan setiap hembusan napas kehidupan. Kesejajaran antara nalar dan emosi inilah yang membuat prosanya memiliki keindahan yang istimewa, halus dan lembut dalam pengamatan, mendalam dalam perenungan, dan lembut dalam aliran ingatan.

img-2912.jpg

Buku ini disusun sebagai epik multinada, yang membuka berbagai tingkatan dan dimensi spasial ingatan manusia.

Struktur 6 bagian, dari "Kenangan Hanoi 24 Jam" hingga "Kontemplasi dan Refleksi", merupakan perjalanan mental dari emosi menuju pengalaman dan refleksi. Proses tersebut menciptakan kedalaman pemikiran dan emosi, membantu buku ini melampaui batas-batas kumpulan catatan pribadi dan menjadi simbol perjalanan kembali ke jati diri di ruang Hanoi.

Bagian pembuka "Memories of Hanoi" menyampaikan denyut nadi kota secara utuh dalam 24 jam, dari pagi, siang, sore, hingga mimpi kota tersebut. Struktur waktu yang siklis membuat pembaca merasa seolah-olah hidup, bernapas, berjalan, dan bermimpi bersama kota ini. Esai-esai seperti "Letter to Sister", "Goodbye Hanoi", "Love", "Wandering in the Beginning of Winter", "Hoa Khanh Linh"... berlanjut dengan aliran emosi pribadi, menggambarkan Hanoi sebagai belahan jiwa.

Penulis tidak mengamati dari luar, melainkan memasuki aliran waktu sehingga setiap detail kehidupan sehari-hari: tangisan, aroma bunga, hujan pertama musim dingin... menjadi bagian penting dari kesadaran. Jika kita menyebut bagian I "waktu kehidupan", maka ini juga merupakan poros emosional sentral yang mengendalikan seluruh buku.

Dari irama kehidupan hingga ruang, bagian II bagaikan peta mental dengan potongan-potongan: "Musim dingin Hanoi", "Hanoi dan aku", "Kisah-kisah acak tentang Hanoi", "Danau Barat tahun itu tampak lebih hijau", "Jangkrik berkicau - musim panas kembali"... membentuk serangkaian kenangan yang mengikuti langkah musim, tempat, dan emosi.

Patut dicatat bahwa strukturnya tidak tersusun secara linear. Setiap "sudut jalan" tidak terhubung secara geografis, melainkan bergantung pada alur suasana hati, seolah-olah Hanoi direkonstruksi dalam alam bawah sadar penulis. "Berbicara dengan Hanoi", "Oh Hanoi..." adalah dua hal penting yang menunjukkan bahwa Hanoi belum benar-benar menjadi subjek dialog, yang mampu mendengarkan, berempati, merespons... dengan kehalusan dan kepekaan penulis.

Setelah ruang, datanglah rasa. Penulis tampaknya memahami bahwa untuk mencapai jiwa Hanoi, seseorang harus melewati "restoran" yang hangat dan sederhana. Esai-esai "Makan Malam", "Kisah-Kisah Gudang Air", "Lukisan Musik Masih Sama Seperti Dulu!", "Makan Pho"... dengan santai menceritakan kisah-kisah kuliner untuk membangkitkan lapisan kenangan budaya.

Masakan dalam perspektif dan perasaan penulis tidak digambarkan melalui rasa kenyang materi, melainkan melalui rasa nostalgia: rasa yang diasosiasikan dengan sebuah wajah, sebuah sore, atau sepotong musik lama. Melalui struktur transfer perasaan, dari penglihatan ke rasa, lalu ke ingatan, bagian ini membantu seluruh kumpulan esai menjadi lebih hidup dan hangat.

Bagian IV "Fragmen Kehidupan dan Emosi" dapat dibayangkan sebagai ruang terbuka antara "aku" dan "kita". Struktur buku ini, oleh karena itu, memancar dari individu ke komunitas. Esai-esainya: "Rumah! Rumahku yang Manis!", "Alamat untuk Hue", "Nyanyian untuk Malam Badai...", "Vodka", "Hujan Sore, Jalanan yang Ramai..." semuanya memadukan suara batin dengan perenungan dunia.

Hanoi di bagian ini bukan lagi tempat yang spesifik, melainkan menjadi latar emosional yang umum, ruang tempat pertemuan, perpisahan, hasrat, dan penyesalan terjadi. Penulis menunjukkan kematangan kemampuan menulisnya ketika ia tahu bagaimana mundur sejenak untuk mengamati dan merenungkan. Pergeseran struktural dari "pribadi" (Hanoi) ke "publik" (kehidupan) merupakan sorotan humanis dari keseluruhan buku ini.

Bagian V, berjudul "Catatan Harian di Vietnam", bagaikan cerita sampingan. Penulis menempatkan bagian ini setelah membangun potret Hanoi yang utuh merupakan pilihan struktural yang sangat halus dan cerdas: ketika meninggalkan Hanoi, penulis dapat memahami Hanoi sedalam-dalamnya. Potongan-potongan seperti: "Tepat setelah Hanoi pada jam segini, apakah hujan turun, sayangku?", "Cao Bang - Bac Kan - Hanoi", "Sai Do Ky"... membuka perjalanan geografis sekaligus menutup perjalanan mental untuk sementara. Hanoi menjadi "patokan ingatan" sekaligus basis perbandingan, nostalgia, dan kepulangan.

Struktur 6 bagian ini diakhiri dengan esai-esai kontemplatif: "Chicken Teeth", "Old Confessions", "Writing for the 20s", "After Journey to the West: Stories Just Told Now"... Jika bagian pertama berkisah tentang emosi, bagian terakhir berkisah tentang pikiran. Penulis tidak lagi menulis tentang Hanoi secara spesifik, melainkan seolah-olah telah menggambarkan potret dirinya sendiri, melalui proses hidup, mencintai, dan meninggalkan Hanoi. Nada yang tenang, dipadu dengan sedikit sindiran, membuat akhir cerita ini terasa pedih dan mendalam.

Meski membentang melintasi banyak negeri, dari Lang Son, Cao Bang, Saigon… hingga negeri-negeri yang jauh sekalipun, “Hanoi dalam diriku” masih belum meninggalkan orbit kota pusat dalam pikiranku.

Nama-nama tempat lain tampaknya tidak serta merta memperluas ruang catatan perjalanan, tetapi justru berkontribusi dalam memposisikan ulang Hanoi di kedalaman batin. Menulis tentang tempat mana pun, penulis selalu menerangi lanskap yang asing itu dengan cahaya kenangan Hanoi, bahkan dalam perjalanan melintasi Vietnam, Hanoi tetap menjadi poros emosional yang dominan, "jalan akar" yang menjadi tujuan semua jalan lainnya.

Secara simbolis, kemunculan berbagai nama tempat merupakan cara penulis menciptakan peta psikologis ekspatriat, di mana ruang fisik hanyalah alasan untuk mengungkap ruang ingatan. Teknik ini menjadikan struktur esai ini unik: semakin jauh Anda pergi, semakin jelas Hanoi; semakin banyak negeri yang Anda lewati, semakin dalam citra Hanoi tertanam di alam bawah sadar Anda.

img-2909.jpg
img-2910.jpg

Maka, Hanoi dalam buku ini adalah "poros spiritual" tempat semua perjalanan bertemu; setiap perjalanan adalah ujian nostalgia; setiap negeri baru adalah cermin yang memantulkan ego... Menulis tentang tempat-tempat itu, penulis tidak menggambarkannya, melainkan berdialog dengan Hanoi di dalam hatinya.

Buku yang rumit ini tidak mengikuti struktur yang kaku, tetapi setiap bagiannya dapat dibaca secara terpisah, namun tetap beresonansi dengan emosi dan pikiran. Hanoi tak hanya tampak sebagai ruang geografis, tetapi juga sebagai organisme hidup, yang bergerak seiring waktu, manusia, rasa, kenangan, dan filosofi hidup.

Karena itu, kumpulan esai ini bagaikan peta jiwa, membantu penulis berdialog dengan masa lalu, dengan kota, dan dengan dirinya sendiri. Struktur enam bagian—dari "perasaan" hingga "realisasi"—telah menciptakan sebuah perjalanan yang utuh.

Strukturnya juga menunjukkan bahwa Nguyen Xuan Hai tidak menulis secara spontan, melainkan memiliki kesadaran estetis terhadap pergerakan emosi. Dari detail-detail sepele, ia membangun sebuah kesatuan dengan resonansi yang panjang, menghubungkan "Hanoi material" dan "Hanoi spiritual".

"Sepertinya saya hanya menulis ulang apa yang telah dikatakan, diceritakan, dan ditemukan oleh para penulis Hanoi, dengan cara saya sendiri yang canggung..." - Kata-kata penulis bernada rendah hati dan penuh kesadaran diri. Itulah "kesederhanaan artistik" yang sebenarnya juga merupakan manifesto penulis.

Nguyen Xuan Hai tahu bahwa Hanoi sudah terlalu banyak dibicarakan, mulai dari Thach Lam, Bang Son, Nguyen Viet Ha hingga Nguyen Ngoc Tien... Namun, dalam "kecanggungan" yang ia akui sendiri, pembaca dapat merasakan kualitas unik seseorang yang jauh, yang berusaha berpegang teguh pada hal-hal yang paling rapuh seperti aroma, suara, perasaan...

Nguyen Xuan Hai tidak lagi "menggambarkan" Hanoi, ia berdialog. Titik itulah yang membuat karya sastranya berdiri di antara dua dunia: sastra ingatan dan sastra kesadaran diri.

"Aku tak bisa bercerita tentang London yang ramai, aku tak bisa bercerita tentang Washington DC yang makmur... karena jiwaku yang kecil dan sempit hanya punya ruang untuk kota yang lembut di tepi Sungai Merah yang mengalir, kedai kopi sempit di ujung gang, dan trotoar kasar berbatu, samar-samar beraroma bunga milkflower saat musim gugur tiba...". Ini adalah salah satu bagian paling menonjol dari buku ini, sebuah "pengakuan" sekaligus "deklarasi perasaan".

Penulis tidak menyembunyikan "jiwa sempit"-nya, melainkan mengubahnya menjadi nilai. Itulah "sempitnya" kesetiaan pada ingatan, "sempitnya" cinta yang hanya satu. Gambaran-gambaran dalam paragraf ini disusun dalam struktur koeksistensi yang sekilas, bagaikan pemandangan eksternal yang jauh dan kabur, untuk menciptakan latar belakang bagi "Hanoi - Sungai Merah - kedai kopi di ujung gang - trotoar bunga susu" yang muncul dengan sensualitas yang intens.

Semakin jauh dari dunia, semakin dekat Hanoi; semakin banyak Anda bepergian, semakin cinta menjadi "terlokalisasi" dalam cara yang sangat dekat dan sakral.

Strukturnya menyumbang pada efek kontras emosional: semakin jauh dari dunia, semakin dekat Hanoi; semakin jauh Anda bepergian, semakin cinta menjadi "terlokalisasi" dalam cara yang sangat intim dan sakral.

"Orang Hanoi makan bukan hanya karena kelezatan makanannya, tetapi juga karena pemandangan di sekitarnya, dan karena keakrabannya, meskipun itu sesuatu yang terlalu tua dan ketinggalan zaman. Makanlah untuk mengenang, untuk mengenang, untuk mengenang, sayangku...". Itulah salah satu penggalan yang dengan jelas menunjukkan kemampuan budaya Nguyen Xuan Hai.

Masakan dalam esai-esainya tidak dianggap sebagai subjek melainkan sebagai bentuk ingatan kolektif. "Makan untuk mengingat, untuk mengenang" mengandung filosofi budaya urban: makanan, selain rasa, juga merupakan ritual ingatan dan keyakinan.

Dalam kumpulan esai, nadanya sering bergeser dari naratif ke dialog, menciptakan rasa keintiman dan privasi, seperti bisikan saat berkencan di kafe lama atau di jalan yang sudah dikenal.

Pada tingkat yang lebih dalam, kita melihat Hanoi yang memudar seiring waktu, dan setiap hidangan menjadi "bukti nyata" masa lalu. Di sinilah tulisan Nguyen Xuan Hai menyentuh "rasa kehilangan"—tema inti sastra urban kontemporer. Di sini, Nguyen Xuan Hai tidak berusaha memulihkan Hanoi lama, tetapi sangat menyadari perubahannya. Penulis "berada di antara garis itu", yang merupakan posisi seorang subjek modern yang bernostalgia sekaligus menerima kenyataan. Dalam hal ini, penulis adalah penjaga sekaligus saksi atas kepergiannya.

Dalam buku ini, halaman-halaman tentang musim dingin menciptakan kesan yang istimewa. Secara simbolis, "musim dingin" dalam tulisan Nguyen Xuan Hai adalah momen kenangan yang singkat, ketika semua suara, dialog, dan gerak kehidupan mereda agar orang-orang dapat mendengar suara hati mereka.

Narasi batin menjadi elemen yang membuat tulisannya dekat dengan puisi dan cenderung meditatif. Penulis seolah menolak segala maksud "narasi agung", ia tidak ingin menciptakan potret Hanoi yang utuh, melainkan hanya "mengumpulkan kepingan-kepingan yang berserakan" secara sederhana. Gaya penulisan ini membangkitkan "estetika fragmen" dalam sastra modern, yang mengungkapkan kebenaran bukan dalam gambaran utuh, melainkan dalam setiap fragmen emosional.

“Hanoi in Me” adalah karya yang memadukan memori dan pengetahuan, budaya dan narasi, mewakili tren prosa urban kontemporer.

“Hanoi in Me” adalah sebuah karya yang memadukan ingatan dan pengetahuan, budaya dan narasi, yang merepresentasikan tren prosa urban kontemporer. Nguyen Xuan Hai menulis seolah-olah ingin melestarikan kehangatan manusia di tengah kota yang terus berubah.

Di dunianya, kuliner, musim dingin, toko-toko kecil, atau jalanan… semuanya adalah simbol identitas dan cinta. Buku ini ditulis dengan cinta yang abadi bagai api musim dingin. Dengan gaya bahasa yang lembut, terkendali, namun menghantui, penulis membuat pembaca percaya bahwa, ke mana pun mereka pergi, setiap orang membawa Hanoi mereka sendiri.

Penulis mengaku: "Saya tidak mencoba menggeneralisasi atau mendefinisikan Hanoi... Saya mengumpulkan potongan-potongan yang berserakan itu untuk membuat gambaran kecil". Dalam kekecilan dan kecanggungan itulah tersimpan Hanoi yang sungguh agung, penuh kenangan dan kemanusiaan.

Membaca buku bagaikan mendengar lonceng Gereja St. Joseph berdentang di tengah kabut, aroma bunga susu di rambut seseorang, dan tiba-tiba merasa hangat di dalam, seakan-akan Hanoi berbisik lembut: Kembalilah, masih ada kota di sini tak jauh dari sini...

Sumber: https://nhandan.vn/buc-tranh-hoai-niem-va-doi-thoai-trong-tap-tan-van-ha-noi-trong-toi-post914270.html


Komentar (0)

No data
No data

Dalam kategori yang sama

Tim Vietnam naik ke peringkat FIFA setelah menang atas Nepal, Indonesia dalam bahaya
71 tahun setelah pembebasan, Hanoi tetap mempertahankan keindahan warisannya dalam arus modern
Peringatan 71 Tahun Hari Pembebasan Ibu Kota - membangkitkan semangat Hanoi untuk melangkah mantap menuju era baru
Daerah banjir di Lang Son terlihat dari helikopter

Dari penulis yang sama

Warisan

Angka

Bisnis

No videos available

Peristiwa terkini

Sistem Politik

Lokal

Produk