Sinar matahari sore menembus jendela ventilasi jauh ke dalam dapur Ma Hoa, "menangkap" gumpalan asap biru yang menerangi seluruh dapur. Bagi para Jrai, dapur tidak hanya digunakan untuk memasak, tetapi juga menyimpan harta karun berupa pengalaman hidup dan dunia spiritual.

Di rak dapur yang bernoda hitam jelaga, terdapat berbagai macam benih untuk musim berikutnya, beserta nampan, keranjang penampi, dan keranjang… yang diletakkan di atasnya untuk mencegah rayap. Di antara benda-benda yang biasa digunakan, tetua desa Ma Hoa dengan hati-hati menurunkan kepala kerbau yang dikeringkan oleh asap dari dapur, cincin pengikat kerbau untuk para dewa (Krotonr bong kpao), dan tali rotan panjang yang digulung menjadi cincin.
Ia seakan terhanyut dalam kenangan saat memegang "benda-benda suci" dari upacara penikaman kerbau 20 tahun lalu. Ma Hoa mengenang: Kerbau kurban dipelihara oleh keluarga selama 3 tahun, dengan berat lebih dari 400 kg. Kepala kerbau kemudian disimpan di rak dapur. Cincin pengikat kerbau dianyam oleh saudara iparnya di hutan untuk mencari rotan tua dan membutuhkan waktu 3 hari 3 malam untuk menyelesaikannya. Tali rotan panjang digunakan untuk dililitkan di hidung kerbau dan ditarik dari halaman ke dapur - seperti tali yang menghubungkan para dewa dengan perapian keluarga.

Suku Jrai percaya bahwa dapur adalah ruang paling suci di rumah. Dengan demikian, api kehidupan tidak akan pernah padam, dan tungku akan selalu hangat sehingga pemilik rumah dapat hidup sejahtera dan damai.
Jika upacara penusukan kerbau dilakukan di rumah untuk berterima kasih kepada para dewa dan memohon kesehatan, upacara ini dilakukan di ladang untuk berterima kasih kepada Dewa Air. Upacara ini merupakan salah satu ritual penting bagi masyarakat Jrai karena mereka menganggap air sebagai sumber kehidupan.
Upacara penusukan kerbau keluarga Ma Hoa masih dikenang banyak orang karena pada kedua kesempatan tersebut, penduduk desa hadir dalam jumlah besar dengan membawa ratusan kendi arak beras untuk memeriahkan suasana. Oleh karena itu, upacara penusukan kerbau juga dianggap sebagai ajang pemersatu masyarakat, dan kegembiraan setiap individu menjadi kegembiraan bersama di desa.

Tak hanya menyelenggarakan penusukan kerbau, keluarga Ma Hoa juga menyelenggarakan berbagai festival dan upacara tradisional masyarakat Jrai. Jejak-jejak festival tersebut tak hanya terekam dalam cerita. Di luar dapur, tepat di atas cerobong asap, terdapat ratusan tulang rahang kerbau dan sapi berjejer - bukti adanya festival-festival tertutup seperti upacara meninggalkan makam, perayaan panjang umur, makan nasi baru...
Istri Ma Hoa, Ny. Ksor H'Dliap, menambahkan: Suatu tahun, hanya untuk upacara pemakaman ibunya, kerabat menyumbangkan hingga 57 ekor kerbau, sapi, dan babi. Ia menyimpan semuanya, menyimpannya di sekitar dapur. "Dapur adalah tempat terpenting di rumah. Saya menyimpannya agar di masa depan, anak-cucu saya akan mengetahui bagaimana kehidupan budaya kakek-nenek mereka berlangsung, sehingga mereka tidak akan melupakan akar dan tradisi budaya mereka. Jrai menganut matriarki, perempuan harus menjaga api tetap hangat, menyimpan guci, menyimpan kenangan keluarga, dan memastikan api tidak pernah padam," ujarnya.
Jika Ibu H'Dliap adalah orang yang menjaga api hangat dalam keluarga, Ma Hoa dipercaya oleh desa untuk menjaga "api" spiritual masyarakat.
Beliau adalah seorang tetua desa, anggota Partai dengan keanggotaan Partai selama hampir 40 tahun, dan telah memegang berbagai jabatan. Lencana, medali, sertifikat penghargaan, dan penghargaan yang terpajang di seluruh rumahnya merupakan bukti bahwa, di setiap jabatan, beliau telah memberikan kontribusi positif. Beliau dipercaya oleh penduduk desa atas kepiawaiannya dalam memobilisasi, tekadnya untuk menghapuskan adat istiadat yang buruk, dan perannya dalam pembangunan ekonomi .
Di rumah panjang yang masih menyimpan koleksi guci-guci berharga dan gong-gong kuno, Ma Hoa perlahan berkata: "Budaya harus dilestarikan, tetapi perayaan tidak boleh diselenggarakan secara megah dan mahal demi pembangunan ekonomi." Buktinya, setelah upacara penguburan makam ibunya dengan jumlah kerbau dan sapi terbanyak di daerah tepi Sungai Ia Mlah, ia harus mengadakan musyawarah desa untuk mengadvokasi kebijakan menabung.

"Selama 20 tahun terakhir, saya hanya dua kali menikam kerbau, yang berkaitan dengan acara-acara terpenting dalam keluarga. Tujuannya adalah untuk mempersatukan masyarakat dan melestarikan budaya tradisional. Namun kini upacara tersebut perlahan memudar. Saya berharap generasi mendatang, ketika melihat benda-benda suci yang tersimpan di bawah atap rumah panjang ini, akan terus melestarikan warisan budaya leluhur mereka," ujarnya.
Pohon kapuk di depan rumah panjang—tempat kerbau diikat untuk kurban bertahun-tahun lalu—kini menaungi keteduhannya, akarnya menancap kuat di tanah. Setiap musim, bunga kapuk bermekaran, mengenang berbagai perayaan meriah yang telah meninggalkan jejak dalam ingatan desa. Di tempat itu, sisa-sisa perayaan tersebut masih diam-diam mengingatkan orang-orang akan sebuah kawasan budaya yang unik dan magis di dataran tinggi yang megah.
Sumber: https://baogialai.com.vn/chuyen-quanh-gian-bep-nha-ma-hoa-post566319.html






Komentar (0)