Selama banjir bersejarah yang terjadi sejak 27 Oktober hingga sekarang, menara Cham di Phu Dien (Kelurahan Phu Vinh, Kota Hue ) telah terendam air dalam waktu yang lama. Pada suatu saat, menara tersebut hampir setengahnya terendam. Situasi ini telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan penduduk setempat tentang struktur kuno yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang besar di Vietnam yang terdampak serius oleh bencana alam dan banjir.
Dalam skala global , kisah Menara Phu Dien bukanlah satu-satunya. Banyak peninggalan kuno di berbagai negara telah terendam air, mungkin hanya sementara, tetapi terkadang selamanya. Dalam konteks tersebut, berbagai teknologi canggih membuka harapan baru bagi pelestarian peninggalan yang terendam air dalam jangka waktu lama.

Menara Phu Dien Cham telah lama terendam air. Foto: Hoang Anh Tuan / Surat Kabar Tien Phong.
Teknologi Modern – Harapan Baru bagi Relik yang Tergenang Air
Pertama-tama, pemindaian 3D dan teknologi rekonstruksi digital menjadi alat yang sangat diperlukan. Untuk relik yang rapuh atau terendam, penyelamatan langsung dapat menyebabkan kerusakan yang tak tergantikan. Berkat pemindaian laser atau pemindaian multi-sudut, para ahli dapat merekonstruksi bentuk, ukuran, dan struktur artefak secara akurat tanpa memindahkannya dari lokasi aslinya. Data yang diperoleh memungkinkan simulasi artefak secara virtual, yang dapat digunakan untuk penelitian, pameran, atau restorasi. Banyak proyek arkeologi bawah laut di Mediterania, terutama bangkai kapal Antikythera di Yunani, telah menerapkan teknologi ini untuk menyimpan data detail pada setiap fragmen, membantu para ilmuwan menyusun "gambaran masa lalu" tanpa khawatir akan risiko kerusakan objek aslinya.
Sejalan dengan itu, teknologi pengawetan dengan larutan polietilen glikol (PEG) – senyawa polimer ramah lingkungan – telah terbukti sangat efektif dalam menstabilkan struktur bahan organik yang terendam air dalam waktu lama, terutama kayu. Ketika kayu terendam terlalu lama, serat selulosanya terurai, sehingga rentan terhadap deformasi atau retak saat kering. PEG memiliki kemampuan untuk menembus jauh ke dalam struktur kayu, menggantikan air dengan zat penstabil, sehingga membantu objek mempertahankan bentuk aslinya. Kapal perang Swedia, Vasa, yang tenggelam pada tahun 1628 dan diselamatkan pada tahun 1961, merupakan contoh tipikal: pengabutan PEG selama puluhan tahun telah membantu kapal raksasa ini mempertahankan strukturnya yang utuh hingga saat ini, menjadi simbol pelestarian warisan bawah laut.

Teknologi pemindaian 3D dan rekonstruksi digital menjadi alat yang sangat penting dalam konservasi warisan. Foto: Lincoln Conservation
Pengeringan beku juga digunakan untuk artefak kulit, kertas, kain, dan kayu yang memiliki kadar air tinggi. Proses ini menghilangkan air dari material dengan menyublimkannya langsung dari es menjadi uap, sehingga mencegah penyusutan atau deformasi. Metode ini telah menyelamatkan ratusan dokumen kuno dan patung kayu dari situs arkeologi di Mesir dan Eropa Utara, di mana kelembapan dan mikroorganisme selalu menjadi ancaman potensial.
Dalam beberapa tahun terakhir, para ilmuwan juga telah meneliti penggunaan robot dan kecerdasan buatan dalam arkeologi bawah air. Robot selam yang dilengkapi sensor, kamera spektral, dan sistem sonar dapat mensurvei area ratusan meter di kedalaman yang sulit diakses manusia. AI akan menganalisis data gambar, mengidentifikasi objek bernilai arkeologi, dan bahkan memprediksi struktur yang terkubur di bawah lapisan lumpur. Pendekatan ini tidak hanya menghemat waktu tetapi juga meminimalkan gangguan terhadap lingkungan alam di sekitar relik tersebut.
Ketika teknologi menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini
Namun, menyelamatkan peninggalan bukan hanya soal teknologi, melainkan kombinasi pelestarian fisik dan pelestarian pengetahuan budaya. Dengan struktur kuno yang terendam air selama ribuan tahun, melestarikan kondisi aslinya terkadang mustahil. Oleh karena itu, museum dan lembaga penelitian mempromosikan penerapan realitas virtual (VR) dan realitas tertambah (AR) untuk "menghidupkan kembali" peninggalan di ruang digital. Pengunjung dapat memasuki versi virtual candi yang tenggelam atau mengagumi artefak yang sudah tidak ada lagi di dunia nyata. Teknologi ini tidak hanya membantu publik mengakses warisan budaya, tetapi juga menciptakan "salinan digital" yang dapat bertahan selamanya, bahkan ketika objek aslinya hancur seiring waktu.
Di masa depan, para ahli berharap kombinasi nanomaterial, kecerdasan buatan, dan bioteknologi akan membuka generasi baru metode konservasi. Beberapa lembaga penelitian Eropa sedang menguji bakteri "baik" yang dapat meregenerasi struktur batu kapur dan kayu lapuk, mengganti bagian yang rusak tanpa mengubah warna atau daya tahannya. Nanopartikel silika juga sedang diuji untuk memperkuat struktur keramik dan batu yang telah terendam air dalam waktu lama.
Secara keseluruhan, teknologi memainkan peran kunci dalam perjuangan untuk merebut kembali masa lalu dari tangan waktu dan air. Meskipun setiap peninggalan merupakan kasus unik yang membutuhkan solusinya sendiri, poin utamanya adalah: umat manusia memiliki alat yang semakin canggih untuk mendengarkan, memulihkan, dan menceritakan kisah yang terkubur selama ribuan tahun. Dan dalam perjalanan itu, teknologi bukan hanya sarana untuk menyelamatkan warisan, tetapi juga jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini – membantu peninggalan berusia ribuan tahun ini untuk tetap hidup dalam ingatan manusia saat ini.
Sumber: https://khoahocdoisong.vn/cong-nghe-dot-pha-giu-gin-di-san-co-duoi-nuoc-truoc-tac-dong-thien-nhien-post2149066927.html






Komentar (0)