Tren ini tidak hanya memberikan tekanan keuangan yang besar pada sekolah swasta, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran tentang keseimbangan dan keberlanjutan sistem pendidikan tinggi nasional.
Sistem pendidikan tinggi swasta Indonesia menghadapi krisis paling serius dalam beberapa tahun terakhir, dengan jumlah pendaftaran diperkirakan akan anjlok hingga 28% pada tahun 2025.
Alasan utamanya diduga karena meluasnya program “jalur mandiri” – jalur penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri yang memungkinkan calon mahasiswa diterima tanpa mengikuti ujian nasional, dengan syarat mereka bersedia membayar biaya kuliah yang tinggi.
Menurut Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI), saat ini terdapat hampir 3.000 perguruan tinggi swasta, sementara perguruan tinggi negeri hanya 125 di seluruh Indonesia. Namun, meskipun menampung 80% dari seluruh mahasiswa, perguruan tinggi swasta hanya menerima sekitar 5% dari anggaran negara yang dialokasikan untuk pendidikan. Dalam kurun waktu dua tahun 2023-2024, 23 perguruan tinggi swasta terpaksa tutup, dan 80 perguruan tinggi lainnya menghadapi risiko yang sama akibat kekurangan mahasiswa, dosen, dan fasilitas standar.
"Jalur mandiri telah mengubah lanskap penerimaan mahasiswa baru secara signifikan. Jalur ini memungkinkan mahasiswa untuk kuliah di perguruan tinggi negeri bergengsi, asalkan mereka memiliki kemampuan finansial," ujar dosen Desi Sommaliagustina dari Universitas Andalas (Padang).
Hal ini menyebabkan banyak siswa yang awalnya ingin belajar di sekolah swasta beralih ke sekolah negeri, meskipun biayanya serupa. Sekolah negeri dianggap memiliki reputasi dan peluang karier yang lebih baik, sehingga membuat sekolah swasta kurang menarik.
"Di Yogyakarta, tahun ini saja ada 12 perguruan tinggi swasta yang tutup. Jalur mandiri perguruan tinggi negeri sangat merugikan sistem swasta," kata Achmad Nurmandi, rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Menurut Dr. Ricky Agusiady dari Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI), ekspansi perguruan tinggi negeri yang tak terbatas membuat persaingan menjadi “berat sebelah” dan tanpa alokasi anggaran yang adil, perguruan tinggi swasta akan kolaps secara massal.
Situasi ini semakin diperparah oleh generasi mahasiswa baru (Gen Z) yang lebih mengutamakan pembelajaran keterampilan praktis daripada teori akademis. "Banyak mahasiswa memilih pelatihan keterampilan jangka pendek, pembelajaran daring, atau kamp pelatihan alih-alih kuliah. Semakin banyak perusahaan yang tidak lagi mensyaratkan gelar sarjana," ujar analis pendidikan Muhammad Arif dari Universitas Islam Syarif Hidayatullah (Jakarta).
Platform digital yang menawarkan kursus singkat, berbiaya rendah, dan bersertifikasi karier dengan cepat menjadi alternatif bagi universitas tradisional. Tren ini mengakibatkan krisis keuangan yang parah di sekolah-sekolah swasta.
Untuk mempertahankan operasionalnya, sebuah sekolah swasta membutuhkan setidaknya 5.000 siswa, tetapi sebagian besar kini hanya memiliki setengahnya. Mengurangi biaya kuliah untuk menarik mahasiswa juga bukan solusi, karena biaya operasional mulai dari gaji dosen, listrik, air, hingga fasilitas tetap sama.
Menghadapi risiko ini, Anggota Parlemen Lita Machfud Arifin telah meminta Kementerian Pendidikan Indonesia untuk menetapkan batasan jumlah siswa yang direkrut melalui jalur mandiri, untuk memastikan keseimbangan antara sektor publik dan swasta.
"Semakin sedikit mahasiswa berarti pendapatan semakin berkurang, sementara dosen di perguruan tinggi swasta tetap harus mengajar, meneliti, dan mempublikasikan karya ilmiah seperti di perguruan tinggi negeri. Banyak yang telah meninggalkan profesi mengajar. Tanpa bantuan, Indonesia akan menghadapi kekurangan intelektual dan pemikir di masa depan," ujar Dr. Ricky Agusiady dari Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI).
Sumber: https://giaoducthoidai.vn/dai-hoc-tu-thuc-indonesia-doi-mat-nguy-co-dong-cua-post754467.html






Komentar (0)