Di banyak ruas jalan dekat Jembatan Ben Loi (wilayah Dong Hoa), lumpur tebal menutupi seluruh area, erosinya sedalam muara sungai yang menganga setelah badai dahsyat. Namun, di lapisan tanah tersebut, orang-orang dapat melihat jejak kaki kecil anak-anak.
Anak-anak berangkat ke sekolah di jalanan yang dipenuhi dedaunan busuk, pecahan kayu, bambu basah, dan bahkan atap seng yang hanyut entah ke mana.
Seorang anak memakai sandal yang rusak, seorang lagi bertelanjang kaki karena sandal kecilnya tersapu banjir.
Anak yang berbaju putih itu telah berubah warna menjadi seperti tanah liat, memegang tas sekolah yang terbungkus kantong plastik, seolah-olah memegang harta karun yang rapuh.
Sosok anak-anak itu kecil di tengah ruang yang luas dan kacau, tetapi dalam setiap langkahnya ada sesuatu yang sangat tangguh.
![]() |
| Mahasiswa Universitas Tay Nguyen memberi semangat kepada mahasiswa yang terkena dampak banjir untuk mengatasi kesulitan dalam studi mereka. |
Sekolah-sekolah di banyak tempat belum dibersihkan; ruang kelas masih dipenuhi lumpur tebal di bawah dinding, jendela-jendela berlumut, dan meja serta kursi miring. Namun, anak-anak tetap bersekolah. Mereka tidak peduli ruang kelas mereka tidak bersih, papan tulis belum dibersihkan, atau buku-buku masih belum kering setelah beberapa hari dijemur. Mereka hanya tahu bahwa "bisa bersekolah" setelah banjir adalah hal terpenting.
Di wilayah barat provinsi, jalan menuju sekolah pascabanjir juga tak kalah sulit. Jalan menuju komune Cu Pui terbelah dalam bak parit oleh air dan harus segera ditimbun dengan tanah. Ruas jalan dari pusat komune Krong Bong menuju komune Hoa Son tergenang batu-batu yang menggelinding dari hulu, membentuk gundukan-gundukan besar. Sungai-sungai kecil di dekat komune Yang Mao yang dulunya hanya perlu diseberangi dengan berjalan kaki kini masih meluap. Namun, anak-anak tetap berjuang keras untuk sampai ke sekolah. Beberapa terpaksa menyusuri tepian batu, sementara yang lain mengambil jalan memutar melewati perkebunan kopi agar bisa sampai di kelas tepat waktu.
Ketika sinar matahari awal musim dingin menyinari halaman sekolah, deretan meja dan kursi yang basah diletakkan rapi di sudut dinding oleh orang dewasa, mengeringkannya.
Para guru, orang tua, tentara, dan milisi duduk bersama, membersihkan papan tulis dan mengumpulkan buku catatan basah untuk dikeringkan. Lalu, ketika sekolah dibuka kembali, suara-suara yang familiar itu tiba-tiba berubah menjadi musik yang paling hangat.
Suara sandal jepit di lantai semen berlumpur, suara dedaunan kering yang jatuh diinjak, suara meja dan kursi yang dipindahkan, suara guru yang sedang merapikan buku pelajaran baru… semua berpadu menciptakan irama kehidupan baru bagi tanah yang baru saja selamat dari badai dan banjir.
Anak-anak itu, meskipun masih kurus kering setelah bermalam-malam tanpa tidur melawan banjir bersama orang tua mereka, tetap duduk tegak, mata mereka berbinar-binar bak bintang. Mereka membuka buku catatan mereka yang kusut dan menulis setiap barisnya. Jika alam dapat menghancurkan sebuah jalan, maka baris-baris tulisan itu telah membuka jalan lain – jalan harapan dan pengetahuan.
Jalan menuju sekolah pascabanjir bukan sekadar perjalanan sederhana. Melainkan perjalanan kembali keimanan. Jejak setiap anak di lumpur membawa kehangatan masa depan. Tanah-tanah yang atapnya tersapu banjir, ternaknya mati, panennya rusak... masih berdiri kokoh karena ada anak-anak seperti mereka - yang tahu cara menaklukkan lumpur untuk mencari ilmu, yang tahu cara menggunakan mata jernih mereka untuk meredakan duka seluruh keluarga, yang tahu cara membuat pagi pascabanjir terasa ringan. Karena itu, jalan menuju sekolah pascabanjir bukan sekadar jalan untuk anak-anak. Jalan itu adalah jalan seluruh tanah air, detak jantung kehidupan, dan bukti bahwa setelah melewati bahaya, selalu ada jalan untuk memulai kembali.
Sumber: https://baodaklak.vn/xa-hoi/202512/duong-den-truong-sau-lu-58706ce/











Komentar (0)