Dari rumah di lingkungan itu, suara pertengkaran pasangan muda itu kembali menggema. Ia menahan napas, kembali ke rumah, dan berhenti di depan cermin berdiri. Cahaya kuning lembut menyinari wajah seorang wanita yang hampir berusia empat puluh tahun. Kulitnya halus dan cerah, hidungnya tinggi di atas bibirnya yang ditato dengan cermat menggunakan teknologi tinggi. Sejak kecil, ia diam-diam bangga akan kecantikannya, dan kecantikan itu semakin menarik ketika ia melahirkan Bon. Namun entah mengapa, hari ini ia melihat di cermin seorang wanita yang sedih dengan mata dan sikap yang memancarkan kesedihan yang menyedihkan. Mungkin karena serangkaian konferensi yang padat, setiap malam ketika ia pulang, jarum jam baru menunjukkan pukul 11 malam. Ia hanya sempat menghapus riasannya dengan cepat, lalu ia menghempaskan diri di tempat tidur dan tertidur dalam aroma parfum yang masih melekat.
Ia kembali ke balkon dan memandang ke jalan. Hujan telah reda. Orang-orang bergegas berlalu. Pasangan yang baru saja bertengkar itu kini telah berbaikan dan mengendarai sepeda motor tua, putri kecil mereka yang bergaun merah muda tersenyum dan berceloteh. Ia melihat kebahagiaan di wajah mereka masing-masing.
Ia memiliki keluarga, istri yang baik, dan ibu yang baik hingga ia tiba-tiba menyadari bahwa ia belum menjadi sosok yang ia harapkan semasa muda. Di cermin, ia hanya seorang perempuan yang berantakan dan kelelahan karena kurang tidur, seorang perempuan yang lusuh dengan celana olahraga usang. Segalanya perlahan mendorongnya kembali ke dalam kegelapan.
Ia memutuskan untuk sementara waktu meninggalkan kehidupan pernikahannya, banyak orang yang mengetahui kisahnya menyalahkannya karena keegoisan. Ia diam-diam menerima semua penilaian kerabat dan teman. Tak seorang pun tahu bahwa ia ingin hidup dengan tulus, bukan hanya sekadar menjalani kehidupan pernikahan. Ia merasa perlu belajar mencintai dirinya sendiri lagi. Suaminya mendengarkan cerita istrinya, dengan lembut menerima dan mengatakan bahwa itu sebagian salahnya, hanya menawarkan untuk membiarkannya membesarkan Bon sekarang karena ia memiliki karier yang stabil, dapat meluangkan waktu untuk menyekolahkan anak itu, sehingga ia dapat meluangkan waktu untuk pekerjaan dan karier yang telah lama ia tinggalkan.
Maka ia memutuskan untuk memulai kembali. Hal pertama yang ia lakukan adalah merawat penampilannya yang cantik. Dalam sekejap, ia mendapatkan kembali bentuk tubuhnya yang ramping. Ia kembali menjadi wanita karier yang cerdas, cerdas, dan menarik. Namun terkadang, setelah pesta-pesta yang gemerlap, ia akan pulang sendirian untuk berbaring, pikirannya kosong, bertanya-tanya apakah dunia yang baru saja ia lewati itu nyata atau tidak?
Jam berdentang delapan kali. Ia duduk di meja rias, menyisir rambutnya, lalu membuka lemari pakaian dan dengan ragu memilih gaun desainer abu-abu sederhana dengan beberapa sulaman bunga putih di kerahnya. Di lobi konferensi, ia muncul dengan anggun. Masih tersenyum menawan dan percaya diri, ia mengambil alih pekerjaannya. Konferensi diakhiri dengan jamuan makan malam gala. Ia meninggalkan ruangan di tengah dentingan gelas dan pujian yang telah diprogram…
Semua kesenangan pasti berakhir. Tamu-tamu terakhir bergegas pulang. Ia melihat mereka, para pria yang tadinya ramah dan sopan, kini bergegas pergi seolah-olah kulit luar mereka telah dilucuti dan ditinggalkan. Mereka bergegas pulang setelah menerima telepon dari rumah.
Ditinggal sendirian, ia menatap langit. Kota di malam hari, bintang-bintang berkelap-kelip, menyilaukan dan megah. Angin berhembus menerpa jalanan. Ia melangkah perlahan menyusuri jalanan yang sudah dikenalnya, dipenuhi kapur barus. Di malam hari, pepohonan di pinggir jalan menggelap di bawah lampu, hitam dan dingin. Tiba-tiba, ia menggigil. Seketika, ia berhenti. Mimpi tentang sebuah rumah mungil dengan teralis bugenvil di depan halaman, tempat ia membuat kopi untuk suaminya setiap pagi, tempat ia sibuk mempersiapkan anaknya untuk sekolah. Di sana juga, terdengar suara anaknya memanggil ibunya dengan riang dan penuh kerinduan setiap sore dari ujung gang, sepulang sekolah suaminya menjemputnya dari taman kanak-kanak...
Mimpi itu begitu lama hingga ia merasa seperti berubah menjadi wanita bodoh. Setiap kali ia mengingatnya, ia segera menyimpannya dalam-dalam di laci kenangan, agar ia tak perlu mengingatnya lagi...
Hujan gerimis, lalu turun deras seakan ingin menyapu seluruh kota. Kakinya membawanya menembus hujan yang gelap. Beberapa lampu mobil berkelebat, permukaan jalan berkilauan bagai cermin, sesekali memercikkan air ke gaun abu-abunya. Beberapa orang berlalu-lalang, jas hujan mereka diturunkan, tetapi tak seorang pun memperhatikan perempuan yang berjalan sendirian di jalan. Tetesan air hujan menerpa wajahnya hingga terasa perih, ia mengulurkan tangan untuk menghapusnya, tersenyum tipis... Benar! Mungkin mimpi lama itu telah kembali. Untuk pertama kalinya setelah sekian tahun, ia merasakan mimpi itu dengan jelas di dalam dirinya.
Bayangan di jalan terasa panjang dan sunyi. Ia terus berjalan perlahan. Hujan dingin membasahi bajunya dan merayapi kulitnya, tetapi ia hanya merasakan kehangatan yang tiba-tiba merayap masuk bagai api yang baru menyala, menghangatkan jiwanya. Di sana, rumah dengan teralis bugenvil masih memancarkan cahaya yang berkelap-kelip. Langkahnya melambat. "Kau sudah tidur sekarang, kan, Bon?" bisiknya.
Malam berangsur-angsur berganti pagi. Ia masih berdiri di sana, tanpa sadar memandangi cahaya yang turun dari rumah dengan teralis bugenvil yang sedang mekar sempurna. Teralis itu ditanam sendiri olehnya ketika suaminya kembali dari perjalanan bisnis, dan hadiah untuk istrinya adalah tanaman bugenvil rapuh yang dicangkok dari akarnya. Hari demi hari... hari demi hari... teralis itu tumbuh seiring bertambahnya usia Bon. Hingga suatu hari, memandangi teralis yang sedang mekar sempurna, ia tiba-tiba merasa dirinya berubah...
Dari balkon, bayangan seorang pria di dalam rumah melangkah keluar, menatap langit tanpa sadar. Lalu, ketika ia membungkuk, matanya tiba-tiba tertuju pada bayangan seorang wanita yang berdiri di bawah pohon kamper. Pria itu bergegas menuruni tangga, membuka gerbang, dan berlari menuju pohon yang familiar itu. Namun, tidak ada seorang pun di sana.
Kembali di apartemen, ia terjaga semalaman. Berdiri di depan cermin, ia menatap lekat-lekat wajah perempuan yang terpantul di sana. Kulitnya yang mulus dan cerah, batang hidungnya yang tinggi di atas bibir yang ditato dengan cermat. Namun malam ini, ia tiba-tiba menyadari bahwa samar-samar di wajah itu terpancar raut lembut dan penuh kerinduan seorang ibu. "Bon! Besok, Ibu akan menjemputmu di sekolah!" bisiknya...
Malam semakin larut. Dari kebun seseorang, aroma laurel tercium. Intens...
Cerita pendek: VU NGOC GIAO
Sumber: https://baocantho.com.vn/nguoi-dan-ba-trong-guong-a190849.html
Komentar (0)