Kesibukan membuat mereka terus maju. Pekerjaan, semua orang ingin cepat selesai. Orang-orang ingin pulang, mengerjakan ini dan itu dengan cepat, lalu berbaring. Berbaring saja. Untuk menenangkan punggung yang pegal dan kaki yang lelah.
Aku juga pelupa. Aku memikirkan apa yang kulakukan saat berbelanja, memikirkan apa yang perlu kubeli saat pindah, memikirkan buku yang kubaca saat berkendara ke kantor. Kepalaku penuh dengan pikiran yang terfokus pada masa depan. Terkadang, pikiran itu terjebak di masa lalu. Aku tidak benar-benar memikirkan apa yang kulakukan, di saat ini. Aku sibuk, dan aku menggunakannya sebagai alasan untuk berpura-pura melupakan sesuatu. Lupa menyiram tanaman, membiarkan pot-pot keramik cantik yang susah payah kucari merana karena bagian-bagiannya yang layu. Lupakan tentang membeli ikan baru, akuariumnya berdebu dan ada alga kering yang menempel di dasarnya. Lupakan tentang pergi ke kebun binatang, pergi ke taman. Lupakan tentang melakukan sesuatu untuk diriku sendiri.
Hingga suatu hari, aku tak lagi punya tenaga untuk menyetir pulang. Aku naik ojek, duduk di belakang sopir, dan terdiam. Di saat-saat langka ketika ada yang mengantarku seperti ini, aku biasanya menghabiskan waktu memikirkan urusan yang belum selesai. Tapi hari ini, aku membiarkan pikiranku rileks, membiarkannya terbang bagai layang-layang yang diterpa angin. Layang-layang pikiran itu pun lepas landas. Aku melihat sekeliling dan melihat seorang perempuan duduk di belakang laki-laki itu, motor mereka sejajar dengan motorku. Ia sedang merekam sesuatu, tampak sangat bahagia. Aku hanya mencoba melihat. Dan aku kewalahan.
Matahari mulai terbenam. Langit tampak keemasan. Sinar ungu dan biru tua berpadu, mempertegas warna kuning. Bahkan ada bintik-bintik merah yang melebur menjadi merah muda. Di depan mataku, alam melukiskan lukisan penuh warna. Warna-warnanya terus berganti. Setiap menit berlalu, warna-warna itu pun berganti, langit perlahan menggelap.
Andai aku tak mendongak, tentu saja aku akan melewatkan momen indah itu. Aku bahkan tak tahu apa yang kulewatkan. Aku akan terus berlari, dengan segala pikiranku, melupakan segala hal di sekitarku. Melupakan angin sehabis hujan, membasahi kulitku, membelainya, membuatnya sedikit gemetar. Melupakan pohon-pohon apel bintang di sisi kiri jalan, yang mulai matang kecokelatan, berguguran, berputar-putar seolah menari. Melupakan pohon Lagerstroemia kecil di sudut jalan, setinggi manusia, yang mekar ungu seolah bermahkota.
Alam tampaknya masih hijau dalam diam, mekar dalam diam, menunggu orang-orang melihatnya. Sepertinya masih ada hal-hal yang diam-diam menunggu kita di suatu tempat di luar sana. Kita hanya perlu melihat ke atas. Kita hanya perlu menyadari. Kita hanya perlu memperlambat langkah.
Aku menggali tanah di dalam pot-pot yang telah layu, berencana membeli benih baru. Dari tanah yang kering, ketika benih-benih hitam berhamburan, tunas baru itu membuka daun-daun kecilnya untuk menatapku. Ia telah menunggu di sini, menungguku melihatnya, menunggu untuk minum air dingin. Anehnya, aku tiba-tiba teringat, sudah lama sejak aku menelepon ke rumah…
Mengesampingkan semua kekacauan yang kutahu tak masalah untuk terlambat beberapa hari, kuhadiahi diriku sendiri dengan tidur lebih awal. Aku akan menata hidupku ke arah yang berbeda. Terbangun bersama fajar, kukenakan sepatuku, karena tak cukup kuat, aku tak berlari, hanya berjalan. Di kedua sisi jalan, pepohonan menyambutku dengan desiran angin. Bunga melati seseorang sedang mekar, aromanya masih tercium bagai kado yang dibungkus rapi, menunggu untuk diberikan kepada seseorang yang tahu cara mencintaiku. Mendongak, fajar seakan telah menanti, membawa warna harapan.
Sumber: https://thanhnien.vn/nhan-dam-dieu-gi-do-dang-doi-minh-185251004192102648.htm
Komentar (0)