Setiap hari, di tengah hiruk pikuk kehidupan di kota yang jaraknya lebih dari seratus kilometer dari rumah, saya masih menemukan kebahagiaan dalam pekerjaan, hubungan dengan rekan kerja, dan ritme kehidupan yang penuh warna. Jauh dari rumah, saya selalu merasakan kasih sayang keluarga, dan satu hal yang menghangatkan hati saya ketika mengenangnya adalah pergi ke sekolah bersama putri kecil saya setiap hari. Sederhana, tetapi itu adalah kebahagiaan yang selalu saya hargai.
Selama 12 tahun, sejak anak saya pertama kali masuk taman kanak-kanak, saya dan ayah saya selalu pergi ke sekolah bersama setiap hari. Setiap pagi, ketika sinar matahari pertama masih menyinari pepohonan di depan gang, anak saya berceloteh tentang tiga lagu baru yang baru dipelajarinya, terkadang tentang teman yang diingatkan guru, atau teman yang membawa mainan aneh. Sedangkan saya, sang kusir "kuda besi" yang familiar, saya hanya diam mendengarkan anak saya berbicara, merasa hangat di dalam hati. Ketika saya tiba di gerbang sekolah, saya dengan lembut membetulkan tali tas sekolah saya, memakaikan topi anak saya, dan mengucapkan kata-kata yang familiar: "Jadilah anak yang pintar di sekolah!" Anak saya berbalik dan tersenyum cerah, senyum sejernih matahari pagi, memberi saya begitu banyak energi, menyalakan harapan dalam diri saya untuk hari baru yang indah.
Sore harinya, saya berdiri menunggu anak saya di bawah pohon srikaya tua di depan gerbang sekolah. Sinar matahari menembus dedaunan, menaburkan kilau keemasan di bahu saya. Saat anak saya berlari ke arah saya, berteriak "Ayah!" dengan jelas, itulah saat saya merasa hidup saya begitu penuh. Hanya melihat senyum itu, semua kesulitan dan kekhawatiran hari itu terasa ringan.
Mengantar anak saya ke sekolah bukan hanya sebuah tanggung jawab, berbagi pekerjaan dengan istri saya, tetapi juga sebuah sukacita, anugerah rohani yang saya berikan kepada diri saya setiap hari. Itulah saatnya ayah dan anak berbincang, berbagi hal-hal kecil tentang kelas, teman, dan kisah masa kecil yang polos. Di saat-saat yang tampak normal itulah saya lebih memahami dunia anak saya—dunia yang murni dan penuh mimpi; anak saya juga merasakan kasih sayang dan perhatian ayahnya.
Kini, anak saya sudah kelas 10. Pagi-pagi sekali, saya tak bisa lagi mengantarnya ke sekolah dengan mobil tua, tak lagi mendengar kicauannya di telinga. Di tengah kesibukan pekerjaan, saya jarang punya kesempatan pulang, jarang sekali berjalan bersamanya di jalan yang sudah dikenalnya sejak beberapa tahun lalu. Namun dalam hati, saya masih percaya bahwa, meskipun saya jauh, saya tetap "menjemput dan mengantar" anak saya dengan cinta, kepercayaan, dan kata-kata lembut yang terkirim di setiap panggilan telepon dan pesan teks.
Di masa depan, kamu akan melangkah lebih jauh, terbang lebih tinggi, tetapi aku tahu bahwa dalam perjalanan itu, kamu akan selalu membawa kenangan indah pagi-pagi bersama ayahmu dan mobil tua itu, tentang suara hangat yang berkata, "Jadilah anak baik saat berangkat ke sekolah!". Memikirkannya saja, hatiku terasa damai dan bahagia, seolah-olah aku masih bersekolah bersamamu setiap hari.
Nguyen Van
Sumber: https://baodongnai.com.vn/van-hoa/202510/niem-hanh-phuc-gian-di-cua-ba-ef50e76/






Komentar (0)