Untuk mendapatkan kain indigo yang warnanya merata, awet, dan tidak mudah pudar seiring waktu, merupakan proses manual yang membutuhkan keterampilan, ketelitian, dan kerja keras para wanita.
Setiap tahun sekitar bulan Juli dan Agustus, saat tanaman nila tumbuh bergerombol di tepi sungai, para ibu-ibu akan menyusuri sungai untuk mengumpulkan daun nila, mencucinya, merendamnya selama 3-4 hari, lalu meniriskan airnya. Air nila tersebut akan dicampur dengan air gio dapur (air yang mengalir melalui bakul berisi gio dapur) dengan perbandingan tertentu (2 air nila berbanding 1 air gio), ditampung dalam toples. Setelah air pewarna tercampur, setiap helai kain putih dimasukkan ke dalam toples dan dikocok hingga rata. Kain dikeluarkan, diperas, dan dipuk-puk agar warnanya meresap hingga ke dalam setiap serat. Ini merupakan langkah pertama, kain tidak perlu dicuci melainkan langsung dikeringkan. Mulai hari kedua, kain setelah diwarnai dan dipuk-puk akan dicuci dan dikeringkan. Proses ini berlangsung selama 7 hari, apabila kain sudah memiliki warna yang indah dan tidak luntur saat dicuci, maka selesailah proses tersebut.
Terlihat bahwa pewarnaan indigo membutuhkan banyak langkah, yang memakan waktu hampir dua minggu. Setiap tahun, para perempuan hanya akan mewarnai kain selama dua bulan. Setelah mewarnai kain, September dan Oktober adalah bulan-bulan santai bertani, dan para perempuan dari berbagai generasi keluarga akan berkumpul di sekitar api unggun, di bawah teras, mengobrol, dan menjahit.
Setiap helai kain nila akan dipotong, dijahit, dan disulam dengan pola serta motif menjadi produk-produk yang familiar dan tak terpisahkan dalam kehidupan budaya dan spiritual, seperti selendang Piêu, ikat pinggang, kemeja, dan sebagainya. Berkat kecerdikan, kerja keras, dan ketekunan para perempuan, pola serta motif yang berwarna-warni dan menarik pada latar belakang kain nila gelap menjadi semakin menonjol, menggambarkan dengan jelas tradisi budaya dan ciri khas suku Thai Che Can yang telah lama ada.











Sumber
Komentar (0)