Dalam draf yang dirilis untuk komentar, ketentuan yang telah menarik perhatian besar dari komunitas bisnis adalah: ketika proyek telah mencapai kesepakatan untuk mengalihkan hak penggunaan tanah untuk lebih dari 75% wilayah dan lebih dari 75% rumah tangga, tetapi tenggat waktu atau periode perpanjangan belum menyelesaikan kesepakatan, Dewan Rakyat Provinsi dapat mempertimbangkan untuk mereklamasi tanah yang tersisa untuk diserahkan kepada investor untuk melanjutkan pelaksanaan proyek.
Mekanisme "kesepakatan" merupakan langkah penting untuk memasarkan hubungan pertanahan: perusahaan bernegosiasi dengan masyarakat secara langsung, sementara negara tidak melakukan intervensi administratif. Mekanisme ini membantu banyak proyek untuk diimplementasikan lebih cepat, mencerminkan nilai riil tanah di pasar. Namun, pada kenyataannya, banyak proyek hanya mencapai 70-80% persetujuan, sisanya "terjebak" dengan beberapa rumah tangga yang tidak setuju, menyebabkan proyek mandek dan biaya sosial meningkat.
Oleh karena itu, regulasi yang memperbolehkan reklamasi lahan yang tersisa setelah mencapai lebih dari 75% wilayah dipandang sebagai langkah perantara antara dua mekanisme: negosiasi pasar dan reklamasi negara sesuai perencanaan. Hal ini membuka peluang bagi ratusan proyek infrastruktur, kawasan industri, dan kawasan perkotaan untuk kembali beroperasi—sesuatu yang sangat dibutuhkan perekonomian untuk mencapai target pertumbuhan dua digit di tahun-tahun mendatang.
Namun, layaknya kebijakan terobosan lainnya, ketentuan ini membuka peluang sekaligus mengandung risiko. Menurut rancangan Resolusi, ketika Negara mereklamasi sisa lahan, dasar perhitungan kompensasi didasarkan pada harga tanah dalam daftar harga tanah dan koefisien penyesuaian harga tanah. Dengan demikian, dapat timbul situasi: harga yang disepakati oleh perusahaan kepada masyarakat adalah harga pasar, sehingga akan terjadi selisih harga yang besar dari harga tanah dalam daftar harga tanah. Hal ini dapat menimbulkan keluhan dari masyarakat, yang dapat menghambat dan memperpanjang pelaksanaan proyek.
Solusi yang lebih masuk akal yang diusulkan oleh Federasi Perdagangan dan Industri Vietnam adalah menempatkan Negara sebagai perantara antara perusahaan dan masyarakat untuk menegosiasikan harga. Jika kesepakatan masih belum tercapai, Negara akan melanjutkan proses reklamasi lahan.
Pendekatan ini menjaga transparansi sekaligus menjamin hak-hak yang sah bagi masyarakat dan investor. Agar model "Negara sebagai perantara" dapat beroperasi secara efektif, diperlukan kerangka hukum yang jelas, yang mendefinisikan lembaga yang bertanggung jawab atas negosiasi, prosesnya, jumlah putaran negosiasi, dan tenggat waktu, sehingga menghindari formalitas atau perpanjangan prosedur. Negara juga dapat menyelenggarakan negosiasi tripartit, dengan melibatkan lembaga penilai independen dan perwakilan pemerintah daerah. Oleh karena itu, diperlukan sistem penilaian tanah yang independen dan profesional untuk menjamin objektivitas dan mencegah kepentingan kelompok. Selain itu, mekanisme pemantauan dengan melibatkan badan-badan terpilih, Front Tanah Air , dan sebagainya, juga memainkan peran yang sangat penting.
Pemulihan lahan setelah mencapai 75% dari kesepakatan dapat membantu menyelesaikan masalah yang telah lama direnungkan oleh para pelaku bisnis, tetapi juga berdampak pada masyarakat yang lahannya dipulihkan. Oleh karena itu, badan yang menyusun Resolusi perlu terus memperhitungkan pilihan kebijakan secara cermat untuk memastikan keseimbangan kepentingan antara para pihak, membantu pemanfaatan lahan secara lebih efektif, dan berkontribusi pada pembangunan negara.
Sumber: https://daibieunhandan.vn/thu-hoi-dat-khi-dat-75-thoa-thuan-va-bai-toan-can-bang-loi-ich-10394004.html






Komentar (0)