Mimpi dan kenyataan pahit
Pada tahun 2020, Sharon Ward, 44, dan suaminya Mike, 46, dari Selandia Baru, meninggalkan kehidupan stabil mereka di Dubai untuk memulai perjalanan keliling dunia bersama kedua putri mereka (usia 5 dan 8 tahun). Namun, kenyataan dengan cepat berubah menjadi pahit ketika mereka harus hidup sepenuhnya dari tabungan mereka.
Kebiasaan hidup hemat mereka memaksa mereka untuk tinggal di akomodasi murah dan tidak layak untuk anak-anak. Pada suatu waktu, dua gadis harus berbagi tempat tidur di asrama di Marrakech (Maroko), atau seluruh keluarga berempat berdesakan di tempat tidur susun di Turki. Ketika uang habis, mereka harus melakukan pekerjaan kasar untuk membayar tempat tinggal, sambil juga mengajari anak-anak mereka dan mengelola pengeluaran sehari-hari sendiri.
"Apa yang seharusnya menjadi tahun relaksasi secara bertahap berubah menjadi beban berat," cerita Sharon. Perjalanan terus-menerus, pengepakan, dan pencarian makanan membuat mereka tidak punya waktu untuk beristirahat.

Dampak psikologis pada anak-anak
Perubahan yang terus-menerus berdampak paling negatif pada anak-anak. Putri bungsu Sharon menjadi mudah marah dan kesal setiap kali mereka pindah ke tempat baru. Banyak rencana harus dibatalkan, dan keluarga harus tinggal selama berbulan-bulan hanya agar anak tersebut dapat pulih secara emosional.
Krisis mencapai puncaknya pada musim panas 2022 di Maroko. Di bawah terik matahari Gurun Sahara yang mencapai 40°C, tanpa akses air bersih atau pendingin udara, suami dan kedua anak Sharon jatuh sakit satu demi satu. "Untuk pertama kalinya, saya bertanya-tanya apakah saya membahayakan anak-anak saya," ratapnya. Setelah cobaan ini, mereka memutuskan untuk pindah ke Bali, Indonesia, dan mendaftarkan anak-anak mereka di sekolah internasional untuk mencari stabilitas.
Sisi gelap gaya hidup nomaden digital.
Kasus Sharon bukanlah kasus yang unik. Saat ini ada sekitar 40 juta orang di seluruh dunia yang menjalani gaya hidup "nomad digital". Gaya hidup ini terkait dengan konsep "worldschooling" —mendidik anak-anak melalui pengalaman perjalanan—dan dipromosikan secara luas di media sosial dengan gambar-gambar yang indah.
Namun, survei yang dilakukan oleh Bunq Bank (Belanda) terhadap 4.729 pekerja digital nomaden mengungkapkan bahwa 38% mengalami masalah kesehatan mental. Kesepian, kurangnya dukungan komunitas, dan tekanan bekerja lintas zona waktu adalah masalah umum. Beban ini semakin berat ketika ada anak-anak kecil juga.

Kisah Keluarga Davis
Keluarga Josy dan Joe Davis, 35 tahun, dari Gloucestershire, Inggris, adalah contoh lainnya. Pada akhir tahun 2023, mereka menjual rumah mereka, mengeluarkan kedua anak mereka (usia 4 dan 6 tahun) dari sekolah, dan memulai perjalanan, berharap untuk melarikan diri dari rutinitas kerja yang melelahkan.
Setelah hanya beberapa minggu, kebebasan berubah menjadi sesak napas karena seluruh keluarga harus bersama 24/7 tanpa jadwal tertentu. Di Sri Lanka, meskipun ada upaya untuk menjaga pendidikan anak-anak tetap berjalan, lingkungan yang asing dan makanan yang tidak menggugah selera sering membuat mereka kelelahan.
Tragedi besar menimpa mereka saat berada di Thailand: Joe menerima kabar kematian mendadak ayahnya. Setelah bergegas kembali ke Inggris untuk pemakaman dan kemudian kembali ke Sri Lanka, mereka menyadari semuanya telah berantakan. Putri sulung mereka kehilangan minat untuk berpetualang, dan ketika ditanya tentang tujuan mereka selanjutnya, kedua anak itu hanya ingin "pulang ke rumah."
Pada bulan Juli, setelah melakukan perjalanan melalui tujuh negara dengan 14 penerbangan, keluarga Davis memutuskan untuk kembali ke Inggris. "Kehidupan nomaden tidak semewah yang terlihat di Instagram. Anak-anak tetaplah anak-anak, di mana pun Anda berada," pungkas Josy.
Sumber: https://baodanang.vn/vo-mong-om-con-di-khap-the-gioi-ap-luc-va-trai-dang-3315442.html






Komentar (0)