Kecerdasan buatan (AI) sedang berkembang pesat di seluruh dunia, dan Vietnam tentu tidak ingin ketinggalan. Namun, memasuki persaingan ini tanpa belajar dari kegagalan negara lain bisa jadi mahal.
Kementerian Pendidikan dan Pelatihan bertujuan untuk "membawa AI ke dalam dunia pendidikan lebih cepat dan lebih berdaya", dengan memandang AI sebagai alat untuk meningkatkan akses pendidikan, berinovasi dalam metode pengajaran, mendukung personalisasi proses pembelajaran, dan mendorong pembelajaran mandiri. Di Kota Ho Chi Minh, AI diterapkan untuk membantu guru dalam mempersiapkan pembelajaran, menilai, menganalisis hasil pembelajaran, dan mempersonalisasi umpan balik untuk setiap siswa. Di AS, Prancis, dan banyak negara lain, orang-orang dulu percaya bahwa hanya mesin yang baik dan laboratorium AI modern yang akan berhasil, tetapi kenyataan telah membuktikan bahwa teknologi saja tidak cukup. Jika guru dan dosen tidak terlatih dengan baik, semua mesin dan laboratorium AI hanya akan menjadi hiasan, tidak menghasilkan efektivitas pendidikan yang sesungguhnya.
Proyek AI4T (Kecerdasan Buatan untuk dan oleh Guru) di Eropa – yang dilaksanakan di Prancis, Italia, Slovenia, Irlandia, dan Luksemburg – menunjukkan bahwa meskipun sekolah-sekolah telah diperlengkapi dengan baik, AI hanya akan efektif jika guru-guru dilatih dengan baik. Kursus jangka panjang dan MOOC (Massively Open Online Courses) membantu guru menguasai penggunaan dan integrasi AI dalam pengajaran.
Jepang diperkirakan akan kekurangan jutaan pekerja dalam 15 tahun ke depan, sehingga negara ini berinvestasi besar-besaran dalam robot, AI, dan otomatisasi untuk mengisi kesenjangan tersebut. Namun, masalah yang menonjol adalah kurangnya keterampilan digital bagi pekerja lansia, yang mengakibatkan kesenjangan generasi dan pemborosan sumber daya. Hal ini menunjukkan bahwa pelatihan dan peningkatan keterampilan bagi lansia merupakan faktor yang tidak dapat diabaikan.
Jebakan lainnya adalah anggapan bahwa AI "memahami" semua yang kita masukkan. Banyak orang memasukkan perintah yang tidak jelas, sehingga menghasilkan hasil yang salah atau informasi yang direkayasa (disebut "halusinasi"). Hal ini terjadi di Silicon Valley, yang dianggap sebagai tempat lahirnya teknologi terobosan. Bahkan model populer pun seringkali menghasilkan informasi yang salah jika instruksinya tidak jelas. Jadi, rekayasa perintah—keterampilan mengajukan pertanyaan dan memberi perintah kepada AI—bukanlah permainan, melainkan keterampilan dasar yang perlu diajarkan sejak dini.
AI hanyalah sebuah alat. Oleh karena itu, kita membutuhkan peta jalan untuk penerapan AI. Oleh karena itu, kita harus menempatkan manusia sebagai pusat perhatian, bersama dengan pendidikan dan kebijakan sosial.
Sumber: https://nld.com.vn/can-lo-trinh-ung-dung-ai-196251011190709925.htm
Komentar (0)