Hari itu kami berbincang satu sama lain, hati kami masih diliputi duka atas nyawa-nyawa yang terkubur di bawah reruntuhan akibat gempa dahsyat Ibu Pertiwi.
Untuk menyadari bahwa ketidakkekalan selalu ada, hanya itu yang menentukan segalanya. Manusia, hanya dengan satu hembusan napas, lenyap ke dalam ketiadaan. Apa yang masih bisa kita simpan untuk diri kita sendiri?
Kamu bilang kamu akan pulang kampung untuk menyelesaikan pekerjaanmu. Kamu tidak lepas dari "badai" pengangguran yang menyebar di mana-mana. Kamu tidak bersedih. Bersedih tidak akan menyelesaikan apa pun. Bagaimana mungkin seorang ibu yang lembut hati di pedesaan mengerti AI "anak" macam apa yang menyebabkan anaknya dan jutaan orang kehilangan pekerjaan?
Kau kembali, ada seseorang yang berdiri mengipasi bara api, ada orang lain yang mengaduk potongan daging yang berlumur lemak di atas api merah yang harum, sakit punggung ibumu sedikit berkurang. Kau tak tahu apakah ibumu menghasilkan lebih banyak uang hari ini, tetapi kau tahu pasti ia lebih banyak tersenyum. Anehnya, kau sudah lama tak mengingat senyum ibumu, tetapi sekarang jika dipikir-pikir lagi, senyumnya tampak tak lagi kelam.
Ibu bicara begitu lembut, tapi kau merinding. Tiba-tiba, kau berpikir suatu hari nanti, hidup akan "merenggut" Ibu darimu, sama seperti kau telah "merenggut" dirimu sendiri dari pedesaan yang damai dan penuh sawah ini. Kau tak memberi tahu Ibu bahwa kau menganggur. Akhir-akhir ini, berita tentang penggabungan provinsi dan kota, serta penataan ulang kecamatan dan komune, juga membuat seorang perempuan yang mencintai kampung halamannya seperti Ibu, gelisah. Kau tak sanggup menambah kekhawatiran Ibu lagi.
Kamu baru saja meminta ibumu untuk mengizinkanmu kembali dan membantu berjualan beras. Ibumu tidak percaya anak yang ceria dan suka kota itu akan mengalami sindrom "kerinduan pedesaan". Tapi dia tetap tersenyum.
Melihat ibumu masih bekerja cepat di konter makanan, tangan dan kakinya tidak membuat satu pun gerakan yang tidak perlu, kamu tiba-tiba merasa senang karena setidaknya pusaran teknologi masih "tidak punya peluang" untuk memengaruhi penghidupannya.
Memang, betapa pun canggihnya AI, ia tetap tidak bisa mengasinkan iga yang harum; tidak bisa membalik sepotong daging berlemak di atas tungku arang agar tidak terlalu kering atau gosong; tidak bisa mengukus lumpia semulus ibu, tidak bisa menambahkan sepotong daging lagi dengan murah hati atau menambahkan sepotong telur lagi ke sepiring nasi yang sudah penuh milik lelaki tua penjual kupon lotre...
Tiba-tiba kau tersenyum. Ada yang benar, jalani saja, dan kau akan hidup! Kau akan hidup seperti ibumu, bahagia, lebih sedikit berpikir, lebih sedikit khawatir, dan kau akan lebih sedikit lelah. Kau akan memikirkan cara untuk mencari nafkah tanpa terlalu bergantung pada apa pun. Semuanya hanya perlu cukup.
Hidup ini penuh kekhawatiran tentang makanan, sandang, dan uang, menahan langkah kaki yang tak kunjung menemukan, menahan kegembiraan, menjerumuskannya ke dalam lembah beban hidup yang keras. Ada mata yang belum mencapai gunung-gunung tinggi dan lautan luas. Ada telinga yang belum mendengar suara-suara asing di sungai-sungai yang sepi dan hutan-hutan yang gersang. Dan ketika mereka berbalik, tubuh mereka telah terkapar lemas di sisi lain lereng kehidupan.
Tidak peduli apa pun yang terjadi besok, kita harus menjalani hari ini sepenuhnya.
“Kehidupan manusia ini sangat tergesa-gesa
Sayang, hiduplah agar kamu merasa bahagia.
Hiduplah seperti kamu belum pernah hidup sebelumnya
Genggam tanganku dan berjalanlah melewati malam yang panjang…”.
Saya mendengar Anda mengatakannya, seakan-akan Anda berbicara kepada diri sendiri!
(*): Lirik lagu "Song of Youth" (Trio PKL).
Sumber: https://baoquangnam.vn/doi-loai-nguoi-nay-rat-voi-3157193.html
Komentar (0)