Peneliti dari Universitas Kopenhagen berpendapat bahwa air muncul di Bumi ketika planet tersebut menyerap debu dan es selama pembentukannya.
Simulasi pembentukan Bumi dari kerikil-kerikil kecil. Foto: UHT Zurich
Bumi mungkin terbentuk jauh lebih cepat daripada yang diperkirakan sebelumnya, setelah lahir sebagai kerikil kecil berukuran beberapa milimeter yang terakumulasi selama jutaan tahun. Hipotesis baru ini juga menyiratkan bahwa alih-alih komet es yang membawa air ke Bumi, bahan-bahan penting bagi kehidupan sudah ada di planet ini ketika Bumi muda menyerap air dari lingkungan di luar angkasa. Kesimpulan ini memiliki implikasi penting bagi pencarian kehidupan di luar tata surya, menunjukkan bahwa planet layak huni dengan air di sekitar bintang lain mungkin lebih umum daripada yang diperkirakan saat ini. Isaac Onyett, seorang mahasiswa PhD di Pusat Pembentukan Bintang dan Planet di Universitas Kopenhagen, dan rekan-rekannya menerbitkan penelitian ini pada 14 Juni di jurnal Nature .
Hipotesis tim menunjukkan bahwa sekitar 4,5 miliar tahun yang lalu, ketika Matahari masih merupakan bintang muda yang dikelilingi oleh cakram debu dan gas, butiran-butiran debu kecil ditarik oleh planet-planet yang sedang terbentuk setelah mencapai ukuran tertentu. Dalam kasus Bumi, proses penarikan material dari cakram debu dan gas memastikan bahwa planet tersebut memiliki pasokan air.
Cakram ini juga mengandung banyak butiran es. Selagi efek penghisapan debu berlangsung, ia juga menyerap sebagian es. Proses ini berkontribusi pada keberadaan air selama pembentukan Bumi, alih-alih bergantung pada peristiwa acak yang membawa air ke planet ini 100 juta tahun kemudian.
"Orang-orang telah lama memperdebatkan bagaimana planet terbentuk," kata ahli geokimia Martin Schiller dari Universitas Kopenhagen, yang merupakan bagian dari tim peneliti. "Salah satu hipotesisnya adalah bahwa planet terbentuk dari tabrakan antara beberapa benda langit, yang ukurannya secara bertahap bertambah selama 100 juta tahun. Dalam hal ini, kemunculan air di Bumi membutuhkan peristiwa acak."
Contoh peristiwa serendipitus tersebut antara lain komet es pembawa air yang menabrak planet di akhir pembentukannya. "Jika Bumi terbentuk seperti itu, maka kita cukup beruntung memiliki air di Bumi. Jadi, kemungkinan adanya air di sebuah eksoplanet cukup rendah," kata Schiller.
Tim ini mengajukan hipotesis baru dengan menggunakan isotop silikon sebagai tolok ukur mekanisme pembentukan planet dan rentang waktu yang terlibat. Dengan memeriksa komposisi isotop lebih dari 60 meteorit dan planet, mereka berhasil menetapkan hubungan antara planet berbatu mirip Bumi dan benda-benda lain di tata surya.
Teori baru ini meramalkan bahwa jika sebuah planet mengorbit bintang seperti Matahari pada jarak yang tepat, planet itu akan memiliki air, menurut Profesor Martin Bizzarro dari Globe Institute, salah satu penulis penelitian tersebut.
An Khang (Menurut Luar Angkasa )
[iklan_2]
Tautan sumber
Komentar (0)