Saat ini, tren pembangunan berkelanjutan dan ESG sedang mendapat tekanan dari berbagai pihak. Pertama, tekanan dari kebijakan nasional dan standar internasional yang memaksa bisnis untuk mematuhinya. Kedua, tekanan dari para pemangku kepentingan. Investor kini tidak hanya memperhatikan efisiensi ekonomi , tetapi juga faktor lingkungan dan sosial. Mitra dalam rantai pasokan, terutama di negara pengekspor besar seperti Vietnam, juga memiliki persyaratan serupa. Ketiga, masyarakat di sekitar pabrik akan khawatir tentang masalah ketenagakerjaan dan tingkat polusi selama operasi. Terakhir, tekanan dari konsumen, terutama Gen Z. Menurut survei terbaru, sekitar 70% konsumen tertarik pada bisnis yang beroperasi secara etis, memiliki strategi berkelanjutan, dan menyediakan produk ramah lingkungan. Semua faktor ini menciptakan tekanan, mendorong bisnis untuk mengikuti tren pembangunan berkelanjutan.
Dalam hal kesadaran, angka ini meningkat, kemungkinan mencapai 70%. Namun, masih terdapat kesenjangan yang besar antara kesadaran dan tindakan. Menurut survei yang sama, hanya 22% bisnis yang telah membangun peta jalan spesifik. Masalah besarnya adalah kesadaran akan ESG belum sepenuhnya akurat. Banyak bisnis masih menganggapnya sebagai mekanisme penyesuaian untuk mematuhi peraturan, alih-alih menganggapnya sebagai alat manajemen risiko dan peluang untuk menciptakan keunggulan kompetitif dalam mengembangkan bisnis.
Terkait hambatan bagi UKM, meskipun isu-isu seperti keuangan, sumber daya manusia, keahlian, atau transformasi digital sering dibahas, hambatan terbesar sebenarnya terletak pada kesadaran. Kurangnya kesadaran yang akurat inilah yang menyebabkan kurangnya komitmen dari para pemimpin untuk mengambil langkah pertama dalam menerapkan ESG.
Untuk meningkatkan kesadaran dan implementasi yang tepat, bisnis perlu memulai dengan memenuhi persyaratan pasar, dari rantai pasokan dan pelanggan, sekaligus mematuhi standar internasional. Masalahnya bukan karena mereka tidak melakukannya, tetapi karena mereka melakukannya secara terfragmentasi. Penting untuk mengintegrasikan inisiatif-inisiatif ini ke dalam strategi bisnis secara keseluruhan, dikombinasikan dengan manajemen risiko dan penilaian awal untuk membangun peta jalan yang jelas dan efektif.
Meningkatkan kesadaran akan ESG – langkah awal yang penting bagi bisnis untuk membangun peta jalan pembangunan berkelanjutan yang sistematis
Untuk membangun strategi ESG yang sistematis, bisnis membutuhkan dukungan dari tiga pilar utama. Pertama, dukungan dari Pemerintah dan Negara, melalui penerbitan kerangka kebijakan, pedoman, dan insentif keuangan. Baru-baru ini, Pemerintah Vietnam dan banyak bank telah gencar mempromosikan peningkatan akses ke "modal hijau" bagi bisnis. Kedua, dukungan dari organisasi internasional seperti GIZ, IFC, atau GRI. Organisasi-organisasi ini menyediakan standar internasional, program pelatihan, transfer keahlian, dan bahkan akses ke modal. Mereka membantu bisnis mematuhi standar global, mengakses pasar, dan memiliki dasar ilmiah untuk menilai situasi terkini, sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat. Terakhir, asosiasi industri berperan dalam menyatukan suara bersama di industri. Mereka menjadi jembatan untuk memberikan saran kebijakan sekaligus membantu membangun standar profesional dan peta jalan implementasi ESG yang spesifik, yang sesuai untuk setiap sektor bisnis.
Ibu Dang Thi My Linh, Perwakilan Perusahaan Elfarm, mengatakan bahwa tantangan terbesar bagi usaha kecil dan menengah (UKM) adalah akses terhadap kebijakan dan sumber modal. Beliau menyampaikan bahwa melalui partisipasi dalam rangkaian pelatihan ESG, usahanya telah memperoleh pengetahuan dasar untuk diterapkan, sehingga menciptakan peluang pengembangan, serta mencapai tujuan ekspor dan nol emisi bersih pada tahun 2050.
Menurut Ibu Lam Tran Ai dari Viet Label Company, bisnisnya saat ini sedang menghadapi kesulitan dalam hal sumber daya, termasuk sumber daya manusia dan sistem permesinan. Oleh karena itu, penguatan kapasitas manajemen dianggap sebagai prioritas utama bagi dewan direksi agar dapat mengakses peluang-peluang baru. Beliau yakin bahwa arahan dari Negara akan membuka arah pengembangan dan jika diperlukan, pelaku bisnis dapat menghubungi Badan Promosi Perdagangan untuk mendapatkan dukungan.
Ibu Vu Kim Hanh, Presiden Asosiasi Perusahaan Barang Berkualitas Tinggi Vietnam, berkomentar bahwa mengakses pendanaan untuk kegiatan ESG seringkali lebih sulit daripada memobilisasi modal untuk bisnis normal. Menurutnya, hal ini disebabkan ESG tidak hanya membutuhkan dana, tetapi juga pemahaman dan panduan praktis. Ia juga menekankan bahwa realitas mengharuskan bisnis Vietnam untuk berfokus pada pengembangan pengetahuan dan keterampilan di dua bidang yang sering terabaikan: hukum bisnis dan manajemen keuangan.
Bapak Nguyen Cong Minh Bao berbagi tentang kerangka kerja 5 langkah Transisi Hijau dalam mengarahkan peta jalan transformasi hijau bagi bisnis. Langkah pertama adalah "Meningkatkan kesadaran yang tepat melalui pelatihan". Langkah kedua adalah "Kepatuhan", tidak hanya terhadap hukum, standar internasional, atau persyaratan rantai pasok, tetapi juga mengintegrasikannya ke dalam strategi bisnis dan manajemen risiko. Langkah ketiga, yang sering diabaikan oleh bisnis, adalah "Membangun fondasi melalui penilaian awal" untuk membangun kredibilitas. Langkah keempat adalah "Menerapkan solusi secara sistematis" setelah memiliki fondasi yang kokoh, membantu bisnis memprioritaskan hal-hal yang efektif. Langkah terakhir adalah "Mengakses modal hijau".
Berdasarkan kerangka kerja ini, layanan Green Transition mencakup pelatihan, dukungan pelaporan, sertifikasi, dan pengembangan strategi pembangunan berkelanjutan. Bapak Bao menekankan bahwa pendekatan perusahaan adalah mendampingi bisnis, berintegrasi penuh ke dalam operasional bisnis, alih-alih hanya menjadi unit konsultasi alih daya, dan sekaligus memanfaatkan ekosistem pakar terkemuka di industri untuk mendukung bisnis di setiap tahap.
Ke depannya, Bapak Bao memprediksi bahwa dalam 5 hingga 10 tahun ke depan, ESG akan beralih dari fase sukarela menjadi wajib di Vietnam. Tekanan akan datang dari berbagai pihak: standar pelaporan akan diintegrasikan dengan standar keuangan internasional (IFRS, ESRS); komitmen Net Zero pada tahun 2050 akan mendorong pasar karbon dan persyaratan pelaporan gas rumah kaca (terutama untuk ekspor); dan keuangan hijau akan tumbuh pesat, dengan Bank Negara Vietnam berencana untuk meningkatkan proporsinya menjadi 25% pada tahun 2030.
Setiap bisnis, berapa pun ukurannya, dapat memulai perjalanan ESG-nya dengan memanfaatkan kekuatan yang ada.
>>> Silakan saksikan HTV News pukul 8:00 malam dan 24G World Program pukul 8:30 malam setiap hari di saluran HTV9.
Sumber: https://htv.com.vn/giai-ma-hanh-trinh-esg-bien-ap-luc-thanh-loi-the-canh-tranh-22225100110582867.htm
Komentar (0)