
Foto ilustrasi (AI)
Sore ini, hawa dingin pertama musim dingin datang dengan lembut.
Entah kapan itu dimulai, tapi aku tahu ketika jam perlahan menunjukkan pukul empat, ruang di luar jendela bernuansa abu-abu kusam. Cahaya khas musim hujan pertama, bukan lagi gemerlapnya hari-hari musim panas, melainkan dinginnya bumi dan langit, membuat ruang terasa sunyi dalam kesedihan yang samar.
Angin dingin awal musim dingin berhembus, membawa kabut segar dan aroma tanah lembap, bercampur asap dari rumah-rumah di kejauhan. Daun-daun terakhir pohon beringin tua hampir berguguran dari dahannya, berkibar beberapa kali sebelum mendarat lembut di tanah lembap.
Aku duduk di dekat jendela, terbungkus selimut bunga pudar, secangkir teh jahe mengepul di tanganku, menghangatkan ujung jariku. Rasa dingin itu terasa asing, seperti bertemu teman lama setelah sekian lama, membawa kembali banjir kenangan.
Ingatlah musim dingin itu, saat saya masih gadis berusia delapan belas atau dua puluh tahun, dengan rambut sebahu dan mata bulat, polos, dan melamun.
Itulah saat jalanan tua berlapis bata di kompleks apartemen tempat keluargaku tinggal mulai diwarnai kabut pagi yang kelabu, deretan pohon beringin berdaun merah kini hanya gundul, cabang-cabangnya menjulang ke langit kelabu, bagaikan goresan arang pada lukisan cat air.
Aku masih ingat betul aroma khas musim dingin, bau daun kering yang membusuk, bau apek tanah yang basah, dan bau asap dari dedaunan yang terbakar yang mengepul dari sudut-sudut liar taman.
Setiap kali angin dingin bertiup, nenek saya mulai merajut syal wol baru. Ia sering duduk di kursi rotan kesayangannya di dekat jendela, tempat cahaya lembut menyinari, dengan tekun merajut segulung benang merah tua dan sepasang jarum rajut tua. Suara jarum rajut yang berirama dan teratur berpadu dengan radio tua yang memutar lagu-lagu pra-perang dan syair-syair sedih vọng cổ.
Ia sering merajutkan syal tebal untukku, berwarna merah cerah, warna kehangatan dan keberuntungan, katanya syal itu akan membuatku tidak kedinginan saat pergi ke sekolah atau bermain di luar. Syal-syal itu lembut, dipenuhi aroma khasnya: aroma daun sirih dan cinta yang tak terbatas. Aku masih ingat saat ia mencobanya di leherku, membelai rambut cucuku yang berantakan, dan tersenyum ramah.
Dulu, Minh—teman sekelasku—sering datang lebih awal untuk menungguku di ujung gang kecil, mengantarku ke sekolah dengan sepeda tuanya. Setiap pagi, angin bertiup di antara dedaunan, membawa kabut, dan aku sering meringkuk di punggung Minh, merasakan kehangatan dari punggungnya yang lebar dan bulunya yang tebal.
Ada hari-hari ketika cuaca begitu dingin, kabut membuat jalan buram, Minh berhenti di warung pinggir jalan di ujung gang, tempat pramuniaga yang ramah selalu menyiapkan camilan, membelikanku secangkir susu kedelai panas atau semangkuk bubur stik goreng yang mengepul. Kami berdua meringis kedinginan, dan terkikik mendengar cerita-cerita remeh dari sekolah.
Saat-saat sederhana itu masih utuh dalam ingatanku seperti gambar lama namun penuh warna, berkilauan seperti embun malam di dahan pohon.
Aku berdiri di balkon, meringkuk dalam kardigan lamaku. Angin berembus di sela-sela dedaunan pohon beringin di jalan, menimbulkan suara gemerisik kering. Aroma dedaunan kering dan sedikit kelembapan dari tanah yang baru diairi tercium, segar.
Angin dingin awal musim dingin telah tiba, bertiup melalui jalan-jalan kecil, berdesir di pucuk-pucuk pohon kering bagaikan bisikan musim lalu.
Kini, aku bukan lagi gadis kecil seperti dulu. Hidup telah melewati banyak suka duka, banyak perubahan. Nenek telah meninggal dunia, syal-syal rajutannya telah usang selama bertahun-tahun, aku menyimpannya dengan hati-hati di dalam kotak kayu. Minh juga telah berkeluarga di ibu kota, memiliki kehidupannya sendiri. Aku masih tinggal di kota ini, masih memandangi pepohonan gundul setiap kali angin musim dingin bertiup, masih menyeruput secangkir teh jahe hangat di dekat jendela yang familiar.
Pemandangan di luar sudah sedikit berubah, gedung-gedung tinggi bermunculan berdekatan, menutupi langit biru masa lalu, tetapi sensasi angin dingin awal musim dingin masih tetap sama, membawa serta napas kenangan.
Anehnya cantik!./.
Linh Chau
Sumber: https://baolongan.vn/gio-lanh-dau-dong-a205956.html






Komentar (0)