Lampu malam menerangi jalan menuju kelas
Pagi harinya, ia sibuk bekerja di ladang. Sore harinya, setelah makan malam, Ibu Y. King (Kelurahan Kon Plong, Provinsi Quang Ngai ) merapikan buku-bukunya dan bersiap untuk pergi ke sekolah. Dari desa-desa, para perempuan yang dulunya bisa membaca dan menulis tetapi lupa, atau tidak pernah belajar, saling mengajak untuk bersekolah. Jalan desa yang kecil remang-remang diterangi senter. Hujan atau cerah, semua orang tetap berusaha hadir untuk belajar.
“Dulu, saya tidak berpendidikan, tidak bisa membaca atau menulis, jadi saya merasa malu setiap kali menandatangani dokumen. Ketika mendengar tentang dibukanya kelas literasi, saya bertekad untuk bersekolah. Keluarga saya juga menyemangati saya, menasihati saya untuk berusaha keras belajar membaca dan menulis. Karena saya sudah tua, saya memang lambat belajar, tetapi para guru mengajari saya dengan sepenuh hati. Sekarang, saya bisa membaca dan menulis, dan saya lebih percaya diri ketika pergi ke komune untuk mengurus dokumen dan prosedur; saya menjadi contoh bagi anak-cucu saya untuk berusaha keras belajar,” ungkap Ibu Y. King.
Kisahnya juga merupakan sentimen umum bagi banyak siswa kelas literasi di Kon Plong. Mereka adalah buruh yang bekerja di ladang sepanjang tahun, lebih akrab dengan cangkul dan bajak daripada pena dan buku catatan. Pagi hari mereka pergi ke ladang, dan sore harinya mereka kembali untuk belajar. Perjalanan ini tidak mudah, tetapi tetap penuh tawa.
Yang istimewa, banyak anak dan cucu siswa juga mengikuti kakek-nenek dan orang tua mereka ke kelas. Beberapa masih duduk di bangku sekolah dasar, duduk di pojok kelas, rajin menulis bersama orang dewasa. Beberapa membantu nenek mereka membacakan pelajaran dan membimbing mereka dalam pengucapan.
Pelajaran seperti itu menjadi momen untuk mempererat hubungan keluarga. Di bawah cahaya kuning, gambaran tiga generasi yang duduk bersama, orang dewasa mengeja kata-kata, anak-anak bernyanyi bersama, menjadi pemandangan indah di hutan Kon Plông yang luas.
Ibu Tran Thi Bao, seorang guru di Sekolah Asrama Dasar Kon Plong untuk Etnis Minoritas, yang secara langsung mengajar kelas literasi, mengatakan: “Pada masa-masa awal, sangat sulit bagi masyarakat untuk mengakses tulisan. Banyak orang belum pernah memegang pena sebelumnya, tangan mereka gemetar, dan mereka lelah setelah menulis beberapa goresan. Beberapa orang memegang pena seperti sedang memegang cangkul. Kami harus memegang tangan setiap orang untuk memandu dan mengajarkan setiap goresan dan setiap huruf.”
Menabur surat dengan cinta dan ketekunan

Menurut guru literasi, mengajar siswa yang lebih tua membutuhkan lebih banyak kesabaran dan ketekunan daripada mengajar siswa yang lebih muda. Guru harus selalu berdedikasi, lembut, dan memberi semangat agar siswa tidak merasa rendah diri atau minder. Beberapa siswa ingin berhenti setelah mempelajari beberapa kata saja karena takut lambat, tetapi dengan dorongan yang tepat, mereka kembali ke kelas.
Malam harinya, di ruang kelas kecil itu, suara ejaan menggema di hutan. Kadang-kadang hujan turun dan jalanan licin, tetapi orang-orang tetap bersemangat untuk pergi ke kelas. Mereka duduk mengelilingi meja, dengan penuh perhatian mengamati setiap huruf yang muncul di papan tulis. Senter dan lampu belajar kecil menyinari wajah-wajah yang terbakar matahari, tekun belajar untuk menjadi teladan bagi anak cucu mereka.
Bapak Vu Ngoc Thanh, Kepala Sekolah Asrama Dasar Kon Plong, mengatakan: “Sekolah ini membuka 4 kelas literasi dengan 102 siswa. Berkat upaya staf, guru, dan semangat warga sekolah, tingkat kehadiran selalu mencapai 80-90% setiap hari. Kami selalu berupaya menciptakan kondisi terbaik agar kelas berjalan lancar, mulai dari penataan ruang kelas, pencahayaan, hingga penyediaan buku bagi siswa.”
Selain mengajar membaca dan menulis, para guru juga mengajarkan keterampilan hidup, perawatan kesehatan, dan pengasuhan anak. Banyak pelajaran menjadi menyenangkan dan nyaman berkat kisah-kisah pertanian yang dibawakan para siswa.
Kelas malam di Kon Plong telah membawa banyak perubahan. Dari yang tadinya tidak bisa membaca dan menulis, kini mereka dapat membaca rambu, menulis nama, dan mengisi informasi saat melakukan prosedur administratif. Mereka juga tahu cara mencatat, berhitung, dan menerapkannya pada produksi dan usaha kecil untuk meningkatkan taraf hidup mereka.
"Sekarang saya tidak perlu khawatir membuat kesalahan saat pergi ke pasar, dan saya bisa menandatangani nama saya sendiri saat mengurus dokumen. Saya bahkan mengajarkan kata-kata yang telah saya pelajari kepada anak-anak dan cucu-cucu saya. Mampu membaca dan menulis membuat hidup lebih cerah," kata Nyonya Y. King sambil tersenyum lembut.
Berkat kegigihan para siswa dan dedikasi para guru, kelas literasi di dataran tinggi Kon Plong tidak berhenti pada "pengetahuan membaca dan menulis", tetapi juga mengobarkan semangat belajar sepanjang hayat dalam hati masyarakat. Aksara telah benar-benar menjadi jembatan antara ilmu dan kehidupan, antara mimpi dan kenyataan.
Pada malam-malam di dataran tinggi, ruang-ruang kelas di bawah atap seng bergelombang kecil masih terang benderang. Suara ejaan bergema di ruang tenang pegunungan dan hutan, bagai suara harapan, dari perjalanan mencari cahaya ilmu di belantara.
Sumber: https://giaoducthoidai.vn/giu-lua-con-chu-giua-dai-ngan-kon-plong-post751922.html
Komentar (0)