Peringatan 80 tahun Revolusi Agustus dan Hari Nasional 2 September merupakan momen untuk mengenang mereka yang telah mengabdikan kecerdasan dan jiwa mereka demi kemerdekaan nasional. Di antara mereka, Mayor Jenderal, Profesor, dan Akademisi Tran Dai Nghia, Presiden pertama Persatuan Asosiasi Sains dan Teknologi Vietnam, merupakan simbol istimewa. Dari seorang mahasiswa miskin di Vinh Long, ia bangkit untuk menguasai ilmu militer modern, membawanya kembali untuk mengabdi pada perlawanan. Kehidupan dan kariernya merupakan bukti nyata patriotisme, kecerdasan, dan dedikasinya kepada Tanah Air.

Perjalanan untuk menemukan cara agar bangsa memiliki senjata sendiri
Pham Quang Le (nama lahir Mayor Jenderal, Profesor, dan Akademisi Tran Dai Nghia) lahir pada tahun 1913 di Vinh Long , dari keluarga miskin. Sejak muda, Le, sang mahasiswa, dihantui oleh kenyataan: rakyat kita berani tetapi selalu kekurangan senjata, dan harus menyerah pada persenjataan modern penjajah. Sejak saat itu, sebuah ambisi terbentuk: menemukan cara agar bangsa kita memiliki senjatanya sendiri.

Pada tahun 1933, di usia 20 tahun, Pham Quang Le lulus dua ujian "Sarjana Muda", sebuah prestasi yang langka. Pada tahun 1935, ia menerima beasiswa untuk belajar di Prancis. Di Paris, menghadapi hambatan ketat bagi penduduk asli yang ingin belajar teknik militer, Pham Quang Le memilih Sekolah Jembatan dan Jalan Paris. Ia dengan cerdik meminjam buku-buku tentang bahan peledak, teknologi peledakan ranjau, dan desain senjata, diam-diam mengumpulkan pengalaman. Ketika ditanya, ia beralasan bahwa "tanah air saya terjal dan bergunung-gunung, saya perlu belajar tentang bahan peledak untuk membuka terowongan."
Tak berhenti di situ, ia meraih gelar sarjana dan gelar teknik dari Sorbonne, Sekolah Teknik Listrik, Pertambangan, Politeknik, dan Akademi Teknik Penerbangan. Di saat yang sama, ia belajar bahasa Jerman, Rusia, dan Inggris untuk membaca dokumen-dokumen militer.
Pada tahun 1939, insinyur Pham Quang Le bekerja di banyak produsen pesawat sipil di Prancis, dengan tujuan tidak hanya mencari nafkah tetapi yang lebih penting, mengumpulkan pengalaman praktis di bidang teknik militer dan teknologi pertahanan. Bekerja di kantor desain membuka peluang baginya untuk mengakses banyak dokumen ilmiah dan teknis militer yang berharga.
Pada masa itu, produsen pesawat sipil juga merambah sektor militer, berkat dokumen-dokumen terperinci tentang artileri, senapan mesin, bom, dan ranjau yang ia peroleh. Selama 11 tahun pengumpulan dan penelitian yang gigih, ia berhasil mengumpulkan lebih dari 30.000 halaman dokumen, yang beratnya setara dengan satu ton buku, termasuk banyak dokumen yang diklasifikasikan sebagai "sangat rahasia".
Perang Dunia II menciptakan lingkungan praktis baginya untuk berhubungan dengan industri pertahanan Jerman. Pada tahun 1942, ia pergi ke Jerman untuk bekerja di sebuah pabrik pesawat terbang dan sekaligus meneliti teknologi pembuatan senjata. Pengetahuan itu menjadi bekal berharga ketika ia memutuskan untuk kembali mengabdi kepada Tanah Air setelah Revolusi Agustus.
Bazooka, SKZ, Bom Terbang: Ketika teror musuh menyandang nama Tran Dai Nghia
Pada bulan September 1945, kabar kemerdekaan negara itu menyulut hasrat untuk kembali mengabdi kepada Tanah Air di hati sang insinyur yang tinggal jauh dari rumah. Ia memahami lebih dari siapa pun: "Untuk melindungi kemerdekaan bangsa, kita harus memiliki tentara yang kuat, dan untuk memiliki tentara yang kuat, kita harus memiliki persenjataan yang kuat." Dengan tekad itu, ia mengikuti Presiden Ho Chi Minh kembali ke Vietnam pada tahun 1946, dan diberi nama baru yang bermakna oleh Paman Ho: Tran Dai Nghia.

Sekembalinya ke tanah air, ia langsung memulai tugas yang paling mendesak: membuat senjata. Bersama rekan-rekannya di Departemen Persenjataan Militer, hanya berbekal pengetahuan yang ia kumpulkan setelah 11 tahun di luar negeri dan kondisi material yang sangat memprihatinkan, ia menciptakan keajaiban.
Produk pertama yang menggemparkan adalah meriam anti-tank Bazooka. Pada November 1946, Insinyur Tran Dai Nghia memulai penelitian. Meriam tersebut berhasil diproduksi relatif cepat, tetapi pembuatan pelurunya merupakan tantangan yang sulit.
Peluru pertama tidak meledak atau meledak secara tidak efektif. Tanpa gentar, ia secara pribadi memeriksa dan menghitung ulang setiap parameter, serta membongkar setiap peluru untuk diperiksa. Akhirnya, ia menemukan kesalahan dalam pemrosesan kerucut peluru.
Ia meminta pemrosesan ulang untuk memastikan ketebalannya hanya sekitar satu setengah milimeter. Keputusan yang tepat itu membuahkan hasil. Bazoka "buatan Vietnam" setelah diperbaiki memenuhi persyaratan, dengan daya tembus yang setara dengan peluru Amerika.

Kemenangan pertama Bazoka Vietnam tercatat dalam sejarah pada 2 Maret 1947. Tiga meriam dan 10 peluru dikerahkan ke Resimen Ibukota dan membakar dua tank kolonial Prancis di Pagoda Tram (dulunya Ha Tay), mematahkan serangan musuh. Sejak saat itu, Bazoka menjadi senjata serbaguna, tidak hanya menghancurkan tank tetapi juga digunakan untuk menghancurkan bunker, menembaki sarang senapan mesin, dan menakuti musuh.
Ketika perang perlawanan membutuhkan senjata yang lebih kuat untuk menghancurkan posisi dan pos pertahanan musuh, Profesor Tran Dai Nghia terus meneliti dan menciptakan senapan tanpa hentakan (SKZ). Ini adalah senjata modern baru yang pertama kali muncul saat pendaratan Amerika di Pulau Okinawa, Jepang, pada akhir Perang Dunia II.

SKZ, yang diciptakannya bersama rekan-rekannya, merupakan meriam ringan dengan berat hanya sekitar 26 kg dan dapat dibongkar pasang untuk dibawa, tetapi daya rusaknya sangat dahsyat. Hulu ledaknya yang seberat 9 kg dapat menembus beton setebal 60 cm. SKZ 60 pertama kali mencapai hasil yang luar biasa dalam Kampanye Le Hong Phong di akhir tahun 1949, menghancurkan bunker-bunker Prancis yang dibentengi di Pho Rang dan Pho Lu.
Obsesi yang disebut SKZ diakui dengan getir oleh pihak Prancis dalam tulisan jurnalis Lucien Bodart, dalam buku "Perang Indochina" (1963): "Yang menyulitkan kami, yang menembus beton setebal 60 cm, adalah peluru SKZ, yang dibuat Vietnam di gua-gua pegunungan Indochina. Beberapa saja sudah cukup untuk menghancurkan menara pengawas kami."

Tak berhenti di situ, Profesor Tran Dai Nghia juga bermimpi menciptakan senjata dengan kekuatan yang lebih dahsyat, terinspirasi oleh roket V1 dan V2 Jerman. Pada tahun 1948, "bom terbang" lahir. Tantangan terbesarnya adalah bagaimana mendorong bahan peledak seberat puluhan kilogram itu hingga beberapa kilometer jauhnya.
Dengan menekan lapisan-lapisan propelan ke dalam tabung baja, ia berhasil. Pada awal tahun 1949, sebuah uji coba penembakan membuat para penjajah Prancis di Hanoi ketakutan ketika peluru tersebut terbang melintasi Sungai Merah dan mendarat tepat di pusat komando mereka di Bac Co. Meskipun kerusakan materialnya tidak besar, dampak psikologis dari "bom terbang" itu sangat berat.
Pria yang mengabdikan hidupnya untuk Dai Nghia: "Misi saya selesai"
Penemuan senjata dengan merek dagang "buatan Tran Dai Nghia" telah mengejutkan dan mengesankan komunitas militer internasional. Jenderal Vo Nguyen Giap dan rakyat Vietnam dengan penuh kasih sayang memanggilnya "Sang Buddha pembuat senjata", "Raja senjata". Gelar-gelar ini tidak hanya mengakui bakatnya yang luar biasa, tetapi juga menunjukkan rasa hormat dan cintanya kepada seorang ilmuwan yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk pembebasan nasional.
Letnan Jenderal Senior Pham Hoai Nam, Wakil Menteri Pertahanan Nasional, menegaskan: "Kontribusi dan kebajikan Mayor Jenderal, Profesor, Akademisi Tran Dai Nghia bagi industri teknik militer dan pertahanan negara merupakan sumber kebanggaan bagi bangsa." Dengan bakat, kecerdasan yang mendalam, dan semangat patriotik yang membara, beliau telah mengumpulkan banyak generasi ilmuwan dan insinyur, bersama-sama menciptakan senjata-senjata legendaris, yang berkontribusi signifikan terhadap kemenangan gemilang bangsa.
Setelah penyatuan kembali negara, dalam buku hariannya, sang profesor jenderal menulis baris-baris berikut: "Pada tanggal 30 April 1975, misi saya telah tercapai. Karena ambisi saya sejak kecil, misi saya sangat sederhana, yaitu berpartisipasi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi persenjataan dalam perjuangan bersenjata revolusioner untuk membebaskan negara. Kini, negara telah terbebas. Saya tidak menginginkan apa pun lagi, karena seumur hidup tidak akan mampu berbuat lebih banyak."
Ungkapan itu merangkum seluruh kepribadiannya: seorang intelektual yang hebat, seorang ilmuwan yang luar biasa, tetapi selalu rendah hati, mengingat kariernya erat kaitannya dengan misi pembebasan nasional. Kehidupannya merupakan bukti kuat akan kebenaran: Patriotisme sejati, jika dipadukan dengan kecerdasan tinggi, akan menciptakan kekuatan yang luar biasa. Ia menjalani hidup yang sepenuhnya didedikasikan untuk "Dai Nghia"—sebutan yang diberikan Paman Ho kepadanya.
Profesor, Akademisi, Mayor Jenderal Tran Dai Nghia adalah Direktur pertama Universitas Sains dan Teknologi Hanoi, dan memegang banyak posisi penting di bidang sains, teknologi, dan manajemen negara. Ia dipromosikan menjadi Mayor Jenderal pada tahun 1948, menerima Medali Ho Chi Minh dan gelar Pahlawan Buruh pada tahun 1952, terpilih sebagai Akademisi Akademi Ilmu Pengetahuan Uni Soviet pada tahun 1966, dan dianugerahi Penghargaan Ho Chi Minh Tahap I pada tahun 1996 atas jasanya dalam pembuatan bazoka, SKZ, dan bom terbang. Ia wafat pada tanggal 9 Agustus 1997 di Kota Ho Chi Minh, dalam usia 84 tahun.
Sumber: https://khoahocdoisong.vn/gsvs-tran-dai-nghia-huyen-thoai-vua-vu-khi-va-trai-tim-vi-dai-nghia-post2149048187.html
Komentar (0)