Pertanyaan yang wajar dan logis bagi banyak orang adalah mengapa hari kedua Tet menjadi salah satu dari tiga hari yang dikosongkan? Apakah orang-orang saling mengucapkan selamat tahun baru atau bagaimana? Dan kalimat lengkap setelah rima tersebut baru-baru ini muncul, yaitu "Hari pertama Tet untuk ayah, hari kedua Tet untuk ibu, hari ketiga Tet untuk guru". Ini adalah idiom dalam khazanah cerita rakyat, yang menunjukkan perilaku yang sangat tradisional namun unik yang telah menciptakan keajaiban Tet Vietnam.
Dapat dikatakan bahwa perayaan Tet, perayaan musim semi, dan ritual-ritual selama tiga hari Tet merupakan peristiwa penting bagi masyarakat, sebuah reuni yang hangat dan tak terlupakan antara dewa-dewa keluarga, leluhur, dan masyarakat Vietnam, yang dirayakan dengan khidmat setiap tahun. Perayaan ini juga dapat dipahami sebagai pelajaran etika dalam menunjukkan bakti kepada orang tua, mengingat sumber air saat minum, dan mengingatkan jadwal yang harus dilakukan setiap orang selama tiga hari Tet. Banyak cendekiawan yang mempelajari budaya rakyat telah memberikan penjelasan yang berbeda-beda dan telah diterima oleh masyarakat:
Ungkapan "Hari pertama Tet untuk ayah, hari kedua Tet untuk ibu" adalah mubazir dan tidak masuk akal. Berbicara tentang Tet untuk ayah tentu saja berbicara tentang Tet untuk ibu karena orang tua adalah dua orang yang melahirkan setiap orang. Ayah selalu dianggap memiliki kedudukan tertinggi dalam keluarga. "Anak tanpa ayah ibarat rumah tanpa atap" dan "Jasa seorang ayah ibarat gunung Thai Son", sehingga mengingat untuk mengucapkan Tet kepada ayah merupakan keindahan yang tak tergantikan. Ibu berperan sebagai pemimpin internal dengan hati yang baik, menjaga kedamaian dan kebahagiaan keluarga. "Jasa seorang ibu ibarat air yang mengalir dari sumbernya," sehingga kita harus ingat untuk mengucapkan Tet kepada ibu. Selain itu, Tet untuk ayah juga menyiratkan bahwa anak dan cucu datang berkunjung dan mengucapkan Tet kepada pihak ayah, sementara Tet untuk ibu berarti berkunjung dan mengucapkan Tet kepada pihak ibu.
Mengunjungi guru, merayakan Tet saat mereka masih hidup, dan menyembah guru setelah mereka meninggal adalah moralitas tradisional bangsa. Orang tua sering mengajarkan kepada anak-anak mereka, "Raja, guru, dan ayah adalah tiga kedudukan. Hormati dan sembah mereka sebagai satu, anak-anak, ingatlah ini."

Dahulu, kebanyakan keluarga tidak memiliki uang untuk menyekolahkan anak-anak mereka, dan tidak ada sekolah seperti sekarang. Oleh karena itu, keluarga kaya sering mengundang guru ke rumah mereka untuk mengajar, membantu anak-anak mereka membaca kitab suci. Mereka tekun mempelajari kitab-kitab klasik dengan harapan lulus ujian, lulus ujian, dan menjadi pejabat untuk membantu dunia. Dari generasi ke generasi, masyarakat kita telah mewariskan pepatah: "Jika ingin menyeberangi jembatan, bangunlah jembatan. Jika ingin anak-anak pandai membaca, cintailah gurunya ." "Cintailah guru" di sini dipahami sebagai menghormati guru, menghargai ilmu pengetahuan, bukan memberikan harta atau materi berharga kepada guru. Oleh karena itu, masyarakat kita menghormati guru dan juga menghormati profesi guru.
Dalam masyarakat kuno, guru dianggap sebagai idola suci dalam pembelajaran, "standar emas" moralitas dan kepribadian, serta teladan cemerlang bagi siswa untuk ditiru, diteladani, dan dicita-citakan menjadi orang yang berbudi luhur, manusiawi, dan berbakat untuk mengabdi kepada masyarakat dan negara. Guru harus mengetahui cara bertindak, berbicara, dan berperilaku yang baik agar siswa dapat memandang guru sebagai teladan hidup. "Ksatria - Guru - Ayah" adalah tiga posisi istimewa. Guru hanyalah orang kedua setelah Raja, sosok yang sangat dihormati dan dimuliakan oleh masyarakat dan rakyat, sosok yang dipercaya untuk membantu anak-anak menjadi berbakat dan membawa kemakmuran bagi negara. Banyak peribahasa dan lagu daerah kuno yang mengajarkan tentang kedudukan guru yang mulia dan tak tergantikan, profesi "mengetuk kepala anak": "Tanpa guru, engkau tak akan berhasil", "Beras ayah, pakaian ibu, kata-kata guru". Tradisi leluhur kita, yang berasal dari zaman kuno, juga meninggikan peran guru, profesi yang paling mulia. Meskipun hidup sederhana, para guru zaman dulu memiliki hati yang mulia, tidak ternoda oleh kebiasaan buruk dan keburukan hidup.
Semua hal yang kami sebutkan di sini berawal dari kekaguman dan rasa hormat semua orang, baik orang tua yang anaknya pernah dididik oleh guru, maupun mereka yang belum pernah dididik oleh guru. Tradisi menghormati guru ketika guru tersebut meninggal dunia dan membantu guru dalam kehidupan sehari-hari merupakan salah satu nilai budaya bangsa kita yang baik, yang dijunjung tinggi oleh banyak generasi masyarakat Vietnam. Setiap kali Tet tiba, sudah menjadi tradisi bahwa pada hari ketiga Tet, para siswa dan keluarga mereka, berpakaian rapi dan penuh hormat, datang untuk memberikan penghormatan terakhir kepada guru, mengungkapkan rasa terima kasih mereka kepada guru dengan rasa syukur yang tak terhingga. Masyarakat dan rakyat telah memberikan profesi guru, kepada generasi guru yang berbakat dan berbudi luhur, sebuah privilese dan "prestise" yang layak, membantu para guru memiliki motivasi untuk membuka pikiran dan jiwa generasi muda di tanah air dan negara ini siang dan malam. Dengan demikian, dari zaman dahulu hingga sekarang, "prestise" atau "wewenang" adalah kata benda yang menunjukkan rasa hormat, kepercayaan, dan nilai baik yang dimiliki masyarakat terhadap profesi guru dan setiap guru.
Saat ini, konsep guru telah berubah seiring perkembangan masyarakat. Guru saat ini digaji oleh negara atau iuran orang tua, tidak seperti guru di masa lalu yang hanya digaji pada Hari Guru. Guru bukanlah satu-satunya sumber ilmu pengetahuan yang diberikan kepada siswa. Siswa akan menemukan sumber ilmu pengetahuan yang tak terbatas di perpustakaan atau dunia maya. Oleh karena itu, "Hari Guru pada tanggal 3" telah diperluas menjadi "Tet rasa syukur" bagi setiap dermawan. Ini merupakan perpanjangan dari tradisi dari zaman dahulu hingga saat ini dan selalu menjadi pelajaran hidup bagi semua orang yang memiliki darah "keturunan Lac Hong".
Tet Thay pada hari ke-3 Tet merupakan ciri khas budaya Tet Nguyen Dan, gaya hidup komunal seluruh bangsa, sehingga tidak boleh hilang, sebagaimana budaya Vietnam tidak boleh hilang.
Saya percaya pendidikan harus berkembang sesuai hukum evolusi, yaitu, harus ada pewarisan dan tidak dapat memutus seluruh masa lalu, seperti revolusi. Pendidikan harus menemukan cara berpikir terbaik untuk beralih antara tradisi dan modernitas, antara masyarakat Vietnam yang murni agraris dan adat istiadat berusia ribuan tahun, dan perkembangan negara melalui industrialisasi dan modernisasi. Apa yang berasal dari masa lalu perlu ditambahkan, ditinggalkan, atau dipertahankan, hal itu wajar dalam pendidikan dan masyarakat Vietnam di era teknologi 4.0 atau 5.0.
Tradisi mencintai pembelajaran dan menghormati guru. Hidup dengan cinta, kemurahan hati, dan bersikap baik sebagaimana guru telah ajarkan. Ini adalah nilai-nilai kemanusiaan yang mendalam yang telah dipupuk dari generasi ke generasi, dan merupakan sumber kekuatan yang membantu negara berkembang. Memahami secara mendalam "Hari ke-3 Tet untuk guru" adalah rasa syukur, membalas budi guru, dan meningkatkan sumber kekuatan tradisi nasional. Sungguh mengharukan bahwa sebuah perkumpulan mantan siswa yang kini telah dewasa dan menjadi dokter yang baik telah bersatu hanya untuk melakukan tindakan mulia memeriksa dan merawat guru. Sebuah pepatah sederhana yang membuat para guru lanjut usia meneteskan air mata: "Kita membalas budi guru kita, yang terpenting adalah menjaga kesehatan mereka ketika mereka tua dan sakit." Ini sungguh merupakan contoh makna humanis dan nilai hidup "Hari ke-3 Tet untuk guru" saat ini.

"Hari ketiga Tet adalah untuk para guru" adalah ciri budaya tradisional bangsa yang indah. Ungkapan lain untuk ungkapan ini adalah "Hari ketiga adalah Tet Rasa Syukur". Dengan memahami hal ini, kita akan memahami dan mengetahui bagaimana menerapkan nilai-nilai tradisional dari zaman dahulu ke dalam realitas sosial saat ini. Mari kita ajarkan generasi muda untuk mengingat "empat nikmat besar" dalam kehidupan setiap orang: Rasa terima kasih kepada orang tua yang telah membesarkan dan melahirkan kita. Guru yang telah mendidik dan memberi kita ilmu. Orang-orang yang membimbing kita ketika kita bingung, dan rasa terima kasih kepada mereka yang telah membantu kita di saat-saat sulit dan sulit. Rasa terima kasih adalah salah satu kualitas terbaik yang dapat dimiliki seseorang. Rasa terima kasih membantu kita menghargai apa yang kita miliki dan juga menghargai usaha atau keberhasilan orang lain. Bersyukur juga membantu kita berperilaku baik dan membawa kebahagiaan bagi diri kita sendiri. Bersyukurlah dan dari sanalah kita akan tahu bagaimana menghargai apa yang kita miliki saat ini. "Orang tua adalah mereka yang telah membawa kita ke dunia ini, membesarkan kita, dan mengajarkan kita nilai-nilai yang berharga. Kita akan selalu berterima kasih kepada mereka." “Bersyukurlah kepada mereka yang membantu Anda saat Anda sangat membutuhkannya.”
Mengajarkan rasa syukur kepada siswa merupakan salah satu inti dari pembangunan model "Sekolah Bahagia" yang digagas UNESCO. Kebahagiaan setiap orang terletak pada kemampuan untuk melepaskan masa lalu dan hidup dengan rasa syukur. "Rasa syukur adalah kunci kebahagiaan" dan "Kebahagiaan dalam hidup bukanlah apa yang Anda miliki, melainkan apa yang Anda syukuri".
Kehidupan dengan “Hari ke-3 Tet untuk para guru” tidak akan pudar, lenyap dan akan menjadi lebih cerah dan indah bagi semua orang yang selalu menjalaninya dengan rasa syukur dan berharap memperoleh kebahagiaan sepenuhnya.
[iklan_2]
Sumber


![[Foto] Da Nang: Air berangsur surut, pemerintah daerah memanfaatkan pembersihan](https://vphoto.vietnam.vn/thumb/1200x675/vietnam/resource/IMAGE/2025/10/31/1761897188943_ndo_tr_2-jpg.webp)

![[Foto] Perdana Menteri Pham Minh Chinh menghadiri Upacara Penghargaan Pers Nasional ke-5 tentang pencegahan dan pemberantasan korupsi, pemborosan, dan negativitas](https://vphoto.vietnam.vn/thumb/1200x675/vietnam/resource/IMAGE/2025/10/31/1761881588160_dsc-8359-jpg.webp)




































































Komentar (0)