Telegraph pada tanggal 27 November mengutip seorang pakar hukum antariksa yang memperingatkan bahwa satelit komersial seperti Starlink milik miliarder Amerika Elon Musk dapat menjadi target legal dalam perang jika mereka membantu salah satu pihak yang bertikai.
Secara khusus, berbicara di Konferensi Luar Angkasa Inggris di Belfast pada tanggal 23 November, Mayor Jeremy Grunert, anggota pasukan penasihat hukum militer Angkatan Udara AS, mengatakan bahwa perusahaan perlu berhati-hati untuk menghindari keterlibatan dalam konflik.
Roket SpaceX Falcon 9 lepas landas membawa 21 satelit Starlink dari stasiun luar angkasa Cape Canaveral di Florida, AS pada tanggal 27 Februari.
“Dalam hukum perang, suatu negara diwajibkan untuk menargetkan sasaran militer dan tidak menargetkan sasaran sipil,” kata Tn. Grunert.
"Namun, target sipil dapat menjadi sasaran jika memberikan manfaat militer. Misalnya, tepat sebelum pendaratan D-Day, jembatan dan jalur kereta api menuju Normandia dibom, karena [memberikan] manfaat militer bagi Jerman," tambah pakar tersebut.
Konvensi Jenewa menyatakan bahwa negara-negara yang terlibat dalam konflik militer dilarang menyerang objek sipil. Namun, para analis mengatakan batasan tersebut semakin kabur, dengan perusahaan satelit rentan terhadap serangan siber atau serangan rudal.
"Hal yang sama terjadi di luar angkasa dan tentu saja, cara sistem sipil seperti Starlink digunakan untuk menargetkan drone telah terbukti cukup kontroversial," tambah Grunert.
Ia mencatat bahwa faktor-faktor di atas bisa dibilang menjadikan Starlink sebagai target militer potensial berdasarkan hukum perang.
Pengungkapan yang mengkhawatirkan dari banyak mantan karyawan perusahaan SpaceX milik miliarder Musk
Risiko serangan satelit menjadi lebih nyata ketika China dan AS menguji rudal anti-satelit dan menunjukkan mereka memiliki kemampuan untuk menghancurkan satelit di orbit.
Sementara AS berhasil menghancurkan salah satu satelitnya pada tahun 1985, pada tahun 2007, China melancarkan serangan rudal terhadap salah satu satelit cuacanya.
Kremlin sebelumnya telah memperingatkan akan menindak perusahaan swasta yang mendukung negara-negara yang berperang dengan Rusia. Pernyataan ini muncul di tengah tuduhan Rusia bahwa satelit Starlink milik Musk membantu pasukan Ukraina melancarkan serangan drone terhadap pasukan Rusia.
Saat itu, Tn. Musk mengatakan bahwa satelit Starlink hanya dimanfaatkan untuk membantu orang-orang di Ukraina mengakses platform streaming Netflix.
"Ada sedikit kejutan saat itu, ketika komentar-komentar itu dilontarkan [oleh Rusia]. Namun, dalam konteks hukum perang, Rusia mungkin tidak salah, mengingat manfaat militer yang bisa diberikan hal-hal tersebut [bagi Ukraina]," kata Bapak Grunert.
"Hal ini tidak berarti satelit sipil akan selalu menjadi sasaran, tetapi tetap saja berarti satelit tersebut masih berisiko," simpul Bapak Grunert.
[iklan_2]
Tautan sumber
Komentar (0)