Seminggu lagi, saya dan putra saya akan terbang dari Kota Ho Chi Minh ke Hanoi untuk kembali ke kakek-nenek dari pihak ibu untuk merayakan Tet. Putra saya sudah berusia lebih dari 2 tahun, sedang belajar berbicara, dan selalu ingin tahu tentang segala sesuatu di sekitarnya. Saya ingin sekali mengajaknya merasakan tradisi Tet di desa utara. Semakin dekat tanggal kepulangannya, semakin saya bernostalgia dengan masa Tet dulu, ketika keluarga saya masih miskin.
Saya dan saudara perempuan saya tidak tahu kekhawatiran orang tua kami tentang Tet yang hangat dan meriah. Anak-anak dari keluarga miskin hanya menantikan Tet agar mereka bisa membeli baju baru, makan dan minum sepuasnya, dan berkeliling saling mengucapkan selamat tahun baru serta menerima uang keberuntungan.
Pada hari-hari sebelum Tet, seluruh desa saya ramai dengan kue dan buah-buahan. Selain banh chung, setiap keluarga juga membungkus banh gai, jadi pada tanggal 27 dan 28 Tet, anak-anak akan mengikuti ibu mereka berbaris untuk menggiling tepung. Di masa lalu, tidak ada tepung siap pakai, jadi para ibu harus membuat kue dari daun gai kering. Saya ingat dengan jelas ibu saya duduk di halaman, di bawah sinar matahari pagi, dengan cermat memilih setiap helai rumput atau ranting kering yang tercampur dengan daun. Setelah memetik daun, ibu saya akan merendamnya dalam air semalaman agar mengembang, lalu mencucinya dan memeras airnya, dan terakhir menggilingnya dengan beras ketan. Jika banh chung dibungkus dengan daun dong segar, banh gai dibungkus dengan daun pisang kering. Setiap tahun, ibu saya menugaskan saya dan saudara perempuan saya untuk mencuci setiap daun.
Pada hari membungkus kue, seluruh keluarga berkumpul di atas tikar tua yang digelar di trotoar, dikelilingi keranjang berisi daun, bundelan potongan bambu, pot berisi tepung, isian, biji wijen sangrai, dll. Kakak tertua memilih daun, kakak kedua membagi adonan, ibu membentuk dan membungkus kue, dan adik perempuan saya dan saya sibuk di luar. Di akhir sesi, lusinan kue diikat jadi satu oleh ibu saya dalam potongan bambu agar mudah dikeluarkan setelah direbus. Ibu saya bergumam bahwa ia menghitung lebih dari seratus kue, dan akan memberikan beberapa lusin ke rumah nenek kedua saya di Hanoi, beberapa lusin ke rumah nenek dari pihak ibu untuk membakar dupa, dan beberapa lusin sisanya untuk dipajang di altar di rumah. Jadi setiap tahun setelah Tet, dinding rumah ditutupi dengan untaian kue beras ketan yang diberikan oleh kerabat.
Pada pagi hari tanggal 29 Tet, ayah saya dengan hati-hati menurunkan pembakar dupa perunggu dan sepasang burung bangau dari altar, lalu dengan tekun memolesnya. Saya dan saudara perempuan saya ditugaskan untuk membersihkan debu di celah-celah setiap motif hias di tempat tidur yang usianya lebih tua dari ayah saya. Ketika sinar matahari keemasan menembus celah-celah tirai, membawa partikel-partikel kecil berkilau yang tak terhitung jumlahnya, dan menyinari potret kakek saya, saya menyipitkan mata dan tiba-tiba melihat senyum tipis almarhum.
Terkejut, aku menggosok mataku beberapa kali, dan di hadapanku tampak vas bunga krisan yang baru saja diletakkan ibuku di altar. Aku berkata pada diri sendiri bahwa matakulah yang melihat, itu hanya sebuah gambar, bagaimana mungkin aku tersenyum? Lalu aku bergegas membantu ibuku menata nampan berisi lima buah dan banyak kue serta selai. Ibu menyalakan korek api untuk menyalakan dupa, dan aku mencium aroma asap yang menyelimuti seluruh rumah, dan aku merasa damai. Setiap malam tahun baru, aku dan saudara-saudara perempuanku mengikuti ibuku ke pagoda, aroma harum dupa yang terpancar dari patung-patung Buddha membuat anak yang polos itu berpikir bahwa itu adalah aroma Buddha yang penuh kasih.
Di pagi hari pertama tahun baru Imlek, mendengar ibuku memanggil dari kamar luar, aku dan adik-adikku meregangkan badan dari balik selimut merak yang hangat, melompat-lompat kegirangan untuk memakai baju baru. Hanya celana biru dan kemeja putih yang dikenakan di atas baju wol hangat saja sudah cukup untuk membuat anak-anak miskin gembira menyambut Tahun Baru. Ibu menyuruhku membeli celana biru dan kemeja putih yang bisa dipakai untuk Tet dan sekolah sepanjang tahun. Kami segera menyantap sepotong banh chung dengan aroma harum ketan baru dan sepotong babi gulung yang sudah lama kami idamkan, ditambah lumpia renyah dengan isian daging, bukan lemak babi, seperti setiap hari. Aku berseru, "Enak sekali, Bu." Sebelum kami selesai makan, kami mendengar suara-suara dari kejauhan di luar gerbang. Ternyata bibi dan sepupuku datang ke rumah untuk mengucapkan selamat tahun baru. Adik-adikku segera meletakkan mangkuk dan sumpit mereka, berlari ke halaman, dan berkicau untuk bergabung dengan rombongan.
Tet yang lama kini hanya tinggal kenangan, tetapi rumah saya masih ada, meskipun berlumut karena perubahan bumi dan langit. Saya berharap dapat melestarikan ciri-ciri tradisional Tet di tempat kelahiran saya bersama anak-anak saya. Semakin tua kita, semakin kita hidup dalam nostalgia, selalu ingin menemukan kembali nuansa lama meskipun pemandangannya telah banyak berubah. Saya masih berada di negeri asing, tetapi saya merasa Tet telah kembali ke tempat-tempat penuh kenangan.
GIOK
Bangsal Thang Tam, Kota Vung Tau, Ba Ria - Vung Tau
[iklan_2]
Sumber
Komentar (0)